Sedari tadi Kak Arka terus mondar mandir di depan ruang IGD. Ia juga berulang kali mengacak rambutnya frustrasi. Penyesalan pasti ada menyelimuti dirinya.
"Gimana keadaan istri saya, Dokter?" tanya Kak Arka khawatir.
"Saudari Arin sudah berhasil melewati masa kritisnya. Racun yang ada di dalam tubuhnya juga sudah steril. Sebentar lagi mungkin ia akan siuman. Saya permisi," ucap Dokter Sam.
Iya, sekarang bukan lagi Kak Arka yang menjadi dokter Arin, melainkan Dokter Sam.
"Saya bodoh ya, Ra. Saya udah nggak percaya dengan semua hal yang dikatakan Arin tentang minuman itu. Bahkan, Arin udah bersumpah. Saya tetap tidak percaya."
Ayra tersenyum miris mendengar ucapan Kak Arka. Masih tersimpan rasa kecewa dan kesal dalam dirinya melihat sosok Arka.
"Dia bahkan rela kehilangan nyawa cuma untuk Kak Arka. Arin nggak butuh apa-apa, Kak. Dia cuma butuh suaminya percaya."
"Bodoh banget saya, Ra. Saya udah gagal jadi suami yang baik," ucap Kak Arka frustrasi.
"Ha ha ha. Lucu. Bisa-bisanya ada orang yang lebih milih bela orang lain ketimbang istrinya sendiri. Kak Arka kalau memang suka ke dia bilang aja. Nggak usah main bentak Arin seenaknya. Kak Arka memang suami sahnya, tapi ingat di sini masih ada Ayra selaku sahabatnya yang menjadi saksi perjalanan dia. Aku nggak bakal ngebiarin seorang pun nyakitin dia, termasuk kakak. Jangan karena Arin seorang pengidap kanker dan orang yang suka ke kakak duluan ngebuat kakak seenaknya ke dia. Seolah-olah dia nggak berhak untuk dipertahanin. Dah lah. Cape banget. Bingung gimana ngejelasinnya," cecar Ayra tanpa memberi jeda untuk laki-laki di hadapannya memberi pembelaan.
Kak Arka tidak kuat menahan air matanya. Ia benar-benar merasa bersalah kepada Arin. Ia sudah melakukan kesalahan besar.
"Mas minta maaf, Rin. Sadar dong." Kak Arka memegang tangan Arin.
"Kenapa aku harus sadar kalau di hati kamu sebenarnya cuma mengharapkan dia, Mas?" ucap Arin melepas genggaman Arka.
Kak Arka sontak kaget mendengar jawaban dari istrinya. Ia sama sekali tidak paham maksud dari perkataan Arin.
"Ayra ... Suster ... Siapa pun tolong masuk," teriak Arin.
"Ada apa? Kenapa kamu teriak?" tanya Kak Arka tapi tidak dihiraukan oleh Arin.
"Iya, Rin. Kenapa? Sekarang lo tenang, ya. Ada gue di sini," tanya Ayra yang baru saja masuk.
"Gue nggak mau di sini lagi. Gue mau pergi dari sini," pinta Arin dengan suara serak.
"Lo nggak bisa pergi gitu aja. Lo masih harus dirawat dan butuh pengobatan yang ketat. Kondisinya belum stabil," jawab Ayra menggeleng.
"Gue mohon, Ra. Bawa gue pergi dari sini. Gue nggak mau ketemu sama orang itu lagi."
"Maksudnya?" tanya Ayra bingung.
"Gue mau pergi dari sini. Gue juga nggak mau ketemu dia lagi. Ini akan jadi kali pertama gue nggak mau ada di dekatnya. Kali pertama dalam hidup gue nggak mau buka mata lagi. Gue capek, Ra," ucap Arin frustrasi.
Air matanya kini tak ingin lagi untuk bertahan. Ia ingin segera menyeruak membasahi kedua pipinya.
Ayra juga ikut menangis mendengar ucapan dari sahabatnya. Ini pertama kali dalam hidupnya, Arin begitu putus asa. Pastinya, ini bukan tanpa sebab. Namun, ada satu sebab yang membuatnya sama sekali tidak terima dan merasa tersakiti.
Iya, tadi ia sempat mendengar percakapan antara Kak Arka dan Kak Nadia. Entah itu hanya salah paham semata atau begitu faktanya. Intinya, Kak Arka masih berharap dan memiliki rasa untuk Nadia, meskipun ia tahu kalau itu tidak mungkin lagi untuk dimiliki. Ia tahu rasanya sudah keliru. Ada Arin yang harus ia bahagia kan.
"Arin, maaf. Jangan ngomong gitu lagi."
Arin melepaskan genggaman tangan Kak Arka dan beralih kepada Ayra.
"Ayra, gue mohon bawa gue pergi dari sini. Gue nggak sakit lagi. Gue udah sembuh kok. Sakitnya nggak bakalan kambuh lagi. Malahan kalau gue di sini sakitnya akan tambah parah. Gue mohon, Ra," gumam Arin menahan tangisnya.
Ia lagi-lagi memohon untuk pergi dari rumah sakit.
"Iya udah, kita pergi dari sini, ya. Air matanya dihapus dulu. Gue nggak suka lihat lo nangis gitu. Arin yang gue kenal selama ini adalah perempuan yang kuat. Bukan cengeng gini," jawab Ayra sambil menyeka air mata sahabatnya.
Setelah tidak tega melihat sahabatnya, Ayra menyerah dan menyetujui keinginan Arin.
"Arin, kamu pulang sama Mas aja, yuk. Kamu istirahat di rumah aja. Mas akan rawat kamu," ucap Kak Arka masih berusaha membujuk istrinya.
"Aku bilang pergi!" ketus Arin singkat.
Arin memalingkan wajahnya menatap jendela kamar rawatnya. Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan sekarang. Ada sakit yang tidak bisa sembuh segera. Ada sayatan yang membutuhkan waktu lama untuk menyatu.
"Udah, mending Kak Arka pergi deh dari sini. Jangan nambah beban Arin. Dia sekarang butuh istirahat. Jadi, jangan paksa dia untuk bisa menerima maaf itu. Mending kakak intropeksi diri dan ingat lagi apa yang udah dibilang tadi sama Kak Nadia yang membuat Arin begini. Pulang sekarang, ya," jelas Ayra menahan amarahnya.
Ayra membuka pintu lebar dan mempersilakan Kak Arka segera meninggalkan ruangan. Sebenarnya ia juga tidak tahu ingin bersikap bagaimana dengan Kak Arka dan Arin. Jelas ia paham perasaan Arin saat ini. Namun, di sisi lain ia juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Kak Arka. Laki-laki itu memang salah, tapi posisi Ayra hanyalah sahabat yang baru bertemu kembali dengan keduanya. Jadi, ia tidak tahu persis akan konflik yang terjadi di rumah tangga mereka selama ini.
"Ayra, lo kenapa diam di sana? Bukannya kita mau pulang?" panggil Arin berusaha duduk.
"Iya, nih. Sabar ya. Gue sekalian nunggu Kak Angga sih sebenarnya. Dia mau jemput dan ngantar pulang," jawab Ayra sembari tersenyum.
"Jadi juga nih ye sama Kak Angga."
Arin berdeham dan tertawa kecil mendengar jawaban dari sahabatnya. Pastinya ia bahagia mendengar bahwa sebentar lagi Ayra tidak lagi sendirian.
To be Continue!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
RomanceKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...