Arin meronggoh saku tasnya mencari ponsel. Tentu saja kali ini Kak Arka yang menghubunginya. Pada dasarnya ia perempuan yang paling tidak ingin dikhawatirkan terlalu berlebihan oleh orang terdekatnya. Apalagi sampai membuat mereka panik.
"Assalamualaikum, Arin."
Arin menarik napas dalam sambil memegangi kepalanya. Ia sedang menahan sakit yang menyerang.
"Kamu kenapa, Rin?" tanya Arka khawatir.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Mas. Aku nggak papa kok. Kamu jangan khawatir ya. Aku lagi di apartemen aja. Ini baru pulang dari kampus. Nah, baru aja istirahat."
Arin berusaha tetap menetralkan suaranya supaya tidak menimbulkan kecemasan bagi suaminya.
"Kamu udah minum obat kan?"
Belum sempat menjawab pertanyaan Kak Arka. Kepala Arin terasa semakin sakit, sehingga tak bisa ditahan lagi. Mendadak ponselnya terjatuh dan ia kehilangan kesadaran.
"Arin ... Arin ... Rin, bangun!"
Ayra berteriak serta berlari menghampiri sahabatnya yang sudah terbaring lemah di lantai kamar.
"Rin, Arin ..."
Ayra dan beberapa orang lain membawa Arin menuju rumah sakit untuk diperiksa.
"Arin, bertahan ya. Lo janji kan nggak bakal sakit lagi. Lo janji nggak bakal gini lagi. Ayo bangun, Rin. Lo tau juga kan kalau gue nggak bisa sendiri. Jangan buat gue panik gini, Rin," cecar Ayra mengusap puncak kepala sahabatnya.
Ponsel Arin berdering kembali memunculkan nama Kak Arka. Iya, tentu saja sosoknya khawatir dengan keadaan Arin. Apa lagi jarak mereka begitu jauh untuk bertemu langsung.
"Assalamualaikum, Kak Arka," ucap Ayra mengawali panggilan.
"Waalaikumsalam, Ra. Arin mana ya? Kenapa tiba-tiba panggilannya terputus tadi? Penyakit Arin kambuh ya, Ra? Jangan bohong, kakak dengar kok kamu manggil namanya tadi. Sekarang gimana kondisi Arin?" cecar Kak Arka dengan nada khawatir.
"Iya, Kak. A-arin dilarikan ke rumah sakit," jawab Ayra pasrah.
Setelah menutup panggilan Ayra kembali fokus kepada pengobatan sahabatnya. Sedangkan, Kak Arka akan menyusul beberapa waktu lagi. Entah kapan laki-laki itu akan tiba di sini. Hal terpenting ia mau menjenguk Arin tanpa memikirkan hambatan dan rintangan apa pun.
***
Sorot mata yang sangat sulit diartikan dan wajah memerah. Tepat setelah sepuluh jam berlalu, Kak Arka menyusuri lorong rumah sakit. Ia melihat Ayra sedang berdiri di depan ruangan yang bertuliskan "ICU".
"Ayra, gimana kondisinya? Apa udah ada perkembangan atau informasi penting mengenai kondisinya?" tanyanya dengan napas tersengal.
"Belum, Kak. Dokter sama sekali belum memberikan penjelasan apa pun mengenai kondisi Arin. Bahkan, sedari tadi dokter masih sering ke ruangannya. Dokter hanya bilang kalau hanya bisa melihatnya dari luar ini. Arin butuh penanganan yang serius untuk penyakitnya."
Kekhawatiran semakin menggerogoti Kak Arka dan Ayra. Pada sisi lain juga ada Kak Angga yang sedari tadi ikut mendampingi Ayra. Iya, laki-laki itu belum meninggalkan tempat parkir apartemen. Ia sengaja bersiap di sana menunggu sampai kondisi Arin benar-benar stabil.
"Ya Allah, tolong selamatkan Arin. Beri dia kekuatan untuk melewati ini semua. Banyak orang yang sayang dan menunggu kesembuhannya," gumam Kak Arka lirih.
Kak Arka duduk di kursi tunggu sembari mengacak rambutnya frustrasi.
"Ini karena saya, kenapa saya mengizinkannya pergi seorang diri?" umpat Kak Arka memaki dirinya.
Tidak lama kemudian, pintu ruangan perlahan terbuka. Seorang dokter tampak mencari keberadaan seseorang.
"Dok, gimana keadaan istri saya? Apa dia baik-baik aja?"
"Saat ini istri bapak belum sadarkan diri. Namun, kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Silakan masuk," jawab dokter tersebut mengukir senyum di wajahnya.
Kak Arka mempercepat langkahnya masuk ke ruangan istrinya. Ia mendekat dan memperhatikan tubuh lemas Arin.
"Sayang, bangun yuk. Mas datang nih, masa kamu nggak nyambung kedatangan aku gitu. Biasanya kan kamu orang yang paling bersemangat kalau ada aku."
Kak Arka menggenggam erat dan mengecup tangan istrinya berulang kali.
"Sayang, ayo buka matanya. Apa kamu nggak mau lihat wajah tampan suamimu ini?"
Jemari Arin mulai bergerak memberikan respons setiap perkataan yang didengarnya. Matanya mulai terbuka.
"M-mas A-arka," panggilnya tersenyum.
"Iya, ada mas di sini," jawab Kak Arka bersyukur.
"Ternyata benar kalau suami aku tampan," ucap Arin terkekeh.
Candaan yang baru saja dilontarkannya berhasil membuat Kak Arka tersenyum.
"Hm, hm. Gini nih orang kalau dah bucin. Baru sadar langsung pintar gombal," balas Ayra memutar bola mata malas.
Arin memalingkan wajah menatap Ayra sembari terkekeh.
"Eh, ternyata ada lo di sini," sahut Arin.
"Iya, gue paham aja sih. Kalau udah berdua, orang lain mah dianggap angin lewat aja. Dunia serasa milik berdua ya, Say," ketus Ayra.
"Udah ih, jangan marah terus lo. Ntar keburu tua baru tau. Lo nggak sendiri juga kali. Noh, lihat Kak Angga selalu setia menemani seorang Ayra ke mana pun dan kapan pun itu. Lain kali lo peka deh jadi orang," jawab Arin mengarahkan telunjuknya kepada laki-laki di samping Ayra.
Ayra tersenyum miring dan melipat kedua tangannya kesal.
"Udah, ih. Jangan buat gosip aneh," tutur Ayra malas.
"Lah, siapa yang aneh. Tanya aja tuh langsung ke orangnya. Betul atau nggak yang gue bilang."
Kak Arka dan Angga hanya terkekeh mendengar perdebatan antara dua orang perempuan yang sedang bersama mereka. Iya, tidak ada yang perlu disalahkan dalam perdebatan ini. Mereka hanya melakukan rutinitas yang wajib setiap harinya. Yaitu, saling meledek dan membuat gosip mengenai satu sama lain. Pastinya bukan ke umum, melainkan hanya mereka berempat saja yang paham dengan itu.
To be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
Lãng mạnKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...