Untuk sekedar bercerita

886 107 35
                                        

Teman untuk sekadar bercerita?

Itu yang sangat Jenderal butuhkan saat ini.

❝Jenderal hanya meminta satu diantara banyak nya manusia yang Tuhan ciptakan, hanya satu Tuhan, untuk sekedar bercerita..

..bahwa Jenderal tidak pernah merasa baik baik saja.

======


Jenderal berjalan sendirian di tengah lorong yang selalu padat ketika pagi, ketika bel masuk belum berbunyi. Mereka semua beramai ramai menunggu sosok nya di lorong ini, di lorong yang menurut nya sangat panjang.

"Udah tau gosip terbaru?" satu siswi memulai ritual paginya, ritual pagi yang selalu terasa amat menyenangkan bagi mereka.

"Si cacat ngebuat hubungan Mayang sama Sagara kandas."

"Mayang selingkuh sama dia." Lorong ini gelap, sangat sangat gelap walau mentari terang benderang di atas langit.

Kepala Jenderal tertunduk dalam, ia tak pernah mendengar semua bisikan dan makian mereka semua namun ia sangat tahu bahwa dirinya lah yang selalu menjadi bahan pembicaraan buruk mereka semua. Tatapan mereka yang mengintimidasi seakan ia seorang penjahat disini. 

"Anjir?"

"Gue ada bukti nya, udah nyebar banget. Ngga tau lo?" Suara siswi siswi yang memang lebih mendominasi saling bersahutan.

"Ngapain coba gue kepo sama gosip tentang si cacat?"

"Lo pada liat muka nya ngga? Babak belur, abis di gebukin Sagara kali."

Jenderal tak pernah lagi memakai alat bantu di telinganya saat melewati lorong panjang ini. Laki-laki itu tidak mau matanya memanas dan menahan air mata itu sendiri, di tengah semua orang jahat itu.

Jenderal mempercepat jalannya, hawa lorong ini menjadi hal yang paling ia benci di sekolah. Hawa yang siap membuat hatinya hancur berantakan.

Saat laki-laki itu sudah berdiri tepat di ambang pintu kelas langkahnya terhenti, matanya melihat sosok gadis yang kini tengah sibuk dengan kertas kertas yang entah apa isinya.

Eyes smile kebanggaan nya terbit tanpa di minta, sama sama indah dengan matahari yang kini sedang menyinari. Melihat sosok gadis itu membuat seluruh rasa sakit yang tadi sempat melukai hatinya sembuh seketika.

Ia berjalan mendekat, mengucapkan sepatah kata pun belum kepala gadis itu terangkat lebih dulu menatap mata Jenderal dengan datar.

Jenderal menampilkan senyuman terbaik ditengah wajah lebam nya, berharap dibalas dengan senyuman terbaik pula. Senyuam terbaik milik gadis itu selalu bisa membuat perasaannya nya lebih baik.

Namun tersenyum pun tidak, gadis itu malah mendecih. "Masih bisa senyum aja Jen?" Suara gadis itu terdengar ketus, tak suka. 

Mata Jenderal mengerjap, duduk di bangku nya yang tepat di sebelah sang gadis berambut sebahu itu. Jenderal memasang alat pada telinganya, lalu menatap gadis itu agar mengulang perkataannya, Jenderal belum bisa mendengar tadi.

"Kamu masih bisa senyum Jenderal?" Ulang gadis itu dengan nada sinis. Manik mata mereka saling bertabrakan. Saling melemparkan makna berbeda.

"Walaupun semesta udah ngga nerima kamu, kamu masih bisa senyum Jenderal?"

"Narana, kenapa?" Hati Jenderal mencelos, kasar sekali. Lagi pula ini sangat tiba tiba, hari sebelumnya Narana tak seperti ini.

"Aku kecewa sama kamu." Lagi lagi perkataan gadis itu seakan tusukan pisau bagi hati kecil milik laki-laki itu.

"Kecewa?" Tidak hanya raut wajah namun juga nada bicara gadis itu juga berubah.

"Mulai sekarang jangan pernah ajak aku ngomong, anggap aja kebaikan aku sebuah bonus dalam hidup kamu."

"Mulai sekarang anggap aja kita ngga pernah saling kenal."

Mata Jenderal melebar, ini parah, hatinya seperti di hantam ribuan palu godam dengan kuat.

"Ke-kenapa?" Tubuh Jenderal mendadak bergetar, rasa sakit yang ia rasakan saat ini lebih menyakitkan dari pada tadi malam. Lebih sakit dari perbuatan kasar ayahnya, lebih sakit dari semua makian warga sekolah.

Luka hatinya terasa jauh lebih sakit dari pada seluruh luka fisik yang ayahnya beri.Dia lebih takut merasakan kesendirian lagi, dia takut tak ada yang berdiri di sebelahnya lagi. 

"Kamu masih tanya kenapa?!" Narana Ayunda—gadis itu memekik tertahan, lalu itu tertawa sinis.

"Dari semua perempuan kenapa harus si medusa?"

"Mayang? Dia ke-kenapa?" Mata Jenderal memanas, menatap wajah Narana samar samar karena liquid bening yang menumpuk menghalangi penglihatan nya. 

Gurat wajah gadis itu penuh amarah, dan aura-nya aura yang paling Jenderal benci. Narana belum pernah menampakkan aura ini ketiak berada di dekatnya.

"Kamu pacaran sama dia kan?" Mata Narana menajam, mengintimidasi.

Dahi Jenderal mengerut dalam. "Kata siapa? Ngga, Jenderal ngga pernah." Refleks laki-laki itu menggeleng. Ia tak pernah memutuskan untuk melakukan hubungan bersama Mayang.

"Ngga usah bohong! Ada bukti nya, goblok!" Dapat Jenderal lihat pelupuk mata gadis itu dipenuhi liquid bening. Sama sepertinya, gadis itu juga terluka. Namun Jenderal masih bingung, karena apa?

Pikiran Jenderal terlalu lambat untuk persoalan seperti ini.

"Ra, jangan percaya.." Jenderal berusaha memahami segalanya. Apa gadis itu menangis karena dirinya? Apa karena Mayang? Tangan Jenderal bergerak ingin menyentuh—berniat menenangkan Narana.

"Haha.." Narana tertawa parau, gadis itu cepat cepat bangkit, menjauh dari jangkauan Jenderal.

"Bisa bisanya aku nangisin cowok kaya kamu." Narana mengambil ransel nya.

"Harusnya aku ngga pernah percaya sama kamu Jenderal."

Atensi semua murid yang ada di dalam kelas sudah tak dapat lagi teralihkan dari drama gratis pagi ini.

Entah mengapa pagi ini bel tanda masuk terasa sangat lama bagi Jenderal.

"Kalo kamu sukanya sama Mayang bilang! Ngga usah bawa bawa hati orang!"

"Mulai dari sekarang ya Jenderal, jangan pernah anggap kita pernah kenal!" Narana mengusap area matanya dengan kasar, sebelum pergi ke bangku paling depan yang biasanya selalu kosong.

"Nina, aku duduk di sini ya?" Suara Narana masih tertangkap oleh alat yang digunakan Jenderal diantara banyaknya bisikan sinis.

Jenderal diam seribu bahasa, matanya menatap kosong bangku yang sebelumnya di tempati oleh Narana.

"Padahal Jenderal belum cerita.."

"Padahal Jenderal belum bilang sama Narana soal ulang tahun menyedihkan tadi malam."

"Padahal Jenderal mau bilang, kalo Jenderal lagi butuh banget sama yang namanya pelukan." Jenderal menatap punggung Narana sendu.

"Tapi kenapa udah diambil lagi waktunya?" Dia tidak mau menangis untuk hari ini, tapi sepertinya itu suatu hal yang mustahil.

JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang