Maaf jika boring :-D
Tolong vote dan komen kalian :'(Motor beat merah Jeovan berhenti percis di depan bangunan besar, Jenderal sempat mengerutkan keningnya sebelum ikut turun.
"Ini gedung apa?"
Jeovan tak mengatakan apa pun, laki-laki itu langsung berjalan masuk, membuat Jenderal urung untuk bertanya lagi.
"Dia di tempat biasa kan?"
Wanita yang tengah menyapu menunduk pada Jeovan. "Iya," jawabnya sopan.
"Ini tempat apa?"
"Panti jompo, lo diem." Jeovan berdecak, terus berjalan tanpa mempedulikan Jenderal yang masih kebingungan.
Jenderal mengangkat bahu, tak ingin lagi bertanya, memilih terus melangkah mengikuti jejak laki-laki di depannya itu. Sudah dua lantai mereka lewati, maka Jenderal yakin tujuan Jeovan adalah rooftop.
Ia tak tahu apa yang akan mereka lakukan diatas sana, namun yang pasti bagian puzzle luka itu ada disana.
Jeovan membuka pintu rooftop, seketika saat itu juga rambut kedua laki-laki itu berterbangan. Angin siang di atas gedung ini terasa kencang.
Jeovan mengusap rambutnya, melangkah kembali setelah menikmati beberapa detik angin kencang tadi.
Mata Jenderal membesar melihat sosok wanita yang amat ia kenali, "bunda Ana.." Jenderal bergumam lirih.
Langkah Jeovan ia dului, mata Jenderal tanpa disuruh pun sudah berkaca kaca melihat wanita yang sudah ia anggap ibunya itu.
Lihat sudah berapa lama dia tak melihat bunda nya? Kini seluruh bagian rambut sang bunda sudah berwarna putih, wanita tua yang kini duduk santai diatas bangku goyang, matanya menatap kosong bangunan gedung yang menjulang tinggi.
"Bunda Ana.." Sekali lagi Jenderal bergumam lirih, berdiri didepan ibunya itu lantas terduduk lemas.
"Bunga, Jenderal kangen.. " Tangan keriput sang ibu ia genggam, lalu meneteskan buliran air mata di atasnya.
Wanita tua itu diam, masih sibuk menatap kosong deretan gedung gedung tinggi itu. Jeovan sudah tak lagi melangkah, menjaga jarak dari dua sejoli itu.
"Bunda, ini Jenderal.." Perlahan kepala wanita itu menunduk, mata Jenderal dan ibunya bertemu, saling bertatapan lama.
"Siapa? Kamu siapa?" Bunda Ana membuka suaranya, masih sama lembut seperti dulu. Namun perkataan lembut nya kali ini benar benar membuat Jenderal tak bisa berkata kata, untuk kesekian kali air matanya jatuh kembali.
"Aku emang anak paling durhaka didunia."
=====
Jenderal menghela nafas lega, setelah meneguk setengah gelas air putih, menangis itu benar benar menguras tenaga.
Bahkan mata Jenderal membengkak saking lamanya menangis. Lagi pula siapa yang tak sedih, ia sudah lama sekali tak bertemu dengan Bunda Ana, dan ketika bertemu melihat keadaan nya seperti ini benar benar membuat Jenderal merasa bersalah.
Ia sama sekali tak mencari keberadaan juga kondisi Bunda Ana, sekarang pun ia masih tak tahu kondisi bundanya.
Apa dirinya dilupakan?
"Udah baikan lo?" Jeovan duduk disebelah Jenderal, mencari posisi senyaman mungkin untuk mendengarkan.
Bunda Ana masih di rooftop, masih sama seperti sebelum sebelumnya tak bergerak sama sekali.
"Makasih," Jenderal mengangguk patah patah, menjawab seadanya.
Masalah pertama soal bundanya, masalah kedua dari mana Jeovan tau Bunda Ana? Dari mana laki-laki itu tahu Bunda Ana di tempatkan di panti jompo ini?
Juga anehnya bangunan ini tak ada tulisan panti jompo, dan Jenderal sama sekali tak melihat orang tua lainnya disini. Apa ini benar benar panti jompo? Bangunan ini lebih cocok di sebut rumah.
Siapa Jeovan sebenarnya? Itu yang selalu pertanyaan setiap saat, kenapa laki-laki itu tahu segalanya?
"Kamu sebenernya siapa Jeovan?" Dan kali ini, entah yang keberapa kali Jenderal bertanya lagi, berharap diberi jawaban yang lebih memuaskan.
"Siapa gue? Itu bukan hal penting sekarang Jenderal, yang penting itu bagian puzzle lo." Walaupun lagi-lagi Jeovan selalu memberi jawaban yang sama.
"Itu penting! Kenapa kamu bisa tahu segalanya?"
"Lo bakal tahu kalau puzzle luka lo itu lengkap, Jenderal. Udah diem." Jeovan mendengus, menatap tajam Jenderal.
Ia menghela nafas, mengalah. "Bu, jadi Bunda Ana kenapa?" Jenderal Memilih memulai mendengar semua cerita tentang Bunda Ana dari pengurusnya.
Pengurus wanita itu melirik Jeovan, membuat sang empu yang merasa ditatap menganggukkan kepalanya. "Ibu Rohana tidak mengingat Jenderal karenanya penyakitnya."
"Penyakit jenis apa?"
"Demensia, sudah di diagnosis dokter. Jenderal tahulah sendiri, penyakit orang tua." Pengurus itu memiliki gurat keibuan yang besar. Jenderal menatap matanya, seperti ia sedang menatap mata Bunda Ana.
Demensia bukan penyakit spesifik, tetapi merupakan sekelompok kondisi yang ditandai dengan penurunan setidaknya dua fungsi otak, seperti hilangnya memori dan kemampuan menilai.
Gejala utama demensia adalah penurunan memori dan perubahan cara berpikir, sehingga tampak perubahan pada perilaku dan cara bicara. Gejala tersebut dapat memburuk seiring waktu.
Demensia berbeda dengan pikun.
"Ibu Rohana perlahan melupakan memori bagian masa lalu." Wajah keibuan itu berubah sendu, turut prihatin.
"Penyakit demensia harus melakukan komoterapi bukan?" Jenderal menghela nafas panjang, perasaannya campur aduk sekarang.
Keadaan Bunda Ana tidak bisa dibilang baik baik saja.
"Kami memberi Ibu Rohana obat resep dokter secara rutin." Wanita itu tersenyum kecil. Membuat beban hati Jenderal sedikit terangkat.
"Itu bagus, tapi apa ada kemajuan?" Kali ini Jeovan yang bertanya.
"Sedikit sekali, Ibu Rohana sering lupa bahkan melupakan segalanya."
Jenderal menelan ludah susah payah, ia sedikit tahu tentang demensia. Penyakit yang bersangkutan dengan otak, memori, serta pikiran. Penyakit ini memiliki lima tahap sampai yang terburuk.
Dan Jenderal yakin Bunda Ana sudah memasuki tahap kelima, tahap paling buruk. Dimana si penderita dapat dikatakan mengalami demensia berat. Demensia pada tahap ini menyebabkan penderita tidak dapat hidup mandiri. Penderita akan kehilangan kemampuan dasar, seperti berjalan atau duduk, tidak mengenali anggota keluarga, dan tidak mengerti bahasa.
Bunda Ana tidak mengenali dirinya.
Ruangan itu lengang.
"Semuanya terajdi karena aku."
***
Bilang sama bunda kalian kalo kalian itu sayang banget sama bunda.
Jangan lupa minta maaf, karena kita ngga tau udah seberapa banyak kita menyakiti perasaannya.
Yang bunda nya udah ngga ada jangan pernah luput sebut namanya dalam doa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jenderal
Teen Fiction{ Angst-Hurt } { Lokal-Teen } { Jeno Lee from NCT } Hanya sepotong kisah sang pemilik senyuman terbaik; Jenderal. ❝𝙹𝚎𝚗𝚍𝚎𝚛𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞 𝚒𝚗𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚕𝚞𝚔𝚊, 𝚜𝚎𝚍𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚐𝚒𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚞𝚣𝚣𝚕𝚎 𝚈𝚊�...