Gue memberanikan diri untuk memencet bel rumah itu. Suara dari bel rumah itu bergema hingga sedikit terdengar di telinga gue. Membuat si pemilik rumah itu keluar dan menyambut kedatangan kami bertiga.
Nenek Triana lah yg menyambut kami di gerbang tadi. Kemudian beliau membawa kami bertiga menuju gazebo belakang rumahnya yg dulu pernah kami jadikan tempat belajar kelompok ketika menghadapi ujian kenaikan kelas dulu.
Di gazebo kecil yg berada di pekarangan belakang rumahnya itu, sudah tersaji beragam camilan dan minuman. Sajian yg cukup mewah itu seakan mengisyaratkan akan diadakannya sebuah pesta disana.
Tapi, pesta untuk apa?
Rasa penasaran gue kian memuncak, ketika sang nenek menyuruh kami menunggu Triana di gazebo ini sembari menyantap makanan yg sudah di sajikan.
"Nek... Kok makanannya banyak banget, memangnya kita mau mengadakan pesta atau semacamnya?" Tanya gue yg sudah tidak sanggup lagi menahan rasa penasaran ini.
"Ya, mungkin bisa dibilang seperti itu don." Ucap sang nenek.
Silahkan kalian nikmati makanannya ya, nenek akan panggilkan Triana dulu." Lanjutnya dengan diakhiri senyuman yg mirip seperti milik cucunya itu.
"Eh, ini maksudnya apa sih?" Tanya gue bingung.
"Kalau pesta ulang tahun, jelas ulang tahun Triana masih jauh." Sambung gue.
"Apa ini pesta ulang tahun neneknya?" Lanjut gue.
"Buat apa neneknya Triana mengundang kita untuk merayakan ulang tahunnya." Sanggah Yuki.
"Terus, ini acara apa?" Tanya gue lagi dan lagi.
"Udah lah don, tinggal makan aja ribet amat. Toh, tuan rumahnya juga sudah mempersilahkan kita menyantapnya." Timpal Putra yg tanpa ragu menyantap makanan yg disediakan itu.
Gue pun menyingkirkan dahulu rasa penasaran gue itu dan ikut menikmati makanan yg sudah tersaji itu bersama Putra.
Sedangkan Yuki seperti sedang tidak selera untuk ikut makan. Dia hanya terdiam sembari bertopang dagu dan menatap lurus ke arah pintu belakang rumah neneknya Triana.
Tidak lama kemudian. Suara pintu yg berderit, menjadi pertanda kemunculan orang yg kami tunggu-tunggu sedari tadi. Akhirnya Triana muncul dari dalam rumahnya dan menghampiri kami di gazebo.
"Gimana makanannya, apa kalian menikmati hidangannya?" Tanya Triana yg baru saja bergabung bersama kami.
"MuanaynyaEnyuanyaNyua" Sahut Putra dengan mulut masih penuh makanan.
"Telan dulu itu makanan di mulut lu, baru abis itu ngomong. Kaga ada sopan-sopannya lu di rumah orang." Maki gue yg kesal dengan kelakuan si Putra.
Putra berusaha secepat mungkin menelan makanan yg di mulutnya itu dan kemudian berkata, "maksud gue tadi tuh bilang kalau makanannya enak-enak banget na."
"Nah gitu kan orang bisa ngerti lu ngomong apa put, gak kaya tadi omongan lu gak jelas." Maki gue lagi.
Triana tertawa kecil berkat kelakuan Putra dan gue. Kemudian dia duduk di samping Yuki yg membuatnya berada tepat di sebrang gue duduk.
"Kalau kamu gimana don, apa kamu menikmati acara ini?" Tanya Triana.
"Meski sebenarnya gue gak tau ini acara apa. Tapi kalau tentang makanannya sih En..."
"ACARA INI BURUK...!!!" Sela Yuki dengan nada tinggi.
Membuat gue dan Putra berhenti sejenak dari kesibukan kami mengunyah makanan.
"Gue... Gue sama sekali gak menikmatinya." Sambungnya.
"Bahkan... Bahkan gue membenci acara ini." Lanjutnya sambil sedikit terisak dan diakhiri dengan air matanya yg jatuh.
Heeh, apa maksudnya ini?
Kenapa si Yuki sebegitu membenci acara ini, hingga dia harus meneteskan air matanya dan terasa sekali emosionalnya di kata-kata terakhirnya tadi.
Apa ini akibat dari latihan ngedate yg berujung dengan pertemuan di bisokop kemarin?
Berarti, ada masalah besar di balik kejadian kemarin dan gue punya andil di balik itu semua?
Beribu tanya kembali memenuhi otak gue, hingga gue sedikit merasa pening memikirkannya. Tapi, lagi dan lagi. Kata-kata gue tertahan di tenggorokan dan tak sanggup untuk keluar.
Gue benci sama sifat pengecut yg ada di dalam diri gue ini yg seakan menahan kata-kata gue dan hanya bisa diam tanpa reaksi, menyaksikan ini semua.
Gue mengutuk diri gue sendiri di dalam hati, ketika merasa betapa pecundangnya gue sebagai seorang laki-laki dan seorang sahabat mereka.
Kesempatan bereaksi itu di ambil alih oleh Triana. Dia memeluk sahabatnya yg mulai meneteskan air matanya itu, kemudian membenamkan kepala sahabatnya itu di dadanya sembari mengelusi kepalanya agar Yuki bisa tenang.
"Lu jahat na... Gue benci sama lu." Ucap Yuki dengan isakkannya.
"Maaf ya, aku udah jadi sahabat yg jahat buat kamu ki." Balas Triana yg masih mengelusi kepala sahabatnya itu.
"Kalian kenapa?" Tanya Putra yg mencuri kesempatan gue untuk bertanya.
"Baiklah... Ini saatnya aku mengatakan rahasia kecil aku kepada kalian berdua." Balas Triana membuka percakapan.
Triana kemudian melepaskan pelukannya dari Yuki. Kemudian menatap ke arah gue dan Putra bergantian dan dilanjutkan dengan tarikan nafas dalam sambil memejamkan matanya.
"Sebenarnya... Aku akan pergi ke australia setelah ujian kenaikan kelas nanti." Jelasnya.
Layaknya petir yg tiba-tiba menyambar di tengah cuaca yg cerah. Kata-kata yg keluar dari mulutnya itu membuat gue kaget bukan main, ketika mendengar penjelasannya.
"Bukannya lu pernah bilang, kalau lu baru akan pindah setelah lulus dari SMA nanti?" Protes gue.
"Kenapa tiba-tiba dipercepat dan harus pindah saat kenaikan kelas nanti?" Sambung gue.
"Kenapa semuanya harus mendadak seperti ini?"
"Dan kenapa harus..."
Tangan Triana yg tiba-tiba menggenggam punggung tangan gue itu, berhasil menghentikan rentetan pertanyaan yg mengalir dari dalam benak gue.
"Iya, ini semua mungkin di luar rencana awal." Ujar Triana.
"Tapi, karena papah aku menemukan sekolah yg mau menerima murid pindahan dari luar negri. Jadi rencana kepindahan aku ke sana, bisa di percepat." Sambungnya.
"Terus, maksud kalian berdua tentang 'janji' yg kalian bahas tadi siang itu apa?" Tanya gue.
"Kamu ingin tau maksud dari 'janji' itu ya?" Ucap Triana.
"Sebenarnya, aku sudah menceritakan rencana tentang kemungkinan kepindahan aku ke australia sama Yuki." Lanjut Triana mulai menjelaskan.
"Tapi, aku memintanya untuk merahasiakan ini semua dari kalian. Aku juga berjanji kepada Yuki, kalau aku akan memberi tahukan ini semua ke kalian pada saat yg tepat." Tambahnya.
"Tapi sayangnya, aku gak tau kalau janji itu malah melukai sahabatku yg paling berharga ini." Pungkasnya dengan melemparkan senyuman termanisnya untuk Yuki yg mulai bisa menguasai emosinya yg tadi meluap.
Jadi ini penjelasan di balik janji antara mereka. Penjelasan yg gue rasa menjadi alasan Yuki, untuk memaksa gue segera mengungkapkan perasaan gue ini kepada Triana.
Tapi, apakah mental gue sudah siap untuk mengatakannya?
Dan waktu yg tersisa buat gue hanya sampai kenaikan kelas nanti. Itu artinya hanya tersisa sekitar satu setengah bulan lagi, untuk gue menyiapkan semuanya.
Selain itu... Apa masih perlu buat gue mengungkapkannya, ketika gue tau dia akan pergi meninggalkan gue nantinya?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Buat yg sudah mampir, semoga terhibur dengan ceritanya.
Dibantu vote, share dan komennya juga ya.
Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Highschool Story : Next Step
ChickLitSetelah berhasil memiliki warna-warni baru di kisah SMA bersama kawan-kawannya yaitu Putra, Triana dan Yuki. Kini, Donni akan segera mulai menjalani kisah di tahun ke 2 nya. Bagaimana kehidupan sang otaku ini sekarang, setelah bertemu dengan orang...