Kini gue tengah duduk di dalam sebuah ruangan yg minim penerangan. Dihadapan gue terpampang sebuah layar lebar yg tengah memutar sebuah film tentang kisah cinta anak remaja.
Entah sudah berapa kali gue menguap sepanjang film ini di putar. Rasa malas dan kantuk, bercampur menjadi satu dan membuat gue semakin kesulitan untuk bisa menikmati film yg sedang diputar.
Gue masih merasa lebih baik menonton kungfu panda 3 ketimbang film ini. Karena buat gue, film drama serius semacam ini agak membosankan.
Sebenarnya ini hanya masalah preferensi gue saja yg lebih senang dengan genre komedi. Karena film komedi biasanya terkesan lebih casual dan santai, serta lebih mudah dicerna di dalam otak gue.
Jadi, ini bukan perkara bagus atau jeleknya kualitas dari film ini, melainkan murni hanya masalah selera saja.
Setelah 90 menitan berlalu, akhirnya film itu selesai. Gue berjalan menuju pintu keluar sembari meregangkan badan gue, serta menguap.
Yuki sendiri, tampaknya sangat puas dengan film pilihannya itu. Dia terus saja membicarakan tentang adegan yg sangat berkesan untuknya dari film tadi.
Sedangkan gue hanya manggut-manggut saja mendengarkan ocehannya itu, karena gue tidak memperhatikan dengan jelas film tadi. Bahkan gue sempat tertidur sebentar saat di akhir film dan terbangun berkat lampu studio yg tiba-tiba menyala.
"Heh don. Lu ngangguk-ngangguk doang, jangan-jangan lu gak merhatiin film tadi ya?" Protes Yuki.
"Gue udah bilang kan dari awal. Gue gak terlalu suka film drama serius kaya gitu." Balas gue.
"Gue lebih suka nonton anime, atau kalau film pun gue lebih suka yg komedi." Sambung gue.
"Tapi film tadi juga ada adegan lucunya kan." Sanggah Yuki.
"Ya... Tapi hanya komedi garing yg seakan dipaksa untuk memberi warna di film aja. Lagi pula, aktornya saja aktor serius dan tidak punya latar belakang sebagai komedian." Jelas gue.
"Setidaknya lu bisa pura-pura menikmati filmnya sedikit kek. Gue kan jadi merasa gak enak kalau hanya menikmatinya sendiri." Ujar Yuki.
"Huuh... Kenapa gue harus repot-repot melakukan itu?" Timpal gue.
"Lu harusnya berusaha menyenangkan pasangan date lu kan. Bukannya bikin sebal kaya gini." Maki Yuki.
"Gimana coba nanti ngedate aslinya, kalau latihannya saja kaya begini." Lanjutnya.
"Kalau ngedate aslinya nanti, setidaknya gue gak akan memilih film yg gue gak suka." Timpal gue lagi.
"Terus, lu mau ngajak dia buat nonton film kartun konyol pilihan lu itu?" Tanyanya.
"Huuh, gue jadi kasihan sama Triana." Sambungnya.
"Kenapa kasihan sama aku?." Tanya seseorang yg tiba-tiba nimbrung di tengah obrolan gue dan Yuki.
Gue kaget setengah mati mendengarnya, karena gue tau persis siapa pemilik suara itu.
Kami segera menoleh ke arah asal suara itu. Dan benar saja, ada sesosok cewe berponi dengan setelan ala 'kutu buku' yg menjadi ciri khas fashionnya, sedang berdiri tidak jauh dari kami berdua.
Tidak ada satu pun dari kami yg membuka suara. Gue sendiri merasa tak sanggup berkata apa-apa, berkat keterkejutan gue melihat Triana yg tiba-tiba bisa hadir di bioskop itu.
Gue gak habis pikir. Kok bisa-bisanya ada kebetulan semacam ini?. Entah ini takdir atau memang ada campur tangan dewi kesialan yg kembali ingin bermain-main dengan gue.
"Kalian berdua habis nonton?" Tanya Triana.
"I... Iya, kami..." Ucap gue gagap. Kata-kata gue seakan tertahan di tenggorokan dan sulit untuk keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Highschool Story : Next Step
ChickLitSetelah berhasil memiliki warna-warni baru di kisah SMA bersama kawan-kawannya yaitu Putra, Triana dan Yuki. Kini, Donni akan segera mulai menjalani kisah di tahun ke 2 nya. Bagaimana kehidupan sang otaku ini sekarang, setelah bertemu dengan orang...