Saga dan Jen

382 38 0
                                    

makasiii yang udah nunggu

"Jenderal sayang Sagara, tapi Sagara ngga sayang sama Jenderal. Jenderal harus gimana dong?"

=====

"Sadar apa yang sudah kamu lakukan Sagara?!" Rumah sakit menjadi tujuan Ares setelah melihat kejadian mengerikan tersebut.

Jenderal sudah mendapatkan pertolongan, sekarang keadaan Jenderal sudah dapat dibilang cukup baik dari sebelumnya, laki-laki itu sudah dipindahkan ke kamar VIP sesuai keinginan Ares.

Kepalanya yang berdarah sudah diberi perban membuat area rambut belakangnya ada yang pitak.

Laki-laki itu diberi tabung oksigen agar lebih paru parunya lebih mudah mendapatkan oksigen. Jenderal jauh lebih baik.

"Kamu hampir membunuh orang!" Ares berteriak, memuntahkan segala amarah serta kekecewaan nya pada Sagara.

"Dan orang itu saudara mu sendiri!" Ares berteriak marah tak peduli ada Jenderal yang masih tak sadarkan diri diatas kasur, ia memaki maki putranya itu yang tengah terduduk diam.

Kejang kejang yang dialami Jenderal itu salah satu gejala meningkatnya stadium leukemia, walaupun tak banyak orang yang mengalami.

Kepala Jenderal baik baik saja, namun leukemia yang laki-laki itu idap semakin mengganas.

"Sagara Adirtama!!"

"Dia bukan saudara Sagara oke?!" Anak itu membalas ucapan ayahnya tak kalah nyaring.

"Jadi buat apa Sagara peduli sama dia?!"

Ares menghela nafas gusar, urat urat leher juga tangannya tercetak jelas. Pria paruh baya itu jelas ketakutan melihat kelakuan putranya itu yang hampir mengambil nyawa Jenderal.

"Dia saudara kamu, Sagara." Ares mendudukkan dirinya di sebelah Sagara. Ia menatap lamat wajah anaknya yang masih pucat.

"Sebesar apa pun kecewa kamu sama Jenderal, dia akan tetap saudara kamu." Ares mengusap pundak Sagara, ia tahu anaknya itu masih tergoncang soal masalah tak sepele tadi.

Ia tahu Sagara tak berniat membuat keadaan Jenderal sampai seburuk itu.

"Jangan terlalu berlebihan, kamu memang terluka tapi luka kamu itu ngga sama sekali bersangkutan dengan Jenderal."

"Ngga bersangkutan apanya? Mama ninggalin kita gara gara dia!" Sagara menepis kasar tangan Ares, tak terima dengan ucapan sang ayah.

"Papa juga sering menyalahkan anak itu tapi apa gunanya Sagara? Istri papa ngga bakal hidup lagi." Ares menyenderkan punggung nya, menatap langit langit kamar rumah sakit yang menampakkan sosok perempuan yang paling ia cintai.

Memang sulit menerima takdir menyakitkan itu. Takdir itu datang sesuai kehendak tuhan, jadi kita sama sekali tak bisa menyalahkan seseorang.

Mau orang itu jatuh dari jurang sekali pun namun jika tuhan berkehendak orang tersebut untuk terus hidup maka jantung nya tak akan pernah berhenti berdetak.

"Udah takdir mama kamu meninggal saat itu, jangan salahin Jenderal."

"Dia hanya anak kecil oke?" Ares menepuk pundak Sagara.

"Dia saudara kamu." Ares berdiri lalu melangkah pergi menuju ruang administrasi untuk pembayaran, meninggalkan Sagara dan kepalan tangannya.

"Saudara?"

=====

"Wah! Jenderal bakal tinggal disini?!"

"Yang bener om? Ini rumah atau istana sih?" Mata remaja tiga belas tahun yang masih menggunakan gips itu berbinar binar, menatap seluruh penjuru bangunan kokoh yang mirip istana ini.

"Mulai sekarang paling saya ayah." Pria baya itu menghela nafas, menatap sekilas sosok remaja yang baru saja ia bawa kedalam rumahnya itu.

"Wah, ayah!!" Jenderal berumur tiga belas tahun itu menunjukkan eyes smile nya, merasa senang atas apa yang baru saja menimpanya.

Tak ingat saja beberapa minggu lalu kecelakaan maut pernah hampir mengambil nyawa nya.

"Boleh Jenderal keliling?"

"Boleh.." Ares merebahkan tubuhnya di atas sofa, mengangguk kecil pada remaja itu.

"Makasih ayah!" Jenderal tertawa lebar, tanpa menunggu lama lagi ia langsung berlari kesana kemari.

Rumah besar ini ia kelilingi, mulai dari ruang tamu sampai taman belakang.

Rumah sebesar ini tanpa seorang pembantu adalah hal yang tidak mungkin, namun itulah kenyataan nya. Beberapa tempat dilantai atas ada kotor sampai tak terurus.

Duk! Duk! Duk!

Langkah Jenderal terhenti, ia mengubah arah tujuannya dari ruang makan ketaman belakang.

Remaja yang lebih pendek darinya tengah bermain bola sendirian disana.

Mata Jenderal mengerjap, "Saya punya anak laki-laki, dia lebuh kecil dari kamu. Jaga dia, jadi abang yang baik oke?" Itu adiknya!

Jenderal mengembangkan eyes smile nya kembali. "Main bola sendirian ini ngga rame," ucapnya.

"Main bareng?" Jenderal berjalan mendekat, ia juga sering sekali main bola sendirian itu kalah asyik dibandingkan bermain bersama.

"Siapa?" Ini Sagara berumur sebelas tahun, remaja itu mendelik sinis.

"Jenderal." Jenderal menjulurkan tangannya, melebarkan senyuman nya.

"Oh, anak yang dipungut papa itu?" Sagara tersenyum remeh, menepis tangan Jenderal.

"Gue Saga." Sagara menendang bola kembali.

"Mulai sekarang Jen abangnya Saga."

"Jadi main bola ngga? Nyebelin lo." Sagara mendegus, mengoper bola pada Jenderal.

Jenderal cengengesan, mulai berlari mendribble bola dibawah kakinya.

"Sampe kapan pun, mau kenyataan gini kek gitu kek lo ngga bakalan pernah jadi abang gue."

=====

pengin lanjut di bab ini tapi.....

JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang