Sebelas

2.3K 404 51
                                    

"Mas, menurut kamu kenapa Tuhan ambil semua orang yang sayang sama aku? Kenapa aku dibikin sendirian?"

Andin dan Al sudah duduk di sofa ruang tamu, meninggalkan beberapa piring yang belum selesai dibasuh. Andin masih bersandar nyaman di dada bidang Al. Lebih tepatnya mereka sama-sama nyaman.

"Kamu gak sendirian, ada saya, ada mama, kalau kamu butuh sesuatu kamu bisa datang ke kami. Jangan pernah merasa sendirian, Ndin."

"Aku berterima kasih banyak sama kamu dan mama, kalau gak ada kalian mungkin aku udah mengakhiri hidup aku sendiri," Andin berucap pelan.

"Jangan bicara seperti itu, gak boleh ada pikiran seperti itu, gak baik Andin, Tuhan gak suka," sepertinya Al sudah melupakan rencananya untuk berangkat ke kantor.

"Maaf ya mas aku selalu ingkar tentang akan berusaha mengikhlaskan Roy dan gak akan nangis lagi, aku cuma merasa udah ditinggalkan banyak orang yang aku sayang, gak cuma Roy, tapi mama dan papa juga. Setelah kepergian mama dan papa, aku masih punya Roy, tapi setelah Roy pergi aku jadi bener-bener merasa hancur karena gak ada siapapun," Andin kembali meneteskan air matanya, membasahi kemeja bagian dada Al.
"Aku tau ada kamu sama mama, tapi kalian juga punya hidup sendiri, urusan sendiri, bukan kewajiban dan tanggung jawab kalian selalu ada untuk aku,"
"Kamu sama mama selalu bilang akan selalu ada buat aku, kalau aku butuh apapun aku bisa datang, tapi ada rasa gak enak mas, aku takut menjadi gak tau diri, apalagi sekarang aku bukan siapa-siapa di keluarga Alfahri."

Al berusaha untuk memahami Andin, Andin tidak salah, semuanya wajar.

"Mama itu sayang sama kamu, seperti ke anaknya sendiri," ucap Al mengelus kepala Andin.

"Kalau kamu? Kamu sayang gak sama aku?" tanya Andin melirik Al, mimik wajahnya yang semula sedih menjadi usil.

Al membulatkan matanya mendengar pertanyaan Andin, seketika ia berdiri, membuat Andin yang semula bersandar di dadanya terguling ke sofa.

"Aduhh mass.." Andin mengerucutkan bibirnya sambil duduk.

"Saya lupa kan harus ke kantor, kamu sih cengeng, saya pergi dulu, jangan nangis mulu," ekspresi Al terlihat datar, Al melangkah keluar tanpa menunggu respon Andin.

"Sayang gak mas?" tanya Andin lagi agak keras agar suaranya terdengar oleh Al yang sudah berada di belakang pintu, tujuannya hanya bercanda menggoda pria kaku dan dingin itu.

Sampai Al menghilang dari pandangannya, tidak ada jawaban terdengar, Andin hanya tersenyum geli dan menggeleng.

"Kaku banget mas, mas.." gumamnya.

..

Sampai di mobilnya, handphone Al bergetar, ada satu pesan masuk.

Andin, Al mengerutkan keningnya.

Kalau kamu sayang gak sama aku?

Andin masih melanjutkan candaannya. Al tersenyum membaca pesan itu, tapi ia tidak akan menjawabnya tentu saja. Setidaknya di mobil Al bisa mengeluarkan senyumannya, tidak perlu susah payah menahan diri dengan wajah dinginnya.

Dua bulan sering bertemu dan saling memberi perhatian tentu membuat Al dan Andin menjadi lebih dekat dari pada awal-awal, meskipun Al masih tetap dengan sikap kaku dan dinginnya, serta Andin yang belum bisa move on dari Roy.

..

"Ndin, menurut gue lu sama kakaknya Roy aja deh mendingan, gak kalah oke kan, ditambah lagi semua harta keluarga Alfahri udah pasti jadi milik dia sendiri," Mirna, editor sekaligus sahabat Andin sedang berkunjung ke apartemennya.

"Ck! Ngomong apa sih, Mir? Ngaco lu!" decak Andin menyentil kening Mirna.

"Kok ngaco sih? Dia baik kan? Sayang sama mamanya kan? Kenapa nggak, Ndin?"

HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang