Akhir pekan yg biasanya gue gunakan untuk bermain game atau menonton anime, kini kembali gue habiskan dengan tiduran di atas kasur kamar sembari menatap langit-langit kamar.
Entah kenapa semenjak kejadian di Pillo Mall dan ulang tahun Yuki, gue jadi semakin canggung dan melakukan hal bodoh bila harus berhadapan dengan Triana.
Gue sendiri gak ngerti apa penyebab dari kelakuan bodoh itu. Bahkan, selama dua minggu terakhir ini gue selalu berusaha menghindar dari mereka.
Saat jam istirahat siang, gue habiskan berdiam diri di kelas dengan alasan belajar atau apapun. Kemudian, gue menikmati bekal roti yg selalu gue beli di warung bang ucok sebelum masuk sekolah, sendirian di dalam kelas.
Rasanya sangat sepi memang, apalagi sebelumnya jam makan siang gue itu selalu meriah diisi oleh kelakuan konyol Putra dan ocehan-ocehan dari Yuki.
Di kelas pun, setiap mereka mencoba bertanya tentang gue yg gak pernah ikut ke kantin, gue selalu berusaha menjawabnya singkat dan mengalihkan pembicaraan.
Apalagi yg bertanya itu si Triana. Gue selalu menjawabnya singkat dan pergi meninggalkannya dengan beralasan ingin ke kamar mandi, meskipun gue gak kebelet sama sekali.
Huuh, gue jadi bingung sendiri sama kelakuan gue. Padahal awal masuk SMA, gue pengen banget dikelilingi teman yg asik dan bisa membuat kehidupan gue lebih berwarna seperti sekarang.
Tapi, kenapa sekarang gue menghindarinya?
Gue pun mencoba memejamkan mata gue. Berharap ketika membuka mata nanti, masalah ini bisa selesai secara ajaib dan membuat keadaan lebih baik.
Akan tetapi, takdir seakan ingin berkata lain tentang harapan gue itu. Entah kenapa gue tiba-tiba mengingat adegan di Pillo Mall saat Triana menggandeng lengan gue.
Rasa hangat tiba-tiba kembali mengalir di dalam hati gue. Seakan gue bisa mengingat detail kecilnya tentang suaranya, perkataannya, hangat dan lembut tangannya, serta aroma wangi dari parfum miliknya yg...
Gue segera menggelengkan kepala gue dan membuka kedua mata gue, agar pikiran itu bisa buyar.
Sial, kenapa gue malah kepikiran hal itu?
Gue pun merubah posisi gue yg tadinya tiduran menjadi posisi duduk. Kemudian mata gue melirik ke arah jam yg ada di dinding.
Kedua jarumnya itu tengah menunjuk ke arah angka satu secara bersamaan. Ternyata sudah siang saja dan waktu seakan berlalu tidak terasa. Mungkin mandi bisa menyegarkan pikiran gue yg kusut ini.
Gue pun bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi dengan menggendong rasa malas di punggung, sembari berharap rasa malas itu bisa larut dengan air dan hilang dari punggung gue bersama kotoran-kotoran di tubuh ini.
Setelah badan terasa segar kembali, gue mencomot dua potong roti tawar dan memakannya sembari berjalan kembali ke kamar.
Dan ketika gue berada di ambang pintu kamar gue, gue melihat sesosok makhluk yg sudah tidak asing lagi sedang bermain game bola.
Tentu saja orang itu adalah si Putra yg sedang menunggu kedatangan gue di kamar dengan game sepakbola yg sudah dipersiapkannya.
Ahh sial, gue lagi malas buat main game bola.
Kalian juga sudah tau kan, kalau bermain game bola itu sebenarnya ada hal serius yg ingin di bicarakan, sedangkan gamenya hanya kegiatan sampingan.
Gue membalik badan dan hendak menghindarinya, tapi...
"Lu mau kabur don?" Tanya Putra tanpa mengalihkan pandangannya dari TV. Dia bisa mengetahui rencana gue berkat lantai kayu yg berderit saat gue hendak kabur.
"Gue mau makan dulu put, hehehe. Laper gue baru bangun dan selesai mandi." Sanggah gue, sambil mencoba berkelit untuk kabur darinya.
"Jangan bohong sama gue. Lu pasti udah nyomot roti tadi sebelum naik ke kamar." Ucapnya lagi masih dengan mata menatap TV.
"Hehehe, lu dukun ya, bisa menebak semuanya tanpa harus melihat ke arah gue." Ujar gue diiringi tawa garing.
"Gue bukan dukun, tapi gue sahabat lu." Jelas Putra.
"Jadi, sudah pasti gue tau kebiasaan sahabat yg gue kenal sejak SMP ini." Lanjutnya, yg kini menatap gue dengan senyumannya.
Kata-katanya sungguh tajam dan menusuk hati, sampai gue gak sanggup buat berkelit lagi. Memang terdengar jahat, tapi gue yakin dia mengatakannya dengan tulus karena menyadari masalah yg sedang gue rasakan sekarang. Sehingga gue gak punya pilihan lain lagi, selain menurutinya bermain game bola.
Gue pun menemaninya bermain. Tapi, meski dua pertandingan sudah berlalu dan kini memasuki pertengahan babak di pertandingan ketiga, tidak ada satu pun di antara kami yg membuka obrolan.
Kesunyian ini malah semakin membuat gue merasa canggung. Akan tetapi, untuk membuka pembicaraan pun, gue bingung harus memulainya dari mana.
"Bosan put main bola, gimana kalau ganti game Tekken7 aja?" Tanya gue di akhir pertandingan ke tiga.
"Apa lu yakin?" Putra balik bertanya dengan nada yg datar.
Perkataan Putra barusan, sukses membuat gue mengurungkan niat untuk mengganti game tersebut. Sepertinya dia menunggu gue untuk membuka percakapan.
Akhirnya, kami melanjutkan ke pertandingan ke empat. Gue pun memulai cerita gue dan mengawalinya dari cerita antara gue dan Triana yg pergi ke Pillo Mall untuk membeli hadiah untuk Yuki.
Gue juga menceritakan padanya tentang pertemuan gue dengan Lia didepan Salario, dibarengi gol yg berhasil gue cetak ke gawang Putra. Mungkin dia terkejut dengan kebetulan yg sangat ajaib dari cerita gue itu.
"Terus gimana lagi, apa yg terjadi setelah lu ketemu sama dia don?" Tanya Putra penasaran.
"Ya, lu pasti tau lah apa yg dia lakukan." Jelas gue.
Gue menceritakan bagaimana si Lia menghina gue dengan kata-kata menjijikkannya. Kemudian gue juga menceritakan bagaimana Triana menolong gue dari hinaan iblis betina bermulut beracun itu.
"Gimana si Triana nolong lu?" Ujar Putra.
"Gue gak bisa ngebayangin dia memaki si Lia. Dia kan orangnya pendiam banget." Lanjutnya.
"Dia menolong gue dengan mengaku sebagai pacar gue dan menggandeng tangan gue. Kemudian dia meminta Lia untuk tidak menghina atau mengganggu gue lagi." Jelas gue.
Kemudian gue melanjutkan cerita gue dan berkata gue jadi merasa canggung karena gak enak sama Triana. Entah kenapa setiap ketemu sama dia gue jadi suka melakukan hal konyol yg membuat suasana menjadi berantakan kaya pas ulang tahun Yuki beberapa minggu lalu.
"Jadi, itulah yg bikin gue menghindar beberapa minggu ini. Gue ngerasa gak enak sama Triana karena udah menyeretnya masuk ke masalah gue dan tau masa lalu gue." Pungkas gue.
"Gue rasa bukan rasa gak enak atau malu karena dia tau masa lalu lu don." Ucap Putra.
"Tapi, lu sedang merasakan hal lain yg lebih besar." Lanjutnya.
"Apaan tuh?" Tanya gue penasaran.
"Lu sedang jatuh cinta." Jawabnya.
Haah?
Jatuh cinta?
Si Putra abis nonton anime apaan sih, bisa tiba-tiba ngomong ngawur kaya gini.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Buat yg sudah mampir, semoga terhibur dengan ceritanya.
Dibantu vote, share dan komennya juga ya.
Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Highschool Story : Next Step
ChickLitSetelah berhasil memiliki warna-warni baru di kisah SMA bersama kawan-kawannya yaitu Putra, Triana dan Yuki. Kini, Donni akan segera mulai menjalani kisah di tahun ke 2 nya. Bagaimana kehidupan sang otaku ini sekarang, setelah bertemu dengan orang...