Peluit berdengung, tanda pelajaran olah raga akan segera dimulai. Kali ini saatnya kelas Jenderal. Murid murid berkumpul di tengah lapangan, baru setengah karena para gadis masih sibuk dengan sunscreen nya di kamar mandi.
"Karena minggu kemarin sudah belajar teori nya, maka hari ini akan praktik. Nah—"
"Jenderal! Kamu ambil bola basket sama bola sepak di gudang."
"Masing masing harus ada empat. Jangan sampai kempes, pilih yang paling bagus!" Pak Jarwo—guru olahraga—berteriak tegas bak meneriaki salah satu pasukan tentara yang melakukan kesalahan.
"Se-sendiri pak?" Jenderal bertanya putus putus. Tak yakin. Delapan bola dengan dua tangan ini tak mungkin, kecuali ia membawa dengan dua ronde—dan itu tak mungkin di perbolehkan oleh seorang Jarwono
"Iya! Yang cepet, waktunya udah kepepet ini!" mata pak Jarwo melotot. Melihat tingkah Jenderal yang menurutnya itu sangat tidak lakiable.
"Jangan bolak balik! Bawa langsung semua!" Pak Jarwo mengingatkan. Tahu betul gelagat lelaki itu yang tak bisa membawa delapan bola sekaligus. Tapi apa boleh buat, seperti melihat Jenderal yang menderita adalah keinginan semua orang. Termasuk dirinya.
"Iya.." Jenderal menghela nafas panjang. Berjalan menuju gudang demi memenuhi hasrat pak Jarwo yang ingin melihat dirinya menderita.
Guru dan murid di sekolah ini tak ada bedanya, Jenderal benar benar dianggap seperti babu rendahan di sekolah ini.
Apa karena dirinya yang cacat? Atau karena dirinya masuk sekolah elit ini karena beasiswa bukan karena uang?
Kebanyakan guru muda yang mengajar disini mungkin karena mereka belum berpengalaman jadi memperlakukan dirinya secara berbeda?
Tidak ada hubungannya.
Jenderal membuka pintu gudang yang tak terkunci. Menarik nafas lalu menghembuskan nya perlahan. Ia berniat menahan nafas agar debu debu tak masuk kedalam hidung nya yang sangat sensitif.
Gelap dan sepi. Seperti hatinya. Jenderal berjalan lagi, menuju keranjang penuh bola.
Ia menghela nafas pelan, tak habis pikir dengan pak Jarwo yang begitu tega menyuruhnya mengambil delapan bola sekaligus.
"Galau? Sini cerita, gue dengerin." Jenderal bahkan belum memikirkan bagaimana cara agar ia bisa membawa bola bola tersebut, namun kekehan yang sudah ia kenali sejak semalam membuat hati gusar nya terasa lebih baik.
"Dateng tepat waktu terus kamu—
—Jeovan." Jenderal tersenyum kecil, melihat sosok laki-laki yang terhitung dua kali sudah menolong nya.
"Delapan ya? Gue bawa empat, lo bawa empat." Jeovan yang juga menggunakan baju olahraga itu mulai mengambil empat bola basket, bagian punggung baju laki-laki itu basah.
"Jam olahraga di lapangan sebelah Jeovan?" Sekedar basa basi, Jenderal sudah tahu jawabannya pasti iya, namun ia tak ingin menjadi laki-laki membosankan yang tak memiliki topik percakapan.
Jeovan itu teman nya—mungkin—dan dia harus membuat senyaman mungkin ketika Jeovan berada di sebelah nya.
"Bolanya bagus semua, ambil bola sepak nya, Jenderal." Jeovan tak menjawab, ia fokus pada keranjang bola.
Jenderal mengangguk, mengambil asal bola sepak, karena kata Jeovan sendiri semua bola di keranjang itu masih berkualitas dan layak di gunakan.
Jeovan empat bola basket, dan Jendral empat bola sepak. Dua laki-laki itu berjalan keluar gudang bersama.
"Gue juga ngga suka sama pak Jarwo,"
"Asli, pas nyuruh nyuruh kumis nya tuh kek ikutan gerak. Sebel banget gue liatnya, kek gimana gitu gerak gerak." Wajah laki-laki itu menampakkan ketidaksukaan nya.
"Ngga gatel apa tuh hidung sama mulut, kumis udah gondorong ngga pernah di potong."
Jeovan dan mulutnya yang tak bisa diam itu mulai mengeluarkan suara kembali, walau sebenarnya Jenderal dongkol karena perkataannya yang memang tak ada manfaatnya untuk di dengar.
"Kualat, jangan ngeledek guru." Walaupun hati Jenderal selalu menghangat setiap mendengar suara laki-laki itu.
Teman laki-laki pertama, sejak lama Jenderal mengharapkan hal itu, dan Jev datang seperti malaikat baginya—lebay.
Namun Jenderal memang laki-laki lebay, tak di pungkiri sudah lama sekali ia tak berinteraksi santai dengan sesama laki-laki.
Mungkin jika ditanya, soal marahnya Narana ia bisa menjawab.
"Lama banget Jenderal!—kamu ngapain ke lapangan utama Jeovan?" Pak Jarwo yang memimpin tiga barisan kelas Jenderal mendelik tajam melihat kedatangan sang babu dan seseorang yang tak diharapkan.
"Lah pak? Bapak ngga lihat toh? Jeovan lagi bantu Jenderal ini." Delikan dari pak Jarwo dibalas tak kalah tajam dengan tatapan milik Jeovan.
Dengan nada suara yang di sengajakan untuk memancing amarah sang guru olahraga, Jenderal menyikut siku Jeovan agar laki-laki itu diam.
"Maaf, pak. Tadi ngelamun, jadi agak lama." Jenderal tersenyum kecut, menjawab lebih baik.
"Jeovan! Balik lo! Di cariin nyak Siti!"
"Eh, balik dulu ya, kalo ada apa apa call aja kawan!" Jeovan menelan ludahnya susah payah, ketika sudah mendengar nama Siti tersemat di pekikan cempreng itu.
Buru buru laki-laki itu pergi sebelum sang ketua kelas mengamuk karena kehilangan satu anggota kelas.
Menyisakan tatapan tajam pak Jarwo yang belum menghilang, juga para murid, termasuk Narana yang berbasis di paling depan diam seperti menunggu apa yang akan terjadi.
"Padahal saya bilang bawa delapan bola nya sendiri Jenderal."
"Oi, bebal sekali, itu masih perintah mudah Jenderal!"
"Dan juga kenapa Jeovan itu mau sekali membantu laki-laki cemen seperti kamu." Pak Jarwo mendecih kecil, merasa kesal.
"Lari kamu, lima putaran! Jangan ada acara jeda jedaan!" Guru berkumis itu mengibas ngibaskan tangannya, menyuruh Jenderal menjauh dan melakukan hukuman nya.
"Bergegas Jenderal! Atau saya tambah jadi sepuluh putaran?!"
Jenderal yang tadi sempat melamun serba salah terperanjat, mulai melangkah menuju lapangan yang menjadi objek putaran baginya.
"Belum sempet sarapan sih, tapi jangan lemah ya?"
"Malu jadi cemen terus.." Laki-laki itu menarik nafas panjang, mulai berlari dengan kecepatan sedang.
Sedangkan murid lain yang berada di pinggir lapangan kembali pemanasan sembari melirik, dan berbisik bisikkan.
"Dasar lelaki pucat." Narana menghela nafas gusar. Sebentar lagi laki-laki itu roboh dirinya yakin sekali,
—lihat saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jenderal
Ficção Adolescente{ Angst-Hurt } { Lokal-Teen } { Jeno Lee from NCT } Hanya sepotong kisah sang pemilik senyuman terbaik; Jenderal. ❝𝙹𝚎𝚗𝚍𝚎𝚛𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞 𝚒𝚗𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚕𝚞𝚔𝚊, 𝚜𝚎𝚍𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚞𝚣𝚣𝚕𝚎 𝚈𝚊�...