17 Aku Membencimu

15.2K 868 19
                                    


Di sinilah aku, duduk di sebuah café yang berlokasi tidak jauh dari kantor Mas Langit. Café yang cukup ramai mengingat ini waktunya jam makan siang.

Mas Langit menyetujui permintaanku untuk bertemu. Dia akan meluangkan waktunya siang ini di jam makan siang.

Sambil menunggunya aku memainkan ponselku. Berselancar di dunia maya untuk membunuh waktu. Tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi. 

✉️ Mas Langit: Maaf La saya sedikit terlambat

✉️ Aku akan menunggu Mas. Balasku.

Aku tidak mau menunda lagi. Karena sebentar lagi sidang pertama perceraian kami akan segera digelar. Mas Langit harus mengetahui kehamilanku. Aku hanya ingin memberitahunya saja. Tidak memintanya untuk kembali kepadaku ataupun meminta pertanggung jawabannya secara finansial. Akan lebih sakit rasanya jika dia memilih bertahan denganku karena anak-anak. Aku akan tetap memilih melanjutkan perceraian dari pada mempertahankan rumah tangga kami. Bukan karena aku egois tidak memikirkan anak-anak. Tetapi keluarga kami kelak akan terlihat utuh dari luar tetapi sebenarnya rapuh karena tidak adanya cinta.

"Laila" Panggil seseorang yang sangat aku kenal suaranya. Aku mendongak mengalihkan pandanganku dari ponsel untuk melihat sosok itu. Perempuan yang mengenakan blazer berwarna kopi susu senada dengan celana kerja yang dia kenakan. Rambut panjangnya tergerai indah di balik punggung dengan wajah khas ayu oriental. Dia adalah Mbak Caca. Wanita yang sangat dicintai oleh suamiku.

"Boleh saya duduk? Ada yang mau aku omongin sama kamu" Tanyanya meminta ijin.

"Iya mbak silahkan" Ucapku. Terlintas di pikiranku, Apakah Mbak Caca melarang Mas langit untuk menemuiku? Sehingga kekasihnya ini yang mendatangiku.

Mbak Caca menarik kursi di depanku lalu meletakkan Ice Cappucino yang dibawanya di atas meja.

"Mbak mau ngomong apa?" tanyaku to the point. Aku tidak mau berbasa-basi lagi.

"Kamu mau pesan makanan dulu? Aku bisa menunggu" tawarnya. Karena melihat mejaku yang masih kosong. Aku sengaja menunda memesan makanan karena menunggu kedatangan Mas Langit.

"Tidak perlu mbak. Aku tidak punya banyak waktu karena masih banyak urusan. Silahkan berbicara aku akan mendengarkan" Ketusku. Bolehkah aku muak dengan semua ini? Berpura-pura tidak terluka dalam sungguh sangat menyakitkan. Seolah lukamu yang menganga dan masih basah ditaburi garam di atasnya. Tindakan mereka sungguh melukaiku.

Aku sungguh kecewa pada Mas Langit. Bahkan hanya untuk menepati janjinya saja untuk bertemu denganku dia ingkar. Malah wanitanya yang datang menemuiku. Aku tidak mungkin bukan menceritakan kehamilanku kepada wanitanya?

"Boleh saya minta satu permintaan sama kamu?" Ucapnya sedikit ada keraguan yang bisa aku tangkap dari air mukanya.

"Apa?" Tanyaku singkat.

"Bisakah kamu tidak usah datang di sidang perceraian kalian?" Ucapnya.

Aku mengernyitkan dahi merasa bingung dengan permintaan Mbak Caca. Sepertinya Mbak Caca menangkap kebingunganku.

"Persidangan akan lebih mudah dan cepat selesai jika pihak tergugat tidak hadir. Itu tandanya kamu menyetujui perceraian ini" Jelasnya tanpa rasa empati sama sekali.

Astagfirullah....... Astagfirullah.......... sebegitu inginkah mereka segera bersama. Hingga ingin sesegera mungkin untuk mendepakku dari hubungan mereka.

"Apa mbak takut jika Mas Langit akan berubah pikiran jika aku datang di sidang mediasi? " aku mencoba mengkonfrontasi ucapannya. Aku ingin tahu bagaimana watak asli perempuan itu?

Mba Caca tersenyum remeh mengejekku. Aku jadi tahu sifat aslinya sekarang. "Langit tidak mungkin merubah keputusannya. Aku tahu sekali sifat Langit, dia tidak akan mungkin mempertahankan perempuan sepertimu" perempuan itu berucap lalu meminum ice cappucinonya.

"Begitukah? Yakin sekali kamu mbak. Kamu tidak  mengetahui bukan apa yang kami lakukan saat kami sedang bersama? Yakin sekali kamu mbak, kalau Mas Langit masih sangat mencintaimu?" Ucapku dengan nada mengejek. Entah keberanian dari mana aku bisa mengatakan itu. Aku lelah harus mengalah dan menuruti keinginan hatinya. Aku ingin egois sekali saja. Aku tidak mau terluka sendirian.

"Kamu yang merebut Langit dariku. Jadi tolong lepaskan dia segera dari pernikahan konyolmu itu" Mukanya merah padam dan intonasi suaranya sudah naik satu oktaf. Perempuan di hadapanku ini marah.

"Bukannya Mbak Caca yang merebut Mas Langit dariku?  Merusak rumah tangga kami. Menggunakan segala cara untuk memiliki Mas Langit? Bukankah perempuan seperti itu disebut pelakor mbak? Lebih jelasnya perusak rumah tangga orang lain" Ucapku membalikkan kata-katanya. Aku lebih memperjelas kalimat terkhir yang aku ucapkan. Aku mencoba menghadapi perempuan ini setenang mungkin tanpa menunjukkan ekspresi kemarahan.

Tanpa aku duga. Ice cappucino yang ada di hadapannya diguyur ke arah mukaku. Gelas plastik kosong itu lalu dilempar ke tubuhku. Baju warna biru yang semula aku kenakan berubah menjadi coklat .

Aku terpaku dengan tindakannya. Apakah salahku sampai dia melakukan hal tidak terpuji seperti ini di depan banyak orang. Padahal ucapanku barusan tidak sekeras ucapannya yang mengatakan aku perebut laki-lakinya.

"Kamu itu pelakor" Dia meneriakiku lantang sambil menunjuk jarinya ke arah mukaku.

"Kamu pelakor! Pelakor yang merebut Langit dariku" teriakannya makin tak terkendali. Wanita di depanku ini berteriak seperti kesetanan.

Aku malu. Semua pengunjung café melihat ke arah kami dan mulai berbisik-bisik. Semua mata itu melihat ke arahku membuatku serasa terhakimi.

Di tengah-tengah kekacauan ini, aku melihat Mas Langit datang berlari dari arah pintu masuk café. Dia akan membelaku bukan? Dia pasti akan menyelamatkanku dari kekacauan ini-kan? Aku sangat berharap padanya.

Air mataku menetes membasahi pipi saat aku tahu dia lebih memilih menarik tangan rivalku daripada aku yang masih sah menjadi istrinya. Dia melihatku sekilas berlalu pergi menarik tangan kekasihnya dengan terburu-buru. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut mereka. Mereka meninggalkanku sendiri dengan kondisiku yang berantakan.

Sakit sekali ya Allah.

Orang-orang melihatku jijik seperti wanita hina yang merebut laki-laki perempuan lain. Mereka berpikir bahwa julukan pelakor memang tepat untukku. Suami sah tidak akan mungkin membela wanita simpanannya bukan? Sungguh ironi, akulah istri sah tetapi aku yang ditinggalkan.

Aku berjalan ke arah pintu keluar, menundukkan wajah seperti seorang pendosa. Air mata ini tak kunjung berhenti karena merasakan sesak di dada.

Aku berjalan menjauh dari Café itu lalu menelpon Hanifa untuk menjemputku.

Aku sudah tidak ingin lagi memberitahu kehamilanku pada Mas Langit. Biarlah waktu yang menjawab kapan saatnya itu tiba.

Aku memblokir kontak Mas Langit. Menghapus semua akun media sosialku. Memblokir semua akses komunikasi yang bisa menghubungkannku dengan dirinya.

Aku sudah memutuskan hari ini aku akan angkat kaki dari rumahnya. Aku tidak akan menunggu sampai sidang putusan. Aku sudah lelah dan muak.

Mas Langit aku sungguh membencimu. Sangat-sangat membencimu.

Selamat tinggal Mas Langit. Aku harap kita tidak akan bertemu lagi selamanya.



Istri Pilihan Bunda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang