Laki-laki yang sedari tadi berjalan tanpa arah di sekitar mengelilingi sekolah kini memilih mendudukkan dirinya di tengah lapangan.
Kosong dam hampa itu yang kini sedang menyelimuti hati kecilnya.
Semua murid dan guru sudah memulai pelajaran selanjutnya lagi. Tapi Jenderal belum bisa melangkahkan kaki nya menuju area kelas maupun koridor.
Laki-laki itu terlalu gelisah.
Ini menjadi yang pertama dimana ia bolos saat pelajaran, lagi pula sepertinya tidak apa apa? Ini pertama kali mungkin ia hanya mendapatkan sekedar teguran
Jenderal menghela nafas untuk kesekian kalinya.
Langit siang ini mendung tiba tiba tanpa alasan, padahal pagi tadi matahari nya menyala nyala.
"Kenapa sih Jenderal harus tuli?"
"Kenapa sih selalu Jenderal yang jadi bahan ketawa?"
"Emang Jenderal sebegitu lucunya ya, Tuhan?" Jenderal ingin berteriak mengeluarkan segala yang ia rasakan, segala yang sebelumnya ia pendam sendirian. Namun ia terlalu takut untuk melakukan itu, ia naif. Hanya hati Jenderal yang dapat berteriak sekeras mungkin untuk saat ini, untuk kesekian kalinya Jenderal memendam semuanya sendirian.
Tuli? Itulah kenyataan yang harus Jenderal telan pahit pahit, sejak kecelakaan nya delapan tahun lalu ia menjadi seperti ini. Cacat yang selalu dikatakan orang orang itu memang benar adanya, namun haruskah mereka memanggil nya dengan sebutan cacat?
"Sendirian emang hal yang abadi ya buat Jenderal?" Hanya hati kecil miliknya bersuara lagi, hanya Jenderal yang mendengarnya, hanya Jenderal seorang yang tahu.
Jenderal mendongak menatap langit siang ini yang sangat mencerminkan perasaannya, Gelap.
"Kalo nggak ada yang mau nerima Jenderal, kenapa Jenderal harus di kasih nyawa?"
Jenderal menarik nafas panjang, "Dari banyaknya manusia kenapa harus Jenderal yang Tuhan pilih?" Perlahan air mata laki-laki itu keluar tanpa permisi. Tadi pagi Jenderal belum menangis, saat dikantin juga Jenderal belum menangis, dan kini waktunya tiba. Waktu yang tepat untuk Jenderal mengeluarkan rasa sesaknya.
"Jenderal nangis mulu, cengeng deh.." Rasa sesak itu keluar menjadi butiran yang paling ia benci.
Padahal laki-laki itu selalu berjanji untuk tidak akan menangis lagi, walaupun Jenderal tahu itu salah satu hal yang mustahil bagi Jenderal.
"Jenderal cuma pengen sempurna, kayak yang lain. Yang bisa denger tanpa alat bantu.."
"Jenderal cuma pengen bahagia kayak yang lain.."
Kilatan menyambar langit membuat mata Jenderal seketika tertutup rapat. Setelah itu guntur mengeluarkan bunyi nyaring yang sempat membuat telinga Jenderal pekak, kedua belah tangan Jenderal langsung melepaskan alat bantu yang selalu bertengger di telinganya.
"Kaya nya temen Jenderal cuma kilat sama guntur aja."
Jenderal itu masih kecil, masih seperti dulu waktu laki-laki itu berumur sepuluh tahun. Hati nya masih rapuh, seperti dulu. Air matanya masih sering jatuh. Bedanya laki-laki itu tak lagi menyukai hujan.
Jenderal meringis pelan, masih dengan air mata yang terus mengalir. Awan mendung itu pada akhirnya robek mengeluarkan seluruh airnya.
Perlahan titik titik indah itu membasahi bumi termasuk tubuh ringkih yang kini sudah bergetar hebat. Hujannya deras sederas air mata Jenderal.
Laki-laki itu diam tak ada niatan sedikit pun untuk berlari mencari tempat berteduh. Hawa dingin juga kegelapan menyelimuti tubuhnya.
"Jenderal jadi cowok kok lemah banget?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Jenderal
Fiksi Remaja{ Angst-Hurt } { Lokal-Teen } { Jeno Lee from NCT } Hanya sepotong kisah sang pemilik senyuman terbaik; Jenderal. ❝𝙹𝚎𝚗𝚍𝚎𝚛𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞 𝚒𝚗𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚕𝚞𝚔𝚊, 𝚜𝚎𝚍𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚞𝚣𝚣𝚕𝚎 𝚈𝚊�...