Aku sampai di rumah dengan menggunakan ojek online. Ketika melewati gerbang rumah, aku melihat mobil Mas Langit terpakir di halaman.
Tumben sekali Mas Langit pulang siang hari. Seringnya Mas Langit pulang larut malam dan paling cepat-pun pulang selepas isya. Aku bergegas mencari keberadaan Mas Langit di dalam rumah.
Terlihat Mas Langit sedang berdiri dengan posisi memunggungiku sambil memandangi kolam ikan di teras belakang rumah. Dia masih mengenakan pakaian kantor dan di sebelahnya terdapat koper ukuran kabin. Mungkin Mas Langit habis berpergian dari luar kota dan dia menyempatkan pulang ke rumah sebelum ke kantor.
Aku menuju ke dapur membuatkan secangkir teh hangat dan beberapa cemilan untuk suamiku.
Mungkin ini saatnya aku memberitahu Mas Langit tentang kehamilanku. Aku mengambil foto usg dari dompet dan memasukkannya ke dalam saku gamis lalu beranjak menemui Mas Langit.
Aku berhenti di belakang pintu kaca yang tertutup gorden transparan ketika mendengar percakapan antara Mas Langit dan temannya yang pernah aku kenal bernama Jonathan.
"Ini surat-surat apartemen yang elo mau" Jonathan menyerahkan amplop coklat ke arah Mas Langit.
"Thanks" Mas Langit menerima amplop coklat itu lalu meletakkanya di atas meja.
"Tumben lo beli apartemen atas nama bini lo? Bukannya lo ga suka tinggal di apartemen? Setiap gue tawarin yang bagus lo selalu nolak" Ucap Jonathan.
"Bukan urusanmu" Mas Langit menjawab dingin.
Aku meremas nampan yang kubawa. Tiba-tiba muncul rasa takut di hatiku.
"Muka lo suntuk banget bro. Ada masalah?" Tanya Jonathan lagi.
"Lagi bingung" Mas Langit berdiri dari kursi yang didudukinya lalu berjalan menuju kolam. Wajahnya mengisyaratkan kesedihan dengan tatapan matanya yang terlihat sendu.
"Bingung kenapa? Kalah tender? Perusahaan lo bangkrut? Ceritalah bro. Biar beban lo sedikit terangkat. Siapa tahu gue bisa kasih solusi ke elo" Ucap Jonathan panjang lebar.
"Gue udah pakai" ucap Mas Langit.
"Maksud elo?" tanya Jonathan terlihat bingung.
"Laila. Gue udah tidur dengan Laila" Aku meremas nampan yang aku pegang saat mendengar ucapan Mas Langit. Hatiku ngilu mendengar kata-kata Mas Langit yang menyamakan diriku dengan barang. Serendah itu kah aku di mata Mas Langit?
"Terus masalahnya dimana? Dia-kan istri lo. Elo udah ngasih kewajiban lo. Wajar dong kalau lo mendapat hak lo. Ga ada yang salah-kan?" Ucap Jonathan.
"I've broken my promise" Ucap Mas Langit lirih.
"Promise for what?"
"Janji dengan seseorang buat ga nyentuh dia" Jawab Mas Langit.
DEG
Jantungku berdenyut nyeri mendengarnya. Apakah janji ini ada hubungannya dengan Mbak Caca? Apakah sikapnya yang menjauhiku akhir-akhir ini karena dia telah melanggar janjinya itu?
"It's redecelous. Elo udah halal sama si Laila. Ga mungkin kuat bro kalau lo udah seranjang dan ga mungkin nglakuin itu. It's impossibble kalau elo sampai kuat nahan. Itu tandanya kalau elo ga normal"
"Jadi elo merasa bersalah karena udah tidur sama istri sah elo itu" Ucap Jonathan.
Hening. Tidak ada sepatah kata-pun yang keluar dari mulut Mas Langit.
"Elo bisa minta maaf sama seseorang yang elo ajak bikin perjanjian konyol lo itu. It's simple"
"Ga sesimpel itu. Akan banyak hati yang tersakiti" Jawab Mas Langit.
"Terus Sekarang elo maunya gimana?" Tanya Jonathan lagi.
"Gue.............
"Gue bakal ceraiin Laila. Sebelum semuanya tambah rumit"
Aku tergugu mendengar pengakuan Mas Langit. Jantungku serasa mendapat hantaman yang cukup keras. Sakit sekali. Tanganku gemetar. Air mataku luruh membasahi pipi.
PRANG
Tanganku tiba-tiba melemas. Nampan yang ku genggam erat jatuh menghantam lantai. Teh dan cemilan yang ingin kusajikan untuknya berserak di atas lantai.
Aku berbalik badan lalu berlari menuju kamar sambil mengusap air mataku dengan kasar.
"La tunggu" panggilnya, namun aku tak menghiraukan panggilannya.
Aku masuk kamar lalu duduk di ranjang. Air mata ini sungguh tidak mau berhenti. Aku meremas foto usg yang sejak tadi aku simpan di dalam saku untuk memberiku kekuatan.
"Jangan bersedih Laila. Kamu harus kuat demi anak-anakmu" monologku pada diri sendiri.
Terdengar deritan pintu dibuka. Spontan aku membalikkan badan memunggungi pintu untuk mengusap air mataku.
Aku harus kuat. Aku tidak mau dibelas kasihani.
Mas Langit duduk di ranjang di sampingku.
" Maaf La. Sungguh saya minta maaf karena membuatmu terluka. Saya menyetujui pernikahan ini untuk kesembuhan bunda. Pernikahan ini sudah salah pada awalnya. Banyak orang yang akan terluka jika pernikahan ini terus dipertahankan, termasuk kita"
Aku terdiam, tidak bisa berkata-kata. Mulutku serasa terkunci. Bahkan aku belum menceritakan tentang kehamilanku, Mas Langit sudah ingin mengakhiri pernikahan ini.
Tiba-tiba Mas Langit bersimpuh di depanku. Dia menggenggam kedua tanganku lalu menenggelamkan kepalanya di atas pangkuanku. Kurasakan air mata Mas Langit membasahi tangan. Laki-laki itu terisak. Laki-laki itu menangis. Punggungnya bergetar menandakan dia menangis tanpa suara.
Melihatnya seperti itu membuat hatiku ngilu. Sungguhkah pernikahan ini menyiksanya. Menikahiku membuatnya terbelenggu.
"From the deep of my bottom heart I'm so sorry, tapi tolong jangan benci saya karena ini" pintanya.
Meskipun hatiku sakit karena perpisahan ini, akan tetapi melihatnya hancur seperti ini justru membuat hatiku lebih bertambah sakit.
"Iya mas, aku tidak akan membencimu" aku mengusap surai hitamnya. Usapan terakhirku kepada Mas Langit.
"Jika perpisahan memang jalan yang terbaik untuk kita, aku akan menyetujuinya. Aku akan ikhlas" ucapku menahan tangis.
Sungguh hatiku sangat hancur berkeping-keping saat mengatakan itu. Aku hanya terlihat tegar dan sangat kuat di depan Mas Langit. Padahal hati di dalam dadaku ini sangat rapuh. Perasaan ini sangat jauh menyakitkan dibandingkan saat aku kehilangan keluargaku.
Mas Langit berdiri lalu menaruh amplop coklat di atas nakas.
"Untuk sementara tinggallah disini sampai sidang putusan. Saya sudah menyiapkan apartemen untukmu. Kamu bisa menempatinya setelah kita resmi bercerai" ucapnya tanpa memandangku.
Aku hanya menunduk menyembunyikan air mataku yang sudah menggenang di pelupuk mata.
Mas Langit lalu keluar kamar sambil menyeret koper yang ternyata berisi pakaiannya. Pakaian yang telah dia persiapkan untuk meninggalkan rumah ini.
Foto USG yang tersimpan rapi di saku gamis aku ambil. Kupandangi foto usg itu. Teriris hatiku membayangkan kedua buah hatiku akan tumbuh tanpa sosok ayah di sampingnya.
"Maafkan ibu nak" isakku lalu memeluk foto USG itu.
Meski hatiku terluka. Aku tetap mengejar Mas Langit untuk melihat terakhir kalinya pria yang masih berstatus suamiku itu.
Di balik jendela aku melihat mobil hitam suv itu melaju. Meninggalkan rumah sarat kenangan dan impian yang selama ini aku sandarkan kepadanya.
"Selamat tinggal Mas Langit dan berbahagialah dengan wanita pilihanmu" doaku tulus untuk mu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pilihan Bunda (End)
Любовные романыGema Langit Ramadhan, nama laki-laki yang telah sah menjadi suamiku setelah selesai mengucapkan ijab qobul. Aku berdoa kepada Allah semoga pernikahan ini bisa menghadirkan cinta diantara kami. Sejak awal aku sudah tahu, bahwa hatinya bukan milikku...