Jenderal menatap seorang Jeovan dari belakang, laki-laki yang kini tengah mengendarai motor beat berwarna merah dan dirinya yang bertempat di belakang sebagai penumpang.
Jeovan? Itu nama laki-laki yang sangat baik ingin menolong dirinya. Dan dialah orang kedua—setelah Narana—yang mau berbicara baik padanya.
Perkataan Jeovan sebelumnya masih belum bisa ia cerna dengan baik, ia tak paham sama sekali.
Mereka tidak izin untuk pulang lebih dulu, namun waktu Jenderal bangun itulah saat itu juga bel pulang berbunyi.
Selama itukah ia tak sadarkan diri? Selemah itu kah ia sampai tak sadarkan diri berjam jam hanya karena guyuran hujan yang tak seberapa.
Padahal dulu ia sering main hujan, dan ia tak pernah jatuh pingsan karena rintikan indah itu.
Jenderal menghela nafas, laki-laki yang sedang fokus mengendara ini seakan tahu segalanya. Segala tentang dirinya.
Bahkan sekarang, motor milik Jeovan sudah memasuki area elit kompleks nya. Jenderal sudah bisa melihat dari kejauhan rumah yang menjulang tinggi dan paling mencolok—menurut nya.
Itu rumahnya,
Bukan itu rumah keluarga Adirtama. Rumah yang menurut nya bak istana di negeri dongeng. Istana itu tidak pernah menjadi rumah ternyaman bagi Jenderal, walau seluruh fasilitas yang lebih dari kata memadai.
"Rumah lo kan? Bener gue?" Motor Jeovan terhenti, tepat di depan rumah besar berwarna coklat keemasan.
Jenderal turun dari jok belakang, ia mengangguk samar. "Tau darimana?" Tanya nya sebelum masuk, sebelum mengucapkan terima kasih.
"Gue tau segala sesuatu tentang lo, kawan." Jeovan tertawa, tawa yang selalu membuat kedua lesung pipinya terlihat indah dan jelas.
"Kawan?"
"Udah ya, gue pergi." Jeovan masih sibuk dengan tawa nya, motor laki-laki itu menyala mengeluarkan suara cukup nyaring—sudah berkali kali divariasi dan juga masuk bengkel.
Jeovan memutar arah motornya, tersenyum kecil pada Jenderal pertanda bahwa ia akan segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Ntar besok gue samperin, jangan mati duluan ya?" Motor merah itu melaju dengan cepat dibawa oleh sang pengendara yang bahkan punggungnya tak lagi terlihat di pandangan Jenderal.
Laki-laki yang sekarang sendirian itu menghembuskan nafas, manik milik laki-laki itu fokus menatap istana indah di hadapan nya.
"Jenderal ngga sempet bilang makasih sedikit pun."
Jantung Jenderal berdetak tak karuan, perlahan kaki nya melangkah maju—perasaannya tak enak.
***
"Baru pulang Jenderal?"
"Sama temen ya? Baik banget dia mau nganterin kamu." Ares menatap Jenderal dengan tatapan seperti biasa—mengintimidasi. Pria baya itu bangkit dari acara membaca koran nya.
"Pake guna guna apa kamu Jenderal? Sampe punya temen?" Ares tertawa pelan, ia mendekati tempat Jenderal berdiri. Laki-laki itu diam membatu, Ares pulang lebih cepat dari biasanya, kenapa?
"Juga sampe Mayang—pacar anak saya kepincut sama kamu?" Ares berucap sinis, menyindir. Tangan pria baya yang masih gagah itu dengan cepat mencengkeram kuat dagu Jenderal, membuat laki-laki yang sebelumnya menunduk itu kini mendongak.
Kedua manik itu saling bertatapan, "Kamu pacaran sama Mayang Jenderal?" Tanya Ares, yang langsung di jawab gelengan kuat oleh Jenderal.
"Ngga, Jenderal ngga pacaran dan ngga pernah mau pacaran sama Mayang.." Jenderal berkata pelan, dia ketakutan.
"Tapi anak saya jadi frustrasi gara gara kamu." Ares melepaskan cengkeram nya, tangannya melayangkan sebuah tamparan kuat yang mengenai pipi kanan Jenderal.
"Anak saya minum obat lagi gara gara kamu, Jenderal!" Nafas pria baya itu tiba tiba memburu, matanya menyipit nyalang menatap sang musuh—yang notabe nya adalah putra angkat nya sendiri.
"Jangan pernah buat anak saya mengalami tekanan lagi, Jenderal."
"Dia kambuh lagi, dan lagi lagi karena kamu lah penyebab nya!"
"Brengsek!" Satu pukulan telak mengenai pipi Jenderal yang sudah jatuh tersungkur sejak tadi. Bibirnya yang sudah robek karean tamparan kuat tadi merasakan panas kembali, lebih sakit dari sebelumnya.
"Yahh, padahal luka Jenderal belum sembuh bener. Udah di kasih lagi." Jenderal meringis perih, pukulan tak main main itu tepat mengenai bekas lebam nya yang belum sembuh.
Matahari masih setengah terik, waktu makan siangnya terlewati dengan sia sia. Namun Jenderal sudah tak lapar ia terlalu kenyang malah untuk menampung seluruh rasa sakit karena pria baya penuh emosi ini. Makan? Ini makananya, pukulan, tamparan, makian dan berbagai jenis luka lainnya.
"Setelah istri saya kamu juga mau buat anak saya mati?!"
"Ayah, Jenderal ngga ngerebut Mayang dari Sagara." Jenderal tersenggal, wajahnya yang belum sembuh hancur kembali.
"Ayah percaya kan? Mana ada yang mau sama cowok cacat kaya Jen.." Tubuh Jendela bergetar. Hearing aid yang sengaja ia lepas satu membuat pendengaran nya buruk. Kepala lelaki itu mendongak agar dapat menatap Ares memelas.
Tubuh ringkih laki-laki itu dengan cepat ambruk walau hanya mendapatkan beberapa pukulan yang mungkin menurut orang tidak ada apa apanya bagi laki-laki.
"Jenderal cacat yah, mana ada yang mau.." Ucapnya kali ini, lebih lirih dari sebelumnya.
"Udah saya bilang banyak kali, jangan panggil saya ayah! Kamu ngga sadar kamu itu siapa hah?!" Rahang Ares mengeras, urat urat di tangannya menonjol. Nafas pria baya itu tak beraturan, kilatan matanya masih penuh amarah.
"Kamu cuma pembunuh! Bahkan nyawa ngga ada harga nya!" Teriak pria baya itu meledak ledak. Jenderal yang terkapar di kakinya ia tendang tanpa ampun, menginjak perut laki-laki itu sampai sang empu terbatuk keras.
Jenderal sudah tidak kuat, matanya mengeluarkan air mata. Rasa sakit hatinya lebih parah dari semua luka ini. Rasa sakitnya yang diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang amat ia sanjungi.
"Tolong Jenderal, jangan rusak kebahagiaan Sagara. Jangan buat keluarga saya hancur kembali." Perkataan Ares yang terdengar lirih dan sedikit amarah yang terendam itu bak pengantar tidur bagi Jenderal.
Pandangan lelaki itu semakin kabur, ia lihat samar samar Jefri bangkit meninggalkan nya sendiri dengan keadaan seperti ini—itu biasa.
"Tuhan, Jenderal mati nya kapan? Jenderal bosen kalo kaya gini terus.."
Jenderal dan Jeovan
mereka ganteng banget, plissss☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenderal
Teen Fiction{ Angst-Hurt } { Lokal-Teen } { Jeno Lee from NCT } Hanya sepotong kisah sang pemilik senyuman terbaik; Jenderal. ❝𝙹𝚎𝚗𝚍𝚎𝚛𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞 𝚒𝚗𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚕𝚞𝚔𝚊, 𝚜𝚎𝚍𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚞𝚣𝚣𝚕𝚎 𝚈𝚊�...