ENAM

203 14 0
                                    

HAPPY READING!!







"Oke, gue kesana."

River menutup telepon rumah. Ia pun bergegas menuju kamarnya untuk bersiap diri, lalu mengambil jaket hitam yang tergantung di balik pintu kamarnya dan ia pakaikan pada tubuhnya untuk menutupi kaos yang warnanya senada.

River mempercepat langkahnya menuruni tangga. Lalu mengambil kunci motor diatas nakas yang ada di dekat televisi ruang keluarga.

Motor yang ia gunakan adalah motor milik Gray. Kebetulan, Gray berangkat kuliah dijemput oleh teman-temannya menggunakan mobil, karena itu motornya menganggur dihalaman rumah.

Dinaikinya motor retro klasik berwarna hitam itu seraya memakai helm full face dengan warna senada, lalu pergi meninggalkan rumah minimalis itu.

Tak butuh waktu lama, akhirnya River sampai di tempat yang ingin ia tuju, ketika ia selesai mendapat telepon dari seseorang tadi.

Selesai memarkirkan motor, River berjalan menyusuri taman yang sudah dipenuhi orang-orang, ada yang sekedar bersantai ria, piknik, atau hangout bersama teman-teman atau orang tersayang untuk menikmati suasana sore diluar.

Dari kejauhan, matanya menangkap seseorang yang sedang duduk di bangku taman menghadap kearah danau. Ia kenal sekali postur tubuh itu. Siapa lagi kalau bukan Glenda.

Ya, Glenda. Dia yang menghubungi River melalui telepon rumah tadi karena ia tau River tak memiliki ponsel, dan Glenda juga yang menyuruh River datang menggunakan motor milik Gray.

River pun berjalan pelan menghampiri Glenda. Suara hentakan kakinya nyaris tak terdengar, hingga membuat Glenda tak menyangka jika River sudah berdiri tepat dibelakangnya.

River berdehem pelan dengan posisi tangan yang selalu berada di saku celana, dan membuat lamunan Glenda seketika buyar. Glenda menoleh, "Sejak kapan lo disini?" Glenda kebingungan setengah mati.

River belum menjawab. Ia malah langsung berjalan untuk duduk disamping Glenda, membuat gerakan kepala Glenda mengikuti River.

"Ada apa?"

Pertanyaan itu jelas-jelas sangat singkat dan ditanyakan oleh River dengan nada dan wajah datar. River selalu begitu. Membeku, dingin. Seakan belum pernah ada yang membuatnya menjadi seorang yang berkepribadian hangat. Ia sangat to the point.

Merasa sudah biasa diperlakukan seperti itu, Glenda pun memaklumi. Ia tau jika es di kutub utara susah untuk mencair. Kalaupun mencair mungkin akan ada pemanasan global. Ah, sudahlah.

"Gue boleh ngomong sesuatu?"

Glenda mencoba memulai pertanyaan yang lumayan cukup serius. Ditambah dengan ekspresinya yang mendukung.

"Apa?"

Glenda menggigit bibir bawahnya, ia takut untuk memulai pertanyaan, rasa-rasanya seperti sedang berada di kandang singa, "Ada hal penting yang mau gue omongin. Tapi, gue minta lo jangan cepat ambil kesimpulan dulu dari cerita gue. Karena masih ada sesuatu yang ngeganjal gitu." Jelas Glenda.

River melirik Glenda, "Cerita apa?" Katanya penasaran.

"Mengenai kematian Laura." Sahut Glenda, "Dan, keluarga Harrison." Tambahnya.

Mata River terbelalak. Ia bingung setengah mati karena tiba-tiba Glenda ingin membahas mengenai Laura dan keluarga Harrison. River sengaja tidak ingin menatap Glenda, ia arahkan matanya menatap danau yang tenang itu, "Kenapa tiba-tiba bahas Laura dan keluarga angkatnya?"

"Ya, gue pengen cerita sesuatu sama lo yang mungkin ini sdalah cerita yang udah gue tutupin dari siapapun, walaupun Gray akhirnya udah tau." Glenda sejenak menatap River yang masih mengarahkan matanya pada danau, lalu tak lama Glenda mengikuti arah pandang River, "Sebenarnya," Glenda menelan salivanya, "Keluarga Harrison itu adalah keluarga gue juga."

Seething With RageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang