Komen nya teteh teteh, akang akang 😄🙏
****
Bel masuk sekolah Merah Putih sudah mengalun sejak tadi, namun belum ada juga tanda tanda kedatangan Jenderal. Narana mengembuskan nafas gusar, matanya tak bisa teralihkan dari ambang pintu.
"Jenderal kemana sih?" Ia ingin memperbaiki hubungan pertemanan mereka lagi, secara perlahan. Walau hatinya tetap merasakan hal yang sama pada laki-laki tak peka itu.
Ia sudah membela bela duduk kembali di kursi paling belakang, seperti biasanya untuk sekadar berdekatan kembali dengan Jenderal.
Namun lihat, laki-laki itu sepertinya tak datang hari ini. Disaat hati Narana terasa lebih baik untuk mendengar langsung dari Jenderal soal rumor itu.
Lagi pula sepertinya dirinya sudah bersikap terlalu berlebihan pada laki-laki rapuh itu. Hatinya terluka, namun ia yakin lebih parah luka pada hati Jenderal. Mungkin laki-laki itu akan memulai pembicaraan dengannya.
Jenderal bilang ia tak pernah ada di foto itu. Tapi kalau pun itu memang Jenderal, Narana akan mencoba menerima kenyataan itu pelan pelan.
Di mata Jenderal hubungan mereka hanya sebatas teman tak lebih, tak ada yang spesial.
Sejak kapan ia menaruh hati pada laki-laki lemah itu? Sejak pertama kali iris mereka saling bertabrakan. Entahlah, namun saat itu jantung Narana langsung berdetak tak karuan.
"Narana!" Bukan Jenderal itu Jeovan si bar bar.
"Jenderal ada ngga?" Wajahnya berpeluh, seperti habis berlarian kesana kemari.
"Ngga masuk kayak nya." Narana mengangkat bahu sok tak peduli dengan seseorang yang laki-laki itu cari. Raut wajah Jeovan terlihat khawatir.
"Sialan.." Guru mapel Sejarah belum datang entah mengapa, Jeovan berjalan mendekati meja Narana.
"Nanti pulang kita ke rumahnya, Jenderal butuh lo," ujar laki-laki itu serius. Wajah tampan nya benar benar pucat seketika.
"Dia butuh lo, Narana." Jeovan menarik nafas panjang lalu tanpa pamit, tanpa penjelasan lebih lanjut soal perkataanya tadi ia melangkah pergi begitu saja keluar dari kelas Narana.
Mata Narana yang tadi sempat membesar-terkejut dengan perkataan serius Jeovan-perlahan kembali.
"Jenderal butuh lo, Narana." Wajah Narana pias seketika, ucapan Jeovan benar benar membuat persaan nya tak nyaman.
Ia menghela nafas panjang. Ketidakhadiran Jenderal juga perkataan aneh Jeovan membuat suasana hatinya buruk. Jenderal memang tak pernah absen selama ini, dan dia tidak akan pernah absen kecuali dalam kondisi benar benar urgent.
Narana menatap bangku kosong di sebelahnya. Pelajaran mulai berjalan lancar tanpa adanya kehadiran laki-laki pemilik eyes smile.
Lagi pula hadir atau tidaknya tak ada ya peduli soal itu kebuli dirinya dan Jeovan.
"Kamu ngga kenapa napa kan Jenderal?"
=====
Narana berdecak kesal melihat Jeovan yang sudah sangat lama sejak tadi tak berhasil berhasil menyalakan motor beat nya.
"Mau sampe kapan Jeovan? Ngga bakal nyala itu!" Entah sudah berapa kali Jeovan mencoba menyalakan motor butut itu.
"Dasar motor butut, kenapa ngga beli yang baru aja sih?" Narana mendudukkan dirinya frustrasi, jika Jenderal dalam keadaan sekarat saat ini berarti Jeovan adalah seorang pembunuh karena motor kesayangan nya itu.
"Bentar, gue pake jurusan andalan dulu. Sabar dikit kenapa?" Jeovan menatap Narana sinis, marah sudah menyebut motor beat merah nya butut.
Laki-laki itu menutup mata, berkomat kamit sejenak lalu mencoba menyalakan mesin motornya kembali. Dan-
Ajaib! Motor butut itu langsung menyala, mengeluarkan asap mengebul yang langsung tertuju pada Narana.
"Muka gue!!" Gadis yang memang mendudukkan diri tepat di belakang knalpot motor itu lantas berdiri.
"Motor gue balas dendam sama lo." Jeovan tertawa, kekesalan nya pada gadis itu terbalas.
"Ck, tau ah! Cepetan!" Narana berdecak. Naik ke jok belakang, tanpa helm, karena ia tahu Jeovan hanya membawa satu.
"Si paling ngga sabaran." Jeovan menggeleng. Menjalankan motor keluar dari pekarangan sekolah.
"Lo tau dari mana rumah Jenderal?" Narana mencomot asal topik percakapan.
"Gue temennya," Jeovan menjawab sama asalnya.
"Gue juga temennya asal lo tau, kenapa ngga di kasih tau?"
Tak ada yang lucu namun tawa renyah Jeovan tiba tiba terdengar, "Karena lo ngga penting buat dia."
=====
Untuk kedua kalinya motor beat merah Jeovan terparkir mulus di depan istana milik keluarga Adirtama.
"Ini benaran rumah Jenderal?" Narana turun, lantas memekik tak percaya melihat bangunan kokoh di hadapannya.
"Gue ngga pernah sesat." Jeovan mendengus. Memencet bel yang tertempel di salah satu tiang rumah.
"Aku ngga bakal pernah nginjek mall."
"Mau makan aja susah, kan?"
"Ngapain juga aku ke mall?" Pikiran Narana melayang melihat istana kokoh itu, ucapan Jenderal yang lalu menghampiri pikiran nya kembali.
"Makan susah dari mana? Rumah gede kayak begini." Narana tertawa lirih, merasa di bohongi oleh laki-laki yang baru saja ia percayai kembali.
"Ck, kemana sih orang orangnya?" Jeovan memencet bel tak sabaran.
"Muka gue bisa item lama lama-"
"Siapa sih? Ganggu banget." Suatu berat yang terdengar tak asing bagi Narana membuka pintu gerbang.
Laki-laki berkaus hitam itu menguap, sosok itu membuat mata Narana seketika membelak. "Sagara?!"
"Hah? Ngapain kesini?" Sang empu mengerang malas, tidur siangnya terganggu karena dua tamu tak diundang ini.
"Mana Jenderal?" Jeovan yang menjawab. Mata laki-laki itu menajam, mengintimidasi Sagara yang masih sibuk menguap.
"Kenapa emang?"
"Sagara ini rumah lo atau rumah Jenderal?!" Narana memekik, masih bingung dengan keadaan. Tak tahu aja aura gemas tengah menyelimuti dirinya.
"Gue tanya mana Jenderal?"
"Temen yang khawatir huh?" Sagara terkekeh, menampilkan senyuman miringnya.
"Gue tanya Jenderal mana anjing?!" Jeovan menarik kaus hitam ya digunakan Sagara.
"Mana Jenderal?" Dua laki-laki itu saling melemparkan tatapan tajam.
"Tuh dalem-" Sagara menepis kasar tangan Jeovan dari kaus hitamnya, membalikkan tubuh ingin masuk kedalam kembali.
"-tapi jangan pada kaget sama keadaan nya."
=====
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenderal
Ficção Adolescente{ Angst-Hurt } { Lokal-Teen } { Jeno Lee from NCT } Hanya sepotong kisah sang pemilik senyuman terbaik; Jenderal. ❝𝙹𝚎𝚗𝚍𝚎𝚛𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞 𝚒𝚗𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚕𝚞𝚔𝚊, 𝚜𝚎𝚍𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚞𝚣𝚣𝚕𝚎 𝚈𝚊�...