Part 15: Ruangan Khusus

666 42 2
                                    

Setelah dilakukan banyak rangkaian pemeriksaan, Arin dibawa ke ruang rawat inap. Mata Ayra membulat sempurna memperhatikan satu persatu sudut ruangan. Ruangan ini seperti pemandangan yang menakjubkan bagi Ayra.

"Wow, ini ruangan khusus ya, Kak?" tanya Ayra penasaran.

Bagaimana ia tidak penasaran, ruangan rawat tempat Arin terlihat sangat bagus dan lengkap. Ruangannya juga hanya tersedia satu ranjang. Jika dibilang hotel, tentu saja salah besar. Jelas-jelas ini rumah sakit. Namun, suasana ruangan yang bersih, nyaman, dan indah membuat Ayra begitu betah berlama-lama di sana.

"Iya, Ra. Ini ruang rawat khusus di rumah sakit ini. Hanya untuk keluarga pemiliknya," jelas Kak Arka.

"Ha? Keluarga pemilik rumah sakit maksud Kakak? Terus kenapa Arin dibawa ke sini? Arin bukan bagian dari keluarga pemiliknya, Kak," tanya Ayra kebingungan.

Penjelasan Kak Arka membuat Ayra kebingungan. Kalau memang ruangan ini hanya dibuat khusus untuk keluarga pemiliknya. Lantas mengapa Kak Arka berani membawa sahabatnya ke ruangan ini.

"Kenapa Arin dibawa ke sini, Kak?" ucap Ayra untuk kedua kalinya.

"Hu'um. Ini memang ruangan khusus untuk keluarga pemilik rumah sakit. Arin memang bukan keluarganya, tapi kakak bagian dari keluarga pemiliknya," jawab Kak Arka santai.

Ayra kembali kaget dengan informasi terbaru yang ia terima. Ternyata seorang Abdurrahman Arka Ramadhan adalah keluarga pemilik dari rumah sakit yang akan mereka tempati untuk beberapa bulan ke depan. Ia tidak bisa membayangkan betapa bahagianya sahabatnya ketika mengetahui hal ini.

"Iya sudah, kakak pergi dulu. Jangan lupa kasih kabar kepada keluarga Arin nanti," ucap Kak Arka yang dibalas anggukan oleh Ayra.

Baru saja Kak Arka pergi meninggalkannya. Ayra langsung menghubungi keluarga Arin. Namun, ternyata kedua orang tua Arin sangat sulit dihubungi. Sudah beberapa kali ia hubungi, tapi tetap tidak mendapat jawaban dari mereka.

'Aduh, kenapa orang tua Arin susah banget dihubungi sih?' gerutu Ayra membatin.

'Gue hubungi Bang Ihsan aja deh,' gumamnya membatin.

Ayra sibuk menggulirkan layar ponselnya. Saat ini ia sedang mencari nomor Bang Ihsan. Ia menghembuskan napas lega saat mendengar nada tunggu panggilan. Ia akhirnya memberi tahu Bang Ihsan mengenai kondisi Arin. Ia juga sudah memberi tahu bahwa mereka saat ini sedang berada di Indonesia. Jadi, keluarga Arin bisa menjenguknya.

"Ay-ra," panggil Arin terbata.

Arin sudah sadar, sorot matanya memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan penasaran.

"Iya, Rin. Kenapa? Alhamdulillah lo udah sadar," sahut Ayra mendekat.

"Ini hotel?" tanya Arin kebingungan.

"Bukan, Say. Lo masih di rumah sakit. Lo tadi pingsan pas mau masuk ke ruangan dokter pembimbing jadi dirawat langsung di sini," jelas Ayra.

***

Arin beberapa kali mengerjapkan kedua matanya. Tangannya masih memegang kepalanya yang masih terasa sakit. Saat sedang berbincang-bincang seorang suster masuk ke dalam ruangannya. Pastinya ini berhubungan dengan pemeriksaan.

"Maaf, ada keluarga dari saudari Arin?" tanya suster memperhatikan sekitar.

"Saya, Suster. Saya Ayra sahabatnya. Ada apa ya?" sahut Ayra.

"Saudari Ayra silakan ke ruangan dokter sekarang. Ada yang mau dijelaskan mengenai kondisi Arin saat ini. Mari."

Ayra beralih menatap sahabatnya. Iya, harusnya bukan Ayra yang berada di posisi ini. Orang yang paling berhak untuk mendengarkan penjelasan itu adalah keluarga Arin. Namun, karena pihak keluarga belum ada. Mau tidak mau Ayra harus berbesar hati untuk maju sebagai perwakilan dari sahabatnya.

"Gue ke ruangan dokter dulu, ya. Lo jangan banyak gerak. Istirahat aja dulu," pamit Ayra mengusap telapak tangan Arin.

"Lo nggak papa, Ra? Maaf ya, gue jadi ngerepotin lo," tanya Arin dengan raut wajah bersalah.

"Udah, tenang aja. Jangan pikir aneh-aneh. Gue siap kok ngurusnya."

Ayra meninggalkan sahabatnya yang masih dibalut dengan rasa bersalah.

"Bagaimana pemeriksaan Arin, Dok? Arin sakit apa?" tanya Ayra memulai pembicaraan.

Ia sudah tidak sabar mendengar penjelasan dari dokter. Dokter menghela napas panjang dan menatap Ayra. Saat ini terlihat jelas kalau sosok yang di hadapannya sedang mencari posisi nyaman untuk menjelaskan.

Ayra berjalan gontai keluar ruangan. Diagnosa dokter sudah merenggut kebahagiaannya.

'Apa hasilnya benar? Arin mengidap penyakit kanker otak stadium dua? Ayo, Ra. Lo harus sadar! Dokter tadi pasti salah. Arin masih sehat kok,' umpat Ayra membatin.

Pernyataan dokter tadi seakan membuat dirinya melemah. Ayra memilih untuk berdiri di rooftop rumah sakit. Ia ingin menenangkan dirinya sejenak. Jujur, ia tak kuasa untuk menjelaskan penyakit ini kepada sahabatnya. Dokter memang mengatakan bahwa masih ada kesempatan dan peluang kankernya untuk disembuhkan. Hanya saja bagi Ayra, kalau sudah berhubungan dengan kanker. Sama saja setengah dari kematian udah berada di tangan pasien.

"Nggak, Ra. Lo nggak boleh berpikir kejauhan. Arin pasti sembuh, kok. Ayra sadar! Arin bakal sembuh, Ra!" teriak Ayra frustrasi.

Kali ini ia benar-benar membutuhkan pendengar untuk berbagi. Fakta ini begitu berat untuk ia simpan seorang diri. Apalagi statusnya ia hanya seorang sahabat. Ia memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan kepada semua keluarga dan Arin mengenai hal ini.

"Permisi, Ayra maaf."

Ayra menoleh ke arah sumber suara. Siapa lagi kalau bukan Kak Arka. Ia memilih diam dan menerima keberadaan laki-laki itu menemaninya. Sekarang bukan saatnya bertanya-tanya sesuatu yang tidak penting. Hal terpenting saat ini adalah kesembuhan Arin, meskipun bukan hal yang mudah.

"Maaf, tadi kakak nggak sengaja melihat kamu keluar dari ruangan dokter. Jadi, kakak ikuti ke sini. Kakak ingin tau mengenai penyakit Arin. Kakak juga sempat dengar kalau kamu frustrasi dengan keadaannya. Arin kenapa, Ra?" ujar Kak Arka meminta maaf.

"Iya, Kak. Ayra barusan dari ruangan dokter. Terkait penyakit Arin, kayaknya bukan hal yang mudah untuk aku terima. Apa lagi kakak tau sendiri di sini aku cuma sendiri yang bisa mendampinginya. Aku bingung gimana cara menjelaskan kepada keluarganya. Tadi dokter bilang kalau Arin mengidap penyakit kanker otak stadium dua," jelas Ayra pelan.

"Astaghfirullah. Kakak paham yang kamu rasa sekarang. Kamu tenang dulu ya, Ra. Kakak akan berusaha melakukan koordinasi sama semua pihak untuk pengobatan Arin. Kita akan berusaha semaksimal mungkin. Semoga Arin dan keluarga bisa menerima berita ini dengan ikhlas. Kita sama-sama berusaha dan berdoa untuk kesembuhannya," jawab Kak Arka sembari mengadahkan kepalanya menatap langit.

"Baik, Kak. Terima kasih udah mau bantu aku untuk kesembuhan Arin. Aku mohon berikan pengobatan yang terbaik untuk dia. Aku yakin Arin orang yang baik dan kuat."

Tanpa sadar buliran air mata sudah membasahi pipi Ayra. Ia berpikir, tidak ada salahnya Kak Arka tau mengenai penyakit sahabatnya. Dia juga dokter dan pemilik rumah sakit. Pastinya akan memberikan pengobatan terbaik untuk Arin nantinya.

To be Continue

Lynella (COMPLETED✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang