16 Dukungan Keluarga

13.7K 765 4
                                    


Rumor tentang perceraianku sudah menyebar sampai di tempatku mengajar. Bisik-bisik tentang diriku oleh teman-teman sekerjaku sudah mulai terdengar. Mereka tidak akan ada di pihakku. Aku tahu itu. 

Bagaimana orang akan menilai baik diriku jika seorang yatim piatu diceraikan oleh anak pemilik yayasan sekolah ini yang terkenal alim dan tidak neko-neko? Diceraiakan dalam waktu dua bulan setelah pernikahan. Bukankah aku yang akan terlihat buruk bukan? Mereka akan berpikir pasti ada yang salah dengan diriku?

Ditambah lagi Mas Langit adalah pihak yang menggugat dan aku adalah pihak yang tergugat.

Rumor tentang diriku berkembang tidak terkendali. Mulai aku yang di cap seorang wanita matre, tidak bisa menghormati dan melayani suami dengan baik. Bahkan lebih parahnya ada yang berbicara kalau aku sudah tidak perawan sehingga Mas Langit menceraikanku. Fitnah itu bagaikan kotoran yang dilemparkan ke wajahku.

Aku lebih memilih tutup telinga dan tidak mengklarifikasi rumor-rumor itu. Aku berkata jujur-pun, orang-orang tidak mungkin ada yang percaya kepadaku.

Teman-teman sekerjaku lebih memilih menghidariku. Bahkan Bu Vera yang sudah aku anggap sebagi ibu sendiri juga memperlakukanku seperti itu.

Sakit sekali ya Allah.

Aku memutuskan untuk berhenti mengajar karena kondisi ini tidak baik untuk mentalku. Aku tidak mau terlalu banyak pikiran karena ini akan berpengaruh pada bayi-bayiku. Memikirkan perceraian dan perpisahan dengan Mas Langit saja sudah membuat mentalku down. Apalagi ditambah dengan suasana tempat kerja yang membuatku tertekan.

Hari ini adalah hari terakhir aku mengajar di yayasan milik keluarga Mas Langit. Aku membereskan barang-barangku yang tidak banyak kubawa karena sudah kucicil hari-hari sebelumya.

Aku berpamitan pada murid-muridku. Banyak dari mereka yang menangis dan memelukku erat, memintaku untuk tetap mengajar. Sungguh berat sekali hati ini meninggalkan mereka. Selanjutnya aku berpamitan pada guru-guru rekan kerjaku. Berpamitan hanya sekedarnya saja seolah tiga tahun bekerja tidak ada arti keluarga untuk diriku. Tidak ada pelukan hangat hanya jabat tangan perpisahan biasa.

Aku keluar dari ruangan guru lalu melewati koridor sekolah. Seluruh murid yang pernah kuajar keluar ruangan.

"Bu Laila jangan pergi" Pinta beberapa murid perempuanku.

"Bu Laila jangan lupakan kami" pinta murid yang lain.

"Ini dari kami buat Bu Laila" seorang murid memberikanku setoples origami burung yang dimasukkan kedalam toples kaca. 

"Didalam origami ini ada nama kami dan tertulis cita-cita kami. Biar ibu tidak lupa pada kami" katanya.

Air mataku luruh. Rasanya tidak tega meninggalkan anak-anakku. "Ibu tidak akan lupa pada kalian sayang-sayang ibu" Tangisku pecah saat memeluk mereka. "Maafkan ibu kalau ada salah pada kalian. Ibu pamit ya" aku melepas pelukanku.

Aku beranjak pergi saat salah satu murid menyanyikan sebuah lagu lalu diikuti oleh seluruh siswa.

"Trima kasihku ku ucapkan pada guruku yang tulus

Ilmu yang berguna slalu di limpahkan

Untuk bekalku nanti

Setiap hari ku di bimbingnya

Agar tumbuhlah bakatku

Kanku ingat slalu nasehat guruku

Trima kasihku guruku"

Aku melambaikan tangan ke arah murid-muridku dengan air mata berlinang. 'Selamat tinggal anak-anakku semoga kita kelak berjumpa lagi' ucap batinku.

-----------------------------------------

"La" Hanifa memanggilku di depan gerbang sekolah. Dia menjemputku di hari terakhirku mengajar. 

Padahal aku belum bercerita sama sekali kepada Hanifa tentang perceraianku dan pengunduran diriku dari tempat kerja. Hanifa pasti sudah tahu tentang hal ini karena circle kami hanya orang-orang yang ada di bawah naungan yayasan milik keluarga Mas Langit.

Hanifa memelukku erat. Meski dia tidak mengucapkan sepatah kata-pun aku tahu kalau dia mendukung dan percaya kepadaku. 

Hanifa mengajakku kerumahnya. Mungkin ini saatnya aku melepaskan sedikit beban dengan bercerita kepada Hanifa. Karena Hanifa adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki sekarang meskipun kami tidak memiliki hubungan darah.

"La, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" Tanyanya.

Saat ini kami sedang menikmati mie instan kuah sambil melihat drama korea. Rutinitas yang sering aku lakukan dengannya di saat aku masih sendiri.

"Cukup dengan selalu mendukungku" aku tersenyum palsu ke arahnya. Aku hanya ingin Hanifa tahu bahwa aku baik-baik saja sehingga dia tidak perlu khawatir.

"Disini" tunjuk Hanifa pada kepalaku. "Dan disini" tunjuk Hanifa pada dadaku. "Cukup berat jika kamu tanggung sendiri, lama-lama akan jadi bom waktu dan akan meledak" Ucapnya menasehati.

"Beban yang kamu pikul di pundakmu bagi sama rata denganku. Kita keluarga bukan?" Hanifa membujukku untuk bercerita supaya beban masalahku berkurang.

"Sejak awal Mas Langit tidak mencintaiku Fa. Pernikahan ini juga tidak bisa mengalihkan dunianya pada Mbak Caca. Dan yah....berakhir seperti ini" Ucapku tegar.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Tanya Hanifa.

"Tentu menyetujui perceraian itu. Aku bisa apalagi?" Jawabku pasrah.

Hanifa memelukku "Aku akan selalu mendukung keputusanmu La. Aku tahu kamu pasti sudah melakukan yang terbaik untuk mempertahankan rumah tanggamu"

Hanifa sangat tahu sifatku. Aku akan berpikir matang sebelum mengambil keputusan terbesar menyangkut hidupku.

"Trimakasih untuk tidak ikut menghakimiku" ucapku tulus mepada Hanifa.

"Mau aku bantu untuk cari tempat mengajar yang baru? Aku punya beberapa pasien yang bekerja di sekolah swasta. Mungkin aku bisa minta tolong pada mereka" tawarnya.

"Tidak perlu Fa. Aku tidak bisa mengajar ikut lembaga sekarang. Aku akan mengajar les privat saja"

"Why?" Tanyanya bingung.

"Statusku janda dan perut ini akan semakin membesar. Tidak akan ada lembaga dan yayasan yang akan menerimaku dengan kondisi seperti ini" jelasku.

"Wait. Are you pregnant?" Tanyanya terkejut.

"Yes Aunty. Ada dua disini" aku membawa tangan Hanifa untuk menyentuh perutku.

"Aku ga tahu harus happy atau sedih dengan kondisi sekarang. Tetapi aku bahagia akan segera menjadi aunty" Dia memelukku lagi dengan mata yang berkaca-kaca bahagia. Sepertinya kita banyak berpelukkan hari ini. 

"Wait, Mas Langit tahu kalau kamu hamil?" Aku menggeleng menandakan aku belum memberitahu Mas Langit.

"Aku tidak mau dia terbebani. Aku tidak mau dia secara terpaksa menerima anak-anakku. Kalaupun dia akan menolak anak-anak ini aku tidak akan sanggup mendengar penolakkannya. Tidak apa-apa hanya aku yang terluka. Tapi jangan mereka" Ucapku sambil mengelus perut rataku.

"Mas Langit berhak tahu La. Karena Mas Langit ayah kandung mereka. Kalau anak ini terlahir perempuan, tetap Mas Langit yang akan menjadi wali nikahnya kelak. Tidak apa-apa jika Mas Langit menolak. Kita akan rawat sama-sama. Okey?" bujuknya sambil menggenggam erat tanganku untuk meyakinkanku.

Benar kata Hanifa. Aku tidak boleh egois menyembunyikan keberadaan mereka dari ayah kandungnya.

Setelah beberapa hari dari pertemuanku dengan Hanifa aku memberanikan diri mengirimkan pesan kepada Mas Langit.

✉️ Bisakah kita bertemu Mas? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.

Istri Pilihan Bunda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang