Narana memekik tertahan, Jenderal di depannya terus mencengkeram sembari menarik kuat tangannya. Membuat Narana mau tak mau harus mengikuti langkah Jenderal yang terkesan terburu buru.
"Kenapa sih?!" Namun cengkeraman kuat di pergelangan tangannya membuat emosi Narana naik. Padahal Jenderal bisa bicara baik baik untuk mengajak nya ke sesuatu tempat entah dimana, tak perlu memaksa menarik dirinya bagai keledai.
"Jenderal mau bicara." Narana tahu ada yang tak beres dengan laki-laki ini, bahkan nada suaranya pun terdengar dingin dan ketus.
"Apa?! Ngga usah narik narik!" Satu tangan Narana yang masih bebas melayangkan satu pukulan pada punggung Jenderal.
Sekarang mereka sudah berada di taman belakang sekolah, ini waktu istirahat yang seharusnya Narana gunakan untuk membaca buku sembari memakan camilan yang ia bawa dari rumah.
"Kemarin pulang sama Sagara, kenapa?" Mata Jenderal mendelik tajam, menghempas tangan Narana yang sedari tadi sudah ia cengkeram dengan kuat.
"Dih? Urusan nya sama lo apa coba?" Narana menelan saliva nya susah payah, mengusap ngusap pergelangan tangannya yang terasa sakit.
"Narana temen Jenderal, dan Jenderal berhak." Ucapan Jenderal yang terdengar yakin itu membuat Narana tertawa dalam hati.
"Temen?" Hatinya tergelitik ketika Jenderal mengatakan itu.
"Temen doang kan, ngga lebih." Narana tersenyum miring, membuat wajah Jenderal semakin terlipat.
"Narana sama Sagara ada apa?" Jenderal mengigit bibir bawah, wajah juga jawaban Narana benar benar membuat emosi nya meletup letup dalam hati.
"Gue sama Sagara ada apa ya?" Narana tertawa kecil, sengaja. Ia ingin membuat amarah Jenderal semakin meledak.
"Pdkt kali?" Kini tangan Jenderal sudah mengepal kuat, matanya lebih nyalang dari pada sebelumnya. Narana tahu hatinya takut dengan tatapan itu, namun memang tujuannya lah melakukan hal ini.
Ia ingin memancing suatu gejolak yang berada di hati Jenderal, ia ingin tahu rasa seperti apakah gejolak itu.
"Ck, Nara suka sama Sagara?"
"Ngga tau, tapi kayaknya bakal suka."
"Gue kan suka sama cowok yang peka, yang ada maksud dibalik semua perhatiannya, ngga kayak lo yang abu abu." Narana ikut berdecak, membalas perkataan Jenderal tak kalah sinis, tak kalah ketus membuat mulut laki-laki itu kini tersumpal.
"Kesindir huh?" Senyum miring Narana hampir terbit melihat wajah Jenderal yang menggambarkan bahwa ia sudah kalah dalam perdebatan ini.
"Kamu temen Jenderal, Jen berhak Narana."
"Jen kesel, liat Nara deket sama Sagara." Namun sebelum seringai Narana terbit, mulut gadis itu lebih dulu menganga. Laki-laki yang sepertinya tengah cemburu di hadapannya ini berbuat seperti bocah yang sedang merajuk bukan seorang laki-laki yang sedang menunjukkan rasa cemburu
"Jenderal ngga suka, Narana deket deket sama Sagara," ucap Jenderal lagi yang membuat tawa renyah Narana langsung pecah.
"Aku selalu lemah kalo deket sama kamu Jenderal." Wajah Jenderal, wajah yang kini terlihat memelas, dengan bibir yang di lengkungan kebawah, terlihat sangat menggemaskan dimata Narana.
"Jangan deket deket sama Sagara." Laki-laki tujuh belas tahun itu semakin menjadi jadi. Narana tersenyum samar, lagi-lagi ia kalah karena wajah Jenderal ya tampan bercampur menggemaskan itu.
"Emang kenapa? Jenderal marah?" Narana tahu, dalam waktu yang bisa dibilang singkat itu ia sudah berhasil menenggelamkan diri terlalu dalam.
"Iya! Pokoknya ngga boleh!" Dan ia tahu ia tak akan pernah bisa untuk kembali.
=====
Bel pulang benar benar seperti alunan indah bagi para murid, salah satunya Jeovan yang kini sudah tersenyum lebar walaupun tadi sempat tidur di mata pelajaran terakhir. Wajah laki-laki berlesung pipit itu langsung segar ketika mendengar alarm pulang.
Dengan gaya acak kadul nya ia keluar kelas, tanpa harus memasukkan buku juga alat tulis yang memang sengaja tak ia keluarkan. Tampang nya yang banyak gaya berjalan santai layaknya model papan atas tak tahu saja tas yang ia selempangkan pada satu tangan saja itu masih terngaga lebar, belum ditutup.
Tak ada yang menegur, karena seperti itulah Jeovan dan kelakuan nya. Walaupun wajahnya ya rupawan, walaupun dua dimple nan manis selalu menghiasi pipinya ketika tersenyum. Namun laki-laki itu tetap dan selalu apa adanya, tak terlalu peduli dengan namanya penampilan. Ia sudah percaya diri saja, bahwa dalam kondisi apa pun ia akan tetap dan selalu tampan.
"Jenderal!" Dan kini Jeovan sudah berada di depan kelas Jenderal, dengan lagak bersandar di pintu. Laki-laki itu melambaikan tangan dengan seringai kudanya.
"Pulang bareng yok!" Semua orang yang masih sibuk piket juga merapihkan barang barang menoleh—termasuk Narana dan Jenderal sendiri.
"Gue mau ngajak lo ke sesuatu tempat." Senyum misterius Jeovan terbit, jujur, Jenderal agak malu dengan kedatangan Jeovan yang selalu tiba-tiba.
Dan ini juga yang pertama kali bagi Jenderal di datangi teman untuk diajak pulang bersama. Sebenarnya Jenderal sudah menyusun rencana untuk bersama Narana nanti, namun ia tak enak menolak ajakan sang malaikat yang sudah menolong nya.
"Bentar," Jenderal mengangguk, buru buru memasukan buku buku kedalam tas. Lantas berjalan kearah Narana yang masih duduk di bangku paling depan bersama Nina.
"Nara, Jen pulang dulu. Kamu hati-hati dijalan." Jenderal nyengir lucu, belum sempat Narana membalas ucapan nya Jenderal sudah melangkah lagi.
"Mau kemana emang?" Jenderal menepuk pundak Jeovan, menyapa.
Seringai kuda Jeovan kini hilang digantikan wajah datar yang serius, "Ketempat yang mungkin membawa lo pada luka."
Narana yang masih memperhatikan dua laki-laki itu mengerjap, entah apa yang dibicarakan namun wajah Jenderal pias seketika.
Si ganteng yang menggemaskan
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Saya ngga terlalu bisa buat cerita yang bertele tele, chapter pemanis buatan saya emang ngga sebagus yang lain