Part 14: Kak Arka?

706 43 1
                                    

Hari ini mahasiswa fakultas kedokteran dikumpulkan di aula. Tujuannya untuk memberi tahu aturan yang akan dilakukan ketika study tour nantinya. Iya, sekarang memang waktu keberangkatan menuju indonesia, karena beberapa dari mahasiswa di berikan kesempatan untuk mempelajari dan menggali ilmu lebih dalam di negara yang mereka inginkan. Sama halnya dengan Arin dan Ayra. Mereka memilih untuk menggali ilmu kedokteran di negara asal, yaitu Indonesia. Mereka berdua sangat bahagia, karena bisa kembali ke negara asal.

"Kita pesawat jam berapa, Ra?"

"Pesawat jam dua siang. Ini kita mau berangkat ke bandara," jawab Ayra santai.

"Lo kenapa dari tadi gue lihat pegang kepala terus? Lo sakit?" tanya Ayra sedikit panik.

"Nggak tau nih, sejak tadi kepala gue sakit," sahut Arin terus memijat kepalanya.

"Udah, nggak papa, Ra. Paling ini cuma pusing. Sebentar lagi hilang kok."

Arin berusaha menenangkan Ayra yang sedikit panik dengan kondisinya. Mereka akan melakukan perjalanan yang jauh. Setidaknya saat penerbangan nanti Arin sudah membaik.

"Huh, udah satu tahu ya kita nggak pulang. Gue kangen rumah," ujar Arin dengan suara yang rendah.

"Hu'um, sama. Nanti pas di Indonesia lo jangan senang dulu, karena kita bukan pergi pulang. Kita ke sini tetap belajar dan beda pulau sama keluarga. Jadi kecil kemungkinan untuk ketemu mereka," sahut Ayra mengangguk.

Kali ini Arin mencoba mengalihkan pembicaraan, supaya mereka tidak fokus dengan sakit yang dirasakannya.

"Ooo iya, gue tidur dulu ya. Kepalanya masih pusing banget," ucap Arin yang dibalas anggukan.

Ayra melihat wajah perempuan di sampingnya. Saat ini Arin sudah tertidur pulas. Sedangkan, tangan Ayra masih terus mengusap kepala sahabatnya agar tidurnya lebih merasa nyaman.

'Jujur, gue bersyukur banget punya sahabat kayak lo, Rin. Iya, meskipun masih banyak rintangan dan masalah yang kita hadapi, tapi gue bahagia. Udah lebih satu tahun kita hidup cuma berdua doang, banyak cerita selama itu. Satu yang harus lo tahu, gue bahagia dan sayang banget sama lo. Gue harap persahabatan kita akan tetap begini sampai tua nanti. Kita berjuang sama-sama, ya. Gue yakin kita kuat,' gumam batin Ayra menatap wajah perempuan di sampingnya.

Ayra mengalihkan sorot matanya menatap arah luar. Banyak kejadian yang semula tak pernah ia rasakan, tapi selama setahun itu ia rasakan. Sulit, rumit, sakit, bahagia, sedih, senang, suka dan duka tentu saja sudah bercampur menjadi satu.

***

Sekarang keduanya akan mengunjungi salah satu rumah sakit yang akan menampungnya selama berada di negara asal. Tentu saja kualitas dan kuantitas tempatnya sudah sangat terjamin keahliannya. Rumah sakit itu terlihat rapi dan bagus. Ketika masuk mereka melihat jelas dokter dan suster berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Mereka juga terlihat sangat ramah dan menyambut kedatangan keduanya dengan sangat baik.

"Baiklah, di sini kalian akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga orang dan setiap kelompok memiliki satu dokter pendamping," ucap seorang dosen memulai pembicaraan.

Untungnya Arin dan Ayra kembali bertemu. Mereka masih ditakdirkan untuk bergabung dalam kelompok yang sama.

"Ayo kita langsung ke ruangan dokter pembimbing aja," ajak Adit.

Adit merupakan salah satu teman satu kelompok mereka.

"Assalamualaikum," ucap Arin sembari mengetuk pintu ruangan.

"Waalaikumsalam, silakan masuk."

Saat sedang melangkah memasuki ruangan, mereka mendengar suara lantunan ayat suci Al-Qur'an. Entah siapa pemilik suara tersebut. Satu hal, bacaan laki-laki itu sangat indah dengan iramanya. Tentu saja bacaannya juga membuat hati menjadi bertambah tenang.

Tiba-tiba Arin menghentikan langkahnya. Kedua tangannya secara cepat memegang tubuh Ayra. Benar, Arin kembali merasakam sakit kepala lagi.

"Ah, aduh. Aw, sakit. Kepala gue, Ra."

Arin meringis kesakitan sambil memegang kepalanya. Penglihatannya juga mulai samar. Tentu saja keadaannya tidak hanya membuat khawatir Ayra saja, melainkan Adit juga ikutan panik.

"Arin, lo kenapa? Masih kuat? Kita duduk di sini aja dulu ya. Jangan paksa tubuh lo untuk lanjut jalan. Gue cari obat dulu," ucap Ayra semakin panik.

Arin terlihat sudah mulai tidak bisa menahan tubuhnya. Perlahan ia kehilangan kesadaran.

"Arin ... Arin ... Bangun, Rin. Gue mohon lo bangun."

Ayra berusaha kuat menopang badan sahabatnya. Selama belajar, semua guru sudah menanamkan kepada diri mereka kalau seorang dokter tidak boleh memiliki sifat cemas dan panik. Hanya saja untuk kali ini, Ayra tidak bisa mengontrolnya. Arin merupakan sahabatnya sendiri. Itu artinya Arin bagian dari tanggung jawabnya.

"Arin kenapa?" tanya seseorang yang berada di belakang mereka.

Ayra menoleh ke arah sumber suara. Ia menemukan seorang laki-laki yang sudah pasti ia kenal. Ia kaget melihat keberadaan sosok itu di sini bersamanya.

"Kak Arka?"

Sosok itu adalah Abdurrahman Arka Ramadhan, laki-laki yang selalu menjadi idola sahabatnya semenjak kelas tujuh. Sekarang sosok itu ada di sini bersamanya. Ayra membuyarkan lamunannya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan keberadaan Kak Arka. Hal terpenting sekarang adalah menyelamatkan Arin.

"Arin kenapa, Ra?" tanya Kak Arka penasaran.

"Ayra nggak tahu, Kak. Dari tadi dia udah ngerasa pusing. Terus tiba-tiba pas mau masuk dia pingsan," jelas Ayra.

Tanpa menunggu lama, Kak Arka memanggil para suster untuk menolongnya membawa Arin.

"Ooo iya, Kak Arka dokter di sini?"

"Iya, Ra. Alhamdulillah Kakak udah jadi dokter di sini."

"Bagus, deh. Untung aja tadi ada Kak Arka. Kalau nggak ada Kakak mungkin Ayra udah bingung melihat kondisi Arin yang mendadak pingsan tadi," ucap Ayra bernapas lega.

Ayra sudah mulai tenang karena sahabatnya sudah diperiksa oleh Kak Arka. Berulang kali laki-laki itu menggeleng memeriksa kondisi Arin.

"Arin sering sakit kepala?" tanya Kak Arka.

"Sering, Kak. Kemarin sewaktu di Singapura dia juga ngerasa sakit kepala. Terus kayaknya tiap malam dia juga sering merasa sakit kepala," jawab Ayra.

"Tolong siapkan alat-alat sekarang," perintah Kak Arka kepada suster yang berada di ruangan.

"Baik, dokter."

Semua pihak sudah sibuk mempersiapkan alat-alat yang diminta. Iya, Kak Arka ingin memeriksa Arin lebih dalam agar lebih cepat tahu penyakit yang diderita perempuan itu.

"Arin kok lama banget sadarnya ya, Kak? Memangnya Arin sakit apa?" tanya Ayra bingung.

"Kakak juga belum bisa memastikan kenapa Arin masih belum sadar begini. Ini kita akan berusaha untuk memeriksa lebih lanjut supaya tahu penyakitnya. Setelah pemeriksaan baru kita tahu penyakitnya masuk dalam kategori masih biasa atau sudah ganas dan membutuhkan pengobatan khusus,"

Jawaban Kak Arka membuat Ayra mengangguk paham. Mungkin saja laki-laki itu sudah tahu gejala yang sering menyerang Arin. Hanya saja ia belum berani untuk bicara lebih detail sebelum ada pemeriksaan lebih kepadanya.

To be Continue!

Lynella (COMPLETED✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang