9 Pelukan Kosong

9.3K 604 4
                                    


Sudah satu minggu Mas Langit berada di Singapura dan akhirnya hari ini dia kembali ke Indonesia. Aku berencana ikut menjemput kepulangan Mas Langit di bandara bersama Pak Sukri. Pesawat yang akan ditumpangi Mas Langit akan landing sore ini.

Aku menyempatkan memasak makanan kesukaan Mas Langit sebelum berangkat ke bandara. Tidak lupa aku memoles wajahku dengan riasan ringan agar terlihat lebih segar saat bertemu suamiku nanti.

Sesampainya di bandara , aku menunggu dengan sabar di gate kedatangan mancanegara. Tidak beberapa lama Mas Langit terlihat muncul diantara kerumunan orang-orang. Mas Langit terlihat sangat menonjol diantara orang-orang sekitarnya. Berpostur tinggi dan gagah. Wajahnya mempesona dengan jambang tipis menghiasi dagunya. Subhanallah sungguh indah ciptaan-Mu.

Aku melambaikan tangan dan memanggil nama Mas Langit. Aku sambut kedatangannya dengan senyuman. Rindu ini seketika runtuh setelah melihatnya tepat di depan mataku meskipun tidak ada pelukan hangat saat bertemu kembali.

Melihat Mas Langit memakan masakanku dengan begitu lahap membuat hatiku sangat senang. Kami mengobrol ringan tentang kondisi bunda. Mas Langit memberitahuku jika bunda kondisinya terus membaik seperti sekarang ini maka bunda akan segera diperbolehkan pulang. Untuk recovery penyembuhan bunda, rencananya bunda akan tinggal di rumah tante Rita. Karena rumah tante Rita berada di kaki gunung. Tempatnya cukup tenang dan jauh dari kebisingan serta polusi yang ada di kota.

Aku berharap dan selalu mendoakan akan kesembuhan bunda. Tidak sabar rasanya melepas rindu dengan malaikatku ini meskipun hanya sebentar saja.

Malam ini kami tidur seranjang. Tetapi tetap saja Mas Langit tidur membelakangiku, meskipun ada batas guling pemisah di tengah-tengah kami. 

Hujan lebat berserta petir membuatku tidak bisa tidur. Bayangan bencana yang merenggut seluruh keluargaku seketika muncul dalam ingatan. Membuatku tidak tenang dan ketakutan karena trauma kejadian itu belumlah hilang.

Jika dahulu sebelum menikah aku akan pergi ke kamar Hanifa. Hanifa akan memelukku erat sampai aku merasa tenang. Tapi sekarang aku merasa sendiri meskipun statusku sudah memiliki suami. Tidak ada hati. Tidak ada cinta untukku. Tidak mungkin aku berani selancang itu meminta Mas Langit untuk memelukku.

Petir yang semakin menggelegar berbanding lurus dengan ketakutanku yang semakin menjadi. Keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuhku. Kulirik kearah samping terlihat Mas Langit yang tertidur pulas seperti bayi.

Aku memberanikan diri menyingkirkan guling pembatas diantara kami. Menggeser tubuhku lebih mendekat ke tubuh Mas Langit. Lalu kututup wajahku dengan selimut. Aku merapalkan doa-doa semoga hujan dan petir ini cepat reda.

"Bapak-Ibu Laila takut" monologku. Petir semakin menjadi. Suaranya membahana memenuhi ruangan. Aku semakin memejamkan mata sambil menggigiti bibir bawahku.

Ditengah-tengah ketakutanku, ku rasakan seseorang menarik selimut yang menutupi wajahku.

"La kenapa? Kamu takut petir?"

Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Mas Langit. Tangannya tiba-tiba mengusap pipiku. Aku baru sadar ternyata aku menangis karena sangat ketakutan.

"Maaf ya, saya baru tahu kalau kamu takut hujan dan petir"

Mas Langit memelukku erat. Menyandarkan kepalaku ke dada bidangnya. Rasanya seperti mimpi. Terdengar detak jantung yang bertalu-talu saat ini. Tentu saja itu suara jantungkku yang berdetak di atas normal.

"Tidur La, jangan takut. Ada saya disini" Mas Langit mengusap-usap rambutku seperti menidurkan seorang bayi. Rasanya nyaman sekali.

Seketika rasa takutku pergi. Digantikan rasa bahagia yang tak terkira. Melihat tindakannya yang hangat kepadaku membuat semangatku kembali. Semangat untuk meluluhkan hati Mas Langit, membuatnya jatuh cinta kepadaku.

Aku ingin menikmati momen ini lebih lama lagi. Merasakan usapan lembut tangan suamiku. Akan tetapi rasa kantuk yang muncul membuatku terlelap ke alam mimpi.

Sayup-sayup adzan subuh menyapa indra pendengaranku. Mataku perlahan terbuka namun tak kutemui Mas Langit di sisi ranjang. Hanya ada dua guling yang mengapitku disisi kanan & kiri.

Awalnya aku mengira Mas Langit sedang pergi ke masjid untuk sholat subuh. Tetapi saat aku menuju dapur untuk memasak sarapan, aku melihat suamiku tertidur di ruang kerjanya. Hatiku sangat ngilu. Aku berfikir 'tidak adakah sedikit cinta untukku? Sampai Mas Langit lebih memilih tidur di kursi kerjanya dibandingkan tidur denganku di ranjang yang nyaman'

Ternyata angan-anganku terlalu melambung tinggi. Membuatku sakit saat kenyataannya jauh dari mimpi-mimpiku yang indah.

Rasanya aku ingin menyerah saja. Aku merasa kasihan melihat Mas Langit yang tidak bahagia denganku. Tapi pernikahan ini baru seumur jagung. Sangat tabu jika sampai terjadi perpisahan. Bagaimana dengan kesehatan bunda? Dan yang lebih kuyakini, hatiku sekarang tidak mampu untuk melepas Mas Langit.

---------------------------

Sore ini selepas mengajar , aku dan bu Vera akan mencari kostum dan keperluan pentas sandiwara anak-anak. Sandiwara bertema cinderela itu akan diselenggarakan minggu depan.

Sebelum pergi aku meminta ijin kepada Mas Langit terlebih dahulu melalui pesan singkat. Mas Langit mengijinkan dan dia mengabariku akan pulang malam karena harus lembur beberapa proyek yang terbengkalai ketika menemani bunda di Singapura.

Aku dan bu Vera berkeliling dari satu toko ke toko yang lain. Setelah lelah berkeliling, hanya tinggal satu yang belum didapatkan yaitu kostum bertema tuan putri. Aku pernah melihat kostum yang cukup bagus di sebuah toko yang berada di mall. Kami bergegas menuju toko tersebut karena waktu sudah menujukkan pukul 19.00. Aku tidak mau pulang terlalu malam. Aku ingin berada di rumah sebelum Mas Langit pulang.

"La" panggi bu Vera.

"Iya bu" jawabku sambil memilah-milah kostum tuan putri yang menurutku cukup bagus-bagus.

"Itu bukannya Langit. Suamimu?" Tunjuk Bu Vera pada sebuah café.

Aku melihat dua orang berlawan jenis sedang duduk di cafe yang bisa dilihat dari luar. Dua orang itu Mas Langit dan Mbak Caca. Mereka duduk berhadapan di sebuah café. Beberapa piring kosong terlihat di atas meja. Menandakan mereka berdua baru saja selesai makan malam. Hanya berdua saja.

Hatiku diliputi cemburu. Tapi aku bisa apa? Tidak mungkin aku menyuruh Mas Langit untuk memilih mencintaiku daripada Mbak Caca. Karena hati tidak bisa dipaksakan.

"Kamu ga mau nyamperin suamimu dulu?" 

"Em.. tidak usah bu. Takutnya mengganggu kalau ada pertemuan dengan rekan bisnis" jawabku.

"Ya sudah kalau begitu, ayok pulang. Saya antar kamu"

Ketika di dalam mobil menuju perjalanan pulang, aku membuka social mediaku. Aku mencari nama Marisa/Caca di kontak pencarian. Mungkin aku sudah gila hingga menstalking social media milik Mbak Caca.

Ku temukan update story 30 menit yang lalu dengan caption 'Special Dinner'. Di sana ada unggahan foto Mas Langit dan Mbak Caca yang sedang makan malam berdua.

Aku sungguh bodoh. Keingintahuanku membuat hatiku terluka lebih dalam lagi. Cemburu. sakit. Tidak dicintai. Membaur menjadi satu lebih perih dari sayatan belati.

Istri Pilihan Bunda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang