sosok ayah

360 31 2
                                    

Biarpun dia seorang monster, dia tetaplah sosok yang akan terus mengkhawatirkan mu.

Dia hanya menjelma.

***

"Kenapa bisa?!"

"Kalian tidak menjaga nya dengan baik hah?!" Ares mengusak rambut kasar, frustrasi dengan hilangnya Jenderal.

"Sialan sialan kalian semua!" Ares menggigit bibir bawahnya. Oke, perasannya benar benar kacau sekarang.

Kondisi buruk putranya benar benar membuat rasa khawatir mendominasi pria itu.

"Kanker darah atau leukemia yang diderita putra anda sudah menyebar hampir keseluruh bagian penting tubuhnya."

"Panas, sesak nafas, juga kejang menjadi salah satu cirinya, putra nya sudah amat terlambat untuk mendapatkan pengobatan."

"Ini sudah terlalu parah—

—kita hanya tinggal menunggu waktunya dia pergi."

"Maaf? Apa maksud anda dokter?" Ares menaruh hasil medis Jenderal, menatap sengit wajah dokter Damian.

"Jika dia mati maka semua ini salah anda,"

Dahi Ares mengerut dalam.

"Anak baik itu anda biarkan merasakan sakit, walau anda tahu dan anda sama sekali tak berniat melakukan pengobatan apa pun untuknya."

"Sebenarnya yang jahat disini adalah anda tuan yang paling terhormat Ares Adirtama."

"Cari! Cari keberadaan atau kalian semua saya pecat!" Ares mengibaskan tangannya kasar, menyuruh semua orang pergi mencari kemana kah seorang Jenderal pergi.

"Kau terlihat khawatir papa?"

"Apa kau mengkhawatirkan pembunuh itu?" Sagara mendecih, tak percaya dengan reaksi Ares ketika tahu Jenderal menghilang.

"Tutup mulut mu, janji mama harus papa tepati."

"Dan kamu membuat nya sulit!" Ares mendengus, mendorong kasar tubuh Sagara.

"CCTV! Cek secara keseluruhan!" Ares menjauh. Sagara jelas melihat raut khawatir di wajah sang ayah.

"Pria tua itu benar benar!" Waktu tidurnya terganggu hanya karena rasa menjijikkan Ares pada Jenderal.

Setelah tadi malam terburu buru membawa Jenderal kerumah sakit, lalu sekarang ia sibuk mencari Jenderal yang tiba tiba hilang entah kemana di pagi buta ini.

Ada apa dengan pria tua itu? Apa dirinya tak lelah? Padahal menurut pemikiran terbaik Sagara tidur akan lebih membuatnya bahagia dari pada harus bersusah susah mencari seorang pembunuh yang tiada artinya.

Lagi pula kenapa tadi malam sosok Jenderal tak dibiarkan mati membeku seorang diri saja?

Sagara menghela nafas panjang, lebih memilih pergi dari area rumah sakit daripada harus ikut membatu mencari orang yang ia benci.

Hari ini ia harus sekolah, ini hari terbaik untuk sekolah. Tak ada sosok Jenderal jadi ia dapat menghabiskan waktu bersama Narana.

"Ck, laki-laki naif."

=====

Mata Ares membesar melihat tubuh Jenderal yang tiba tiba muncul, tergeletak dilantai utama.

"Sialan, anak itu melakukan apa?!" Ares meringis ngeri, matanya terus melihat layar yang kini menampilkan Jenderal berlari.

Berlari keluar gedung rumah sakit—hanya sampai disitu, lalu sosoknya hilang tak bisa terjangkau CCTV.

Ares menghela nafas, haruskah ia sebarkan berita ini? Ini hanya penting baginya tapi jika ada bayaran bagi yang menemukan mungkin dia bisa menemukan Jenderal lebih mudah.

"Sepertinya dia dibawa mobil putih ini tuan," ucap salah satu pengawas.

"Plat mobil?"

Pengawas itu nyengir, "Tidak kelihatan tuan, buram.."

Ares menghela nafas panjang, lebih panjang dari sebelumnya. Kenapa bocah itu nekat sekali pergi dalam kondisi buruk?

Masalah ini terasa lebih rumit dari yang ia kira, terlebih janji janji nya pada dia membuat hati Ares lebih kacau, lebih khawatir, lebih selebih lebihnya.

Semua hatinya rasakan karena ingatan itu kembali lagi.

"Catat! Tanggal 1, bulan Mei, tahun 2016, pukul 08:32." Dokter itu menutup wajah sang pasien dengan kain putih, menghela nafas panjang.

"Maaf tuan, maaf sekali, istri anda tidak bisa diselamatkan." Dokter itu berkata prihatin pada pria yang kini mematung.

"Tunggu, jangan berbohong dokter—" Suaranya tercekat, matanya memanas ingin menumpahkan kesedihan.

"Saya hanya menemukam ini disaku bajunya, mungkin untuk anda."

"Tapi—"

"Saya turut berduka cita tuan.." Dokter menepuk pundak pria itu, prihatin melihat wajahnya yang sudah basah dengan air mata.

Pria malang itu—Ares Adirtama mengambil kertas terlipat dari dokter tadi dari sakunya.

Ia menarik nafas panjang, membuka secarik kertas itu perlahan.

"Ares, maafkan aku harus pergi meninggalkan mu lebih cepat. Aku sakit, itu kenyataannya.

Maafkan aku tidak bisa merawat Sagara lebih lama, bocah itu sekarang sepuluh tahun bukan? Dia akan tumbuh menjadi pria hebat seperti mu kelak.

Aku langsung saja, aku tidak bisa menulis ini sepanjang yang aku mau. Tangan ku lemah, dan itu sangat menyebalkan.

Jenderal itu namanya, dia lebih tua satu tahun dari Sagara. Dia anakku bersama mantan suami ku yang sekarang entah dimana keberadaan nya.

Aku berharap pada tuhan, kamu dan Jenderal bisa bertemu kelak. Jika kamu bertemu dengannya tolong bawa dia, jadikan dia kakak bagi Sagara.

Dia anak yang baik, tolong berikan dia kasih sayang seperti anakmu sendiri ya?

Aku sangat menyesal sudah membuang nya kedalam panti asuhan kumuh, jadi tolong jadikan dia putramu.

Tolong penuhi permintaan ku ya?

Dari yang selalu mencintaimu, Davina."

"Argh!" Ares menendang satu kursi dengan perasaan kesal.

Seharusnya rasa khawatir pada bocah pembunuh itu tak hadir dihatinya.

"Tolong penuhi permintaan ku ya?"

Tapi permintaan Davina-nya itu tak mungkin bisa ia tolak.

"Temukan dia apa pun caranya!"

JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang