1 Mei

301 44 34
                                    

Yang nunggu cerita ini update ngacung dong pake lope hijau :-D

Yang sayang Jenderal kasih komen nya dong di setiap paragraf.

Yang sayang ama author nya di cium.

:-P

Jenderal kembali ke rumahnya sekitar pukul empat sore, bersama seluruh kenangan nya bersama Bunda Ana.

Ibunya yang kini bahkan tak ingat siapa dirinya, ia peluk kenangan itu bersama rasa kecewa. Kekecewaan telah melupakan seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya.

Setelah hari ia diadopsi oleh keluarga Adirtama secara terpaksa ia jarang memikirkan Bunda-nya. Terbesit di pikirannya pun tidak, yang ia pikirkan selama ini hanya bagaimana cara agar seluruh luka fisik maupun hatinya kering acara permanen. Bagaimana ia bisa keluar dari neraka ini.

Mungkin karena itu Tuhan membuat Bunda-nya melupakannya dirinya. Karena dirinya terlalu sibuk dengan diri sendiri.

"Pulang juga lo, cacat." Suara dingin membuyarkan seluruh isi pikiran Jenderal yang kecamuk. Siapa lagi kalau bukan Sagara Adirtama, adik kelas sekaligus adik tirinya itu.

Jenderal menghela nafas panjang. "Jenderal capek Saga, mau istirahat. Nanti aja marahnya." Tak dipungkiri rasa lelahnya lebih besar dari rasa takutnya pada Sagara.

Sagara memang sengaja menunggu Jenderal disini, menunggu laki-laki itu untuk ia habisi. 

"Capek ngapain? Yang ada lo yang buat gue capek nenangin papa!" Sagara mendorong bahu Jenderal yang terkulai lemah. Sepertinya laki-laki itu sudah tak kuat menahan seluruh beban di pundaknya.

Entah sejak kapan Sagara sudah berada di hadapannya, namun yang pasti laki-laki itu siap menumpahkan semua amarahnya pada Jenderal.

"Papa nangis! Dan lo lagi sebagai tersangka!" Teriakan marah Sagara membuat sedikit keberanian terbesit dihati Jenderal membuat ia berani membalas tatapan Sagara tak kalah sinis. Segenap keberniannya membuat ia buka mulut, membela diri. 

"Jenderal kenapa? Jenderal baru pulang asal Sagara tahu."

Bughk!

Pukulan telak mengenai pelipis Jenderal membuat laki-laki itu tumbang seketika. "Lo tau ini tanggal berapa?" Dada Sagara naik turun, karena emosi. Melihat wajah Jenderal saja sudah cukup membuat emosi dalam diri meletup letup. Wajah seseorang yang sudah terlalu banyak menghancurkan kehidupannnya yang bahagia. 

"Oh, kenangan lagi?" Jenderal terkekeh kecil, mengusap darah yang keluar dari hidung nya.

"Masa lalu masih di urusin aja, pantes anaknya ngga punya sopan santun sama yang lebih tua." Jenderal berdecih. Ares si pria paruh baya itu menangis? Yang memperdaya Sagara agar berbuat seperti padanya. 

"Harusnya Sagara tahu, ibu Sagara mati bukan karena salah Jenderal." Jenderal rasakan kepalanya berputar, darah dari hidung nya tak kunjung berhenti malah semakin mengucur deras. Ia meringis pelan, mengatur nafas berharap rasa sakitnya hilang perlahan. 

"Harusnya Jenderal yang marah karena ibu Sagara udah nabrak Jenderal!"

"Jenderal cacat karena ibu kamu Sagara!" Nafas Jenderal menderu, pupil matanya bergetar membuat liquid liquid bening yang memenuhi pelupuk perlahan jatuh membuat wajahnya terlihat lebih berantakan. Darah mimisan itu tercampur dengan tumpahan air mata Jenderal yang juga keluar tak kalah deras. Cairan yang menyatu itu masuk kedalam mulut Jenderal yang sedikit terbuka. 

"Sumpah, sakit banget tuhan.." Kepalanya yang berputar kini juga berdenyut, ini baru satu bogem, entah apa lagi yang akan ia rasakan setelah Sagara melayangkan bogeman lainnya. Ia laki-laki terlemah di seluruh penjuru dunia. 

JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang