Khusus hari ini sepertinya kecemasan Arin malah bertambah. Ia merasa tegang dan takut untuk melihat hasil dari perjuangannya. Apalagi kalau bukan hasil kelulusan. Sudah hampir tiga hari siswa kelas akhir mendapat jatah libur. Itu artinya ia tidak bertemu dengan Zia maupun Ayra.
"Arin,"
Arin melihat Zia sedang berlari ke arahnya.
"Assalamualaikum, Zi," ucap Arin menyapa perempuan yang berada di hadapannya.
"Waalaikumsalam, Rin," balas Zia sembari tersenyum.
"Gue senang banget. Akhirnya setelah sekian lama gue ketemu lagi sama lo." Arin hanya tersenyum melihat tingkah Zia yang memeluknya penuh semangat.
Sepertinya sedari tadi tiba di Sekolah. Mereka belum melihat sosok Ayra. Entah di mana perempuan itu bersembunyi.
"Oh iya, Zi. Btw, lo nyambung di mana? Masih di sekolah ini 'kan?" Arin menaikkan salah satu alisnya penasaran.
Pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Arin berhasil membuat Zia terdiam. Ia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari Arin.
"Kayaknya gue nggak nyambung di sini deh, Rin. Gue bakal pindah sekolah," gumam Zia dengan suara serak.
"Kenapa lo pindah? Alasannya apa? Lo tega tinggalin gue sendiri di sekolah ini?" sahut Arin dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Zia berulang kali menggelengkan kepalanya.
"Bukan gitu, Rin. Lo tahu kan kemampuan gue gimana. Kemampuan gue bukan di sini. Gue juga mau coba suasana lain di luar sana. Percuma kalau gue lanjut di sini, nggak bakal ada yang gue terima. Jadi, gue minta lo paham ya sama pilihan gue sekarang," jelas Zia.
"T-tapi, Zi. Gue sama siapa nanti kalau lo pindah?" gumam Arin pelan.
"Lo nggak bakal sendiri di sini. Arin, percaya sama gue. Lo nggak sendiri. Masih ada Ayra. Dia juga nggak bakal ngasih ruang buat lo sendiri. Dia juga akan terus ada buat lo. Jadi, gue harap lo ngerti sama keputusan gue pergi ya." Zia berusaha menenangkan sahabatnya.
Pada satu sisi Arin sangat paham dengan keputusan yang diambil oleh Zia. Arin tahu kemampuan Zia tidak cocok dengan sekolah ini. Namun, di sisi lain rasanya begitu berat untuk melepas Zia pergi.
"Nah, itu kita udah diminta kumpul di lapangan. Ke sana sekarang yuk," ujar Arin.
Arin menarik tangan sahabatnya menuju lapangan. Ia ingin menepis kesedihan sementara waktu. Ia hanya butuh waktu untuk menerima keputusan Zia.
Setelah menunggu akhirnya surat kelulusan keluar. Banyak orang yang bersorak gembira dan menangis haru melihat surat yang diterima. Iya, benar. Mereka semua dinyatakan lulus.
"Guys, kita lulus," sorak Ayra berlari memeluk Arin dan Zia.
Keduanya membalas pelukan yang diberikan oleh Ayra. Tentu saja Ayra belum tahu info mengenai Zia yang akan pindah. Sehingga kebahagiaan masih terpancar dari wajahnya.
"Arin, lo kenapa sedih? Harusnya lo bahagia kalau kita lulus," tanya Ayra yang sadar dengan raut wajah Arin.
"Lo tanya aja sendiri sama Zia," sahut Arin mengarahkan telunjuknya kepada Zia.
Ayra beralih menatap Zia. Ia meminta penjelasan dengan perubahan sikap Arin pagi ini.
"Zi, ada apa? Kenapa Arin gitu? Ada masalah? Masalah apa? Cerita sini ke gue," Ayra menyerang Zia dengan beberapa pertanyaan.
"Nggak ada masalah. Semua aman, Ra. Gue cuma mau bilang ke lo kalau jaga Arin baik-baik ya selama gue pergi," ujar Zia pelan.
"Ha?"
Jawaban Zia membuat Ayra semakin bingung. Ia mengerutkan dahinya seolah tidak paham dengan ucapan sahabatnya barusan.
"Gue pamit ya, Ra. Mungkin nanti kita beda sekolah, karena gue milih untuk ngelanjutin SMA di sekolah lain. Gue rasa lo pasti tahu alasannya," ucap Zia.
"Yup, gue ngerti alasan lo milih pergi. Gue harap lo bisa sukses di sana," jawab Ayra.
Ayra mengangguk pelan. Sekarang ia paham dengan perubahan yang terjadi pada Arin. Ia paham bahwa Arin tidak ingin berpisah dengan Zia, tapi bagaimana pun juga mereka akan memiliki jalan hidup masing-masing. Mereka akan memiliki pilihan sendiri. Pastinya tidak ada yang bisa menahannya.
Sekarang saatnya Arin, Zia, dan Ayra memulai dengan jalannya masing-masing.
"Lo hati-hati ya di sana. Jangan lupa sama gue dan harus sering ke sini."
Zia memeluk Arin erat. Ia juga merasakan hal yang sama dengan kedua sahabatnya. Sedih dan rindu sedang menguasai dirinya.
"Lo juga hati-hati di sini," tutur Zia.
"Lah, memang di sini ada apa sampai lo nyuruh gue hati-hati?" tanya Arin tampak tidak terima.
"Ada godaan yang bikin zina mata. He he he," ujar Zia terkekeh.
"Dia juga udah pergi, Zi." Arin mencubit Zia.
"Eh iya, gue lupa kalau dia juga udah lulus," jawab Zia sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ayra dan Arin sontak tertawa mendengar jawaban dari Zia.
"Udah ih, jangan pada galau lagi. Gimana kalau kita pergi makan dan main aja sebelum Zia pindah." Ayra memberikan tawaran kepada dua sahabatnya.
"Ide bagus, Ra. Gaskeun," sahut Zia bersemangat.
Setelah mendapat persetujuan dari ketiga sahabatnya. Ayra langsung mengajak ketiganya beranjak meninggalkan lapangan.
To be Continue!
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komen ya.
See You Guys.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
RomanceKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...