18 Memulai Hidup Baru

16.4K 807 16
                                    

Hanifa syok melihat keadaanku yang memprihatinkan. Duduk dipinggir jalan dengan keadaan kacau. Mataku sembab dengan baju dan kerudung penuh noda kopi.

Aku menangis tersedu di dalam mobil. Aku menceritakan semua kejadian yang aku alami di cafe. Hanifa geram dan marah, tidak menyangka Mbak Caca mempermalukanku seperti itu dan Mas Langit lebih memilih mengajak Mbak Caca untuk pergi meninggalkan lokasi cafe.

Hanifa mendukungku untuk pergi dari kehidupan Mas Langit dan juga tidak perlu memberitahu tentang kehamilanku.

Setelah mandi dan membersihkan diri, aku dan Hanifa pergi ke rumah Mas Langit. Hanifa akan membantuku mengemas baju dan barang-barangku yang memang tidak seberapa.

Setelah sampai di rumah Mas Langit, aku bergegas mengemasi barang-barangku. Satu buah koper ukuran kabin dan satu buah ransel sudah cukup menampung semua barang-barangku. Aku keluar kamar menemui Hanifa dengan membawa kedua tas itu.

"Biar aku yang bawa La, berat! Kasian ponakan-ponakanku" Hanifa mengambil koper dan ransel yang aku gendong.

"Kamu tunggu di mobil dulu Fa. Masih ada barang yang tertinggal, aku mau ambil dulu" Pintaku pada Hanifa.

Hanifa beranjak keluar rumah menuju mobil sedangkan aku berjalan masuk kembali ke kamar.

Aku memindai kamar ini untuk yang terakhir kali. Ternyata tidak banyak kenangan manis yang tercipta diantara aku dan Mas Langit. Aku berharap tidak akan merindukan tempat ini lagi. Tempat dimana aku bisa memiliki dirinya secara sah di mata hukum dan agama meski hanya dalam waktu singkat.

Aku tahu, kamar ini pasti segera akan menemukan penghuni barunya. Penghuni baru yang menggantikanku untuk bersanding dengan dirinya. Karena kamar ini bukan lagi aku pemiliknya.

Aku berjalan ke arah walk in closet untuk mengambil salah satu kemeja milik Mas Langit. Kemeja yang masih tercium wangi parfum pemiliknya meski agak samar. Aroma musk dan woody yang suatu saat pasti akan aku rindukan. Aku lalu memasukkan kemeja itu ke dalam paper bag.

"Maaf mas aku ambil satu, sebagai obat jika aku masih rindu" Ucapku lirih. 

Pada kenyataannya aku tetap tidak bisa membencinya. Logika mengatakan harus pergi karena terlalu banyak disakiti namun hati tidak mau diajak berkompromi. Hanya hitungan jam luka yang ditorehkan olehnya mulai mengering meski akan meninggalkan bekas. Sebut aku perempuan bodoh karena masih memiliki rasa cinta yang besar untuknya meski telah disakiti.

Setelahnya aku menuju nakas untuk meletakkan kartu ATM. ATM yang diberikan Mas Langit kepadaku untuk memenuhi kebutuhan nafkah lahirku. Aku belum pernah menggunakan serupiah-pun termasuk mas kawin yang diberikannya ketika dia menikahiku. Semua aku kembalikan utuh.

Aku hanya ingin menjaga harga diriku. Hanya ini yang tersisa.

Aku ingin menunjukan kepada Mas Langit kalau aku wanita yang mandiri, berdiri dengan kakiku sendiri meskipun aku diceraikan olehnya.

Sebelum pergi aku berpamitan dengan Mbok Nem. Dia melarangku pergi karena bunda dan Mas Langit pasti akan kebingungan mencariku. Aku menjelaskan kepadanya jika aku dan Mas Langit akan segera berpisah. Aku juga meminta kepada Mbok Nem untuk merahasiakan perceraian ini dari bunda untuk sementara waktu sampai Mas Langit punya waktu yang tepat untuk bicara langsung dengan bunda.

"Non, sering-sering kemari. Jika tidak ingin bertemu Mas Langit setidaknya jenguk bunda dan embok ya non" pinta Mbok Nem.

"InshaAllah mbok nem, akan Laila usahakan" ucapku. Aku bisa menjenguk mbok Nem dan Bunda di saat Mas Langit tidak ada di rumah.

"Sehat selalu ya Mbok. Tolong jaga Mas Langit dan Bunda jika sudah pulang ke sini. Laila pergi ya. Laila pamit" Pesan dan pamitku pada Mbok Nem dengan mata yang mulai berkabut.

Dan beginilah akhirnya, apa yang aku takutkan di awal pernikahanku akhirnya terjadi juga. Pernikahanku kandas karena orang ketiga.

Mari akhiri sampai disini mas, semoga kelak kamu bahagia dengan wanita pilihanmu dan aku bahagia hidup dengan sebagian dari dirimu yang tumbuh di rahimku.

---------------------------------

"Apa ini La?" Hanifa mengambil selebaran yang telah aku print.

"Brosur iklan. Akan aku sebar di sekolah-sekolah. Siapa tahu ada yang minat dengan les privatku" Tanganku sibuk menghitung jumlah brosur yang telah aku cetak.

"La tinggal disini dan jangan lakukan apa-apa. Jika kamu sungkan sama aku, kamu bisa ikut merawat rumah ini. Tapi jangan bekerja seperti ini. Ini terlalu berat jika kehamilanmu semakin besar nanti" Hanifa mengambil semua brosur dari tanganku.

"Fa, aku ga mau jadi benalu dihidup kamu. Sudah bersyukur kamu mau nampung aku disini" Ucapku.

"Kamu ngomong apa sih La? Kita itu keluarga, ga ada yang namanya benalu. Kamu lagi hamil, apalagi anak kembar. Sangat beresiko kalau kamu terlalu lelah" Hanifa menasehati.

"Banyak ibu hamil di luar sana yang juga bekerja Fa. Malahan banyak dari mereka yang bekerja lebih berat dari aku. Ada lho wanita hamil yang masih bekerja sebagai buruh kasar. Dan menurutku pekerjaanku ini belum ada apa-apanya dibandingkan mereka" Jelasku panjang lebar pada Hanifa.

"Kamu hamil anak kembar. Jantung kamu memompa untuk tiga orang sekaligus. Kamu akan lebih cepat letih dibandingkan kehamilan tunggal. Aku ga bisa bayangin kamu berkeliling dengan naik motor dari satu rumah ke rumah yang lain dengan perut yang besar. Aku ga mau ponakan aku kenapa-napa. Pokoknya ga boleh" omel Hanifa.

"Tapi fa, aku butuh uang buat persalinan nanti" bujukku pada Hanifa. Tabunganku tidak banyak, selain harus berhemat, aku juga harus menabung untuk persalinanku kelak.

"Ga usah bingung. Pakai uangku La. Kita ga cuma teman tapi keluarga" ucapnya lagi.

"Fa please. Kamu jangan seperti ini. Aku ga mau hidup bergantung terus sama kamu. Apa kamu mau kelak jika Mas Langit tahu kehadiran anak-anak, dia akan merebut mereka dari aku gara-gara aku tidak punya penghasilan sendiri?" 

Aku tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi. Secara financial aku memang jauh di bawahnya. Tetapi aku akan berusaha untuk memberikan yang terbaik yang mampu aku lakukan untuk kedua buah hatiku.

"Okey, tapi jangan memaksakan diri jika kamu merasa capek" tawarnya.

"janji" ucapku sambil menautkan kelingkingku dengan kelingking Hanifa seperti anak kecil.

Setelah bernegosiasi dengan Hanifa. Aku semakin semangat mencetak brosur. Besok aku akan mulai meyebarnya di sekolah-sekolah. Mencari murid yang mau aku beri bimbing secara privat.

Mungkin hasilnya tidak seberapa. Tidak apa-apa asal aku tidak hidup dari belas kasihan orang lain. Esok aku akan mencari cara untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Aku tahu membesarkan dua anak membutuhkan dana yang besar.

Allah pasti akan menolongku. Bagaimana aku takut tidak punya uang jika aku adalah hamba dari Zat yang maha kaya. Allah tolong bantu aku. Pintaku. 




Istri Pilihan Bunda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang