Kini gue tengah berdiri didepan ruang eskul kebudayaan jepang. Gue masih terpaku menatap papan nama itu, sampai akhirnya Putra menyadarkan gue dari lamunan.
"Hey don, kenapa lu malah bengong?" Tanya Putra sembari menepuk bahu gue.
"Lu ikut eskul ini put?" Tanya gue balik.
Putra mengangguk.
"Sejak kapan lu tertarik sama kebudayaan?" Tanya gue lagi.
"Ini bukan sekedar kebudayaan don, ini tuh kebudayaan jepang." Balas Putra.
"Udahlah, mending kita masuk. Nanti, lu akan paham sendiri kalau sudah melihat kegiatan kami di dalam." Lanjutnya.
Gue pun menurutinya dan ikut masuk ke dalam ruangan itu. Ketika sudah sampai di dalam, mata gue segera menyapu seluruh ruangan tersebut.
Didalam ruangan yg tidak begitu besar itu, terdapat banyak sekali buku-buku yg berjajar rapih pada rak besar yg berada di sisi kanan ruangan itu.
Kemudian, di hadapan gue ada sebuah 'Shodo' atau kaligrafi berbahasa jepang, yg menghiasi celah dinding di antara kedua jendela yg menjadi tempat masuknya cahaya ke dalam ruangan.
Sedangkan di sisi kiri ruangan itu, menggantung beberapa haiku atau puisi khas jepang. Serta beberapa lemari kecil dengan pintu kaca yg berjajar.
Gue sempat melihat botol-botol tinta dan beberapa kuas disana, serta alat-alat lain yg gue gak tau fungsinya. Mungkin itu adalah lemari penyimpanan barang-barang yg biasa digunakan oleh eskul ini.
Sementara itu di tengah ruangan eskul, terdapat beberapa murid kelas satu yg sedang duduk mengitari seorang senior yg tampaknya berasal dari eskul kebudayaan jepang ini.
Para anak kelas satu itu pun tampak sedang asik menikmati penjelasan dari si senior yg kini tengah memamerkan beberapa karya gambar bergaya manga, hasil polesan dari anggota klub kebudayaan jepang ini.
Terus, buat apa gue disini?
Gak ada satu pun kegiatan atau barang-barang yg ada disini, yg bisa menarik minat gue untuk bergabung.
Gue juga bingung, apa sih yg dicari si Putra di eskul ini?
Dia kan hanya gamers maniak doang dan bukan penggiat kebudayaan macem ini.
"Kayanya lu bukan tipe orang yg suka kegiatan budaya seperti ini put." Ujar gue.
"Lu beneran ikut eskul ini?" Tanya gue ragu.
"Don... don, jangan pernah melihat sesuatu dari kulit luarnya saja." Balas Putra.
Benar juga omongannya, mungkin selama ini dia gak cuma seorang maniak game buatan jepang saja. Atau dia pernah memainkan game yg memperkenalkan kebudayaan jepang, sehingga membuatnya jadi jatuh hati juga kepada budayanya.
Semua kemungkinan bisa saja terjadi. Meskipun kalau membayangkan Putra melakukan kegiatan seperti ini, rasanya hampir mustahil dan tidak masuk akal.
"Pssstt...!!!, hey don sini." Panggil Putra dari balik pintu kecil di pojok ruangan dekat rak buku.
Haah, ngapain sih dia disitu?. Gue juga baru sadar kalau ada pintu lagi di pojok ruangan ini. Mungkin karena letaknya yg berada sejajar dengan rak-rak buku membuatnya tidak terlalu mencolok.
"Ngapain lu?" Tanya gue heran melihat kelakuannya itu.
"Udah sini cepat." Perintahnya, masih dengan suara setengah berbisik.
Gelagat si Putra yg aneh itu pun, kian mendukung rasa penasaran gue untuk mengetahui apa yg ada dibalik pintu itu.
Gue melangkah ke arah pintu kecil itu, serta membukanya dan masuk dengan perlahan. Gue pun langsung tercengang setelah gue mengetahui fakta di balik pintu ini.
Ternyata pintu kecil itu menghubungkan ke sebuah tempat rahasia yg mereka buat dengan menyekat ruang kelas ini.
Sebuah ruangan yg sedikit lebih kecil dari ruangan sebelumnya dan diisi oleh barang-barang buatan jepang yg tampak familiar buat gue.
Poster-poster anime dan game saling tumpuk tindih menghiasi hampir seluruh dinding ruangan itu. Manga serta CD anime terpajang di rak dan beberapa ada yg dibiarkannya tergeletak di lantai.
Seseorang tampak sedang serius berkutat dengan pena dan kertasnya dengan lampu sorot di atas mejanya yg berada di sudut ruangan. Sepertinya dia sedang menggambar manga atau semacamnya.
Di sudut lainnya, terdapat jejeran lemari kecil yg berisi berbagai macam konsol dan deretan game. Kemudian ada dua TV dari 2 generasi yg berbeda, yaitu TV tabung jaman dulu dan TV LED yg canggih keluaran terbaru, bersanding di atas lemari kecil tadi.
Di tengah ruangan terdapat beberapa kardus dan sisa-sisa sampah camilan dan botol-botol minuman yg sudah kosong. Gue melirik ke salah satu kardus yg terbuka dan melihat bahwa isinya adalah kumpulan game-game yg mungkin tidak muat untuk dipajang di lemari.
Di sisi lainnya, terdapat juga sebuah lemari besar yg seluruh sisinya dilapisi kaca sebagai tempat memajang figure dari berbagai macam anime dan game.
Gila, ini sih udah kaya brangkas penyimpanan harta karun bagi para otaku. Pantas saja si Putra semakin hari semakin terlihat seperti otaku hardcore, ternyata ini kegiatannya selama setahun belakangan ini.
"Gimana don?" Tanya Putra sambil memamerkan senyum tengilnya.
"Gila lu ya, jadiin eskul kebudayaan jepang buat kamuflase kerajaan otaku kaya gini." Sahut gue.
"Ehh, enggak dong. Lagian kan budaya otaku kaya gini juga bagian dari kebudayaan jepang." Sanggahnya.
"Iya budaya jepang, tapi yg masuk kedalam sisi gelap." Balas gue.
"Lu mau bikin anak-anak polos di ruangan sebelah tadi jadi otaku juga?" Hardik gue.
"Heeh, kita gak memaksa kok." Sanggah Putra lagi.
"Meski saling bertolak belakang, kami sudah sepakat kok dengan ketua eskul kebudayaan jepang yg ada di ruangan sebelah." Lanjutnya.
"Kami membebaskan murid-murid untuk memilih bagian kebudayaan mana yg mereka mau, tanpa ada unsur paksaan sama sekali." Jelasnya.
Putra juga menjelaskan kalau eskul ini hampir bubar di awal tahun kemarin karena hanya sisa si ketua saja yg masih menjalankan eskul ini.
Kemudian Putra dan beberapa otaku lainnya menyarankan ide ini dan membuat eskul kembali ramai. Meskipun mayoritas yg ikut adalah otaku, tapi ada juga 1-2 murid yg akhirnya tertarik sama kebudayaan jepang seperti yg ada di ruang sebelah tadi.
Kenapa setelah mendengar cerita si Putra, gue ngerasa sedikit familiar sama beberapa anime tentang sekolah yg ceritanya mirip dengan kondisi eskul ini.
Huuh, sudah lah. Toh, mereka sama-sama merasa saling di untungkan.
"Jadi gimana don?" Tanya Putra.
"Apanya?" Tanya gue balik.
"Apa lu tertarik buat gabung eskul ini?"
"Tentu saja tidak." Jawab gue tegas.
"Ehh, kenapa?" Putra tampak bingung.
"Lu suka kaya gini juga kan. Terus, gue juga sebagai partner in game lu ada disini." Jelasnya.
"Lu gak perlu main game sendirian lagi dibawah pohon kaya tadi. Lu bisa berkumpul bersama kami disini buat main game bersama." Pungkasnya.
"Sory put, gue gak merasa kesepian atau semacamnya. Gue lebih nyaman dengan kesendirian kalau urusan otaku kaya gini, sebenarnya." Ucap gue membuka penjelasan.
"Jadi, sekali lagi gue minta maaf, karena gak bisa bergabung dengan eskul lu ini." Tutup gue, sembari melangkah keluar dari ruangan itu.
Sory put, gue adalah serigala penyendiri. Gue yg memilih menikmatinya sendiri dan bukan berarti gue kesepian.
Lagi pula berkumpul dengan otaku hardcore itu, kadang terasa menyebalkan dan gue selalu kesulitan untuk membaur dengan mereka.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Buat yg sudah mampir, semoga terhibur dengan ceritanya.
Dibantu vote, share dan komennya juga ya.
Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Highschool Story : Next Step
Literatura FemininaSetelah berhasil memiliki warna-warni baru di kisah SMA bersama kawan-kawannya yaitu Putra, Triana dan Yuki. Kini, Donni akan segera mulai menjalani kisah di tahun ke 2 nya. Bagaimana kehidupan sang otaku ini sekarang, setelah bertemu dengan orang...