Gue menatap ke arah langit yg mulai kehilangan warna birunya. Entah kenapa gue bisa ada disini sekarang. Gue sedang berdiri di depan sebuah rumah yg...
"Don... Kenapa kamu malah bengong disitu, ayo cepat masuk." Ajak Triana.
Jadi, ide Triana itu adalah dia ingin mempertemukan gue dengan papahnya.
Sekali lagi, DENGAN PAPAHNYA.
IYA, PAPAHNYA, KALIAN GAK SALAH BACA KOK.
Gue menghembuskan nafas berat. Entah apa yg sebenarnya dipikirkan oleh Triana, hingga dia ingin mempertemukan gue dengan orang tuanya, yg baru tiba dari australia itu.
Jujur saja hati gue belum siap. Apalagi, gue gak tau gimana karakter orang tuanya itu.
"Kayanya, lebih baik gue pulang aja deh." Balas gue.
"Don... udah tanggung sampai disini tau, lebih baik kamu bertemu sekalian sama papah aku." Ajak Triana lagi.
"Tapi na..."
"Udah ayo... Aku udah gak sabar mau ketemu papah." Ujarnya sambil kembali menarik tangan gue.
Sepertinya gue gak punya pilihan lain lagi. Gue harus siap menerima apapun resikonya nanti. Semoga saja, orang tuanya baik hati juga seperti Triana, atau kakek dan neneknya.
Kami masuk melalui pintu samping dan menuju ke gazebo dihalaman belakang. Triana bilang mereka pasti sedang berkumpul di sana, karena papahnya memang sangat suka berada di gazebo itu untuk berkumpul sambil minum-minum kopi.
Benar saja, ketika kami muncul dari pintu samping itu. Gue melihat kakek dan nenek sedang berkumpul dengan dua orang lainnya yg pastinya adalah orang tua Triana.
"Anaaa..." Panggil papahnya yg menyadari kehadiran kami.
"Papaahhh..." Sambut Triana yg kemudian berlari meninggalkan gue dan menghampiri mereka di gazebo.
Orang tua dan anaknya itu saling melepas kangen setelah hampir dua tahun ini tidak bertemu. Sedangkan gue, hanya bisa mematung sambil menyaksikan adegan itu dari kejauhan.
"Don... Sini..." Panggil Triana setelah mereka puas saling meluapkan perasaan mereka.
Gue melangkah perlahan, mendekat ke arah mereka dengan rasa ragu menyelimuti gue, di setiap langkahnya.
"Ohh... Jadi ini, laki-laki yg membuat kamu gak bisa menjemput papah di bandara tadi?" Ujar papahnya Triana.
"Sini duduk nak di samping om. Sepertinya, om punya seribu pertanyaan untuk kamu." Pinta papahnya dengan senyum sejuta makna yg terukir di wajahnya.
Kata-katanya cukup menusuk hati gue, layaknya petir yg datang menyambar di siang bolong. Membuat gue spontan tertunduk dan terdiam, serta tidak berani menatap mereka.
"Maaf ya, jangan di ambil hati. Papahnya Triana memang suka becanda." Ucap sang istri yg duduk disebelah papahnya dengan diakhiri dengan tawa kecil.
Sementara disebelahnya, sang suami sedang meringis kesakitan.
"Kok papah di cubit sih mah." Protes si suami.
"Abisnya papah seneng banget sih, meledek temannya Triana itu." Balas si istri.
Kemudian Triana memperkenalkan gue dengan kedua orang tuanya itu dan gue menyalami mereka berdua sambil menyebutkan nama gue dengan tergagap.
"Sudah-sudah, para orang tua sebaiknya pindah ke dalam dan memberikan waktu kepada kedua anak muda ini sekarang." Ujar sang kakek seraya bangkit dari duduknya.
"Papah disini aja deh, enakan disini adem." Ucap papahnya.
"Gak apa-apa kan don?" Lanjutnya bertanya.
Gue hanya sanggup membalasnya dengan tawa garing.
"Papah jangan aneh-aneh deh." Tegur sang istri.
"Tapi ma..."
"Udah, ayo ikut masuk ke dalam." Paksa sang istri sambil menarik telinga suaminya dan menuntunnya masuk ke dalam rumah.
"Papah kamu... Amazing banget ya na." Ucap gue setelah mereka semua masuk ke dalam rumah.
"Iya, begitulah. Dia sangat suka bercanda, aku sampai merasa dia lebih seperti sahabat aku ketimbang orang tua." Balas Triana yg diakhiri dengan tawa kecilnya.
Gue pun juga ikut tertawa garing sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakang gue.
Setelah itu suasana diantara kami menjadi hening. Hanya ada suara dari serangga-serangga malam yg mengisi diamnya kami berdua itu.
Gue harus bisa mencari bahan pembicaraan.
Tapi apa, gak ada satu pun ide yg terlintas.
Kemudian gue baru teringat kalau gue dari tadi belum sempat mengungkapkan perasaan gue sama Triana.
Jadi, apakah ini adalah waktu yg tepat?
Sialnya, berkat keheningan yg tercipta ini. Malah membuat gue bisa mendengar detak jantung gue yg kini berdegup tidak karuan dan membuat gue semakin merasa grogi untuk mengatakannya.
"Makasih ya don." Ucap Triana yg memecah keheningan diantara kami.
"U... Untuk apa?" Tanya gue.
"Buat hadiah perpisahannya tadi. Aku puas banget bermain di Pillo Mall tadi." Balasnya.
"Kalau kamu bagaimana, apa kamu sudah puas?" Lanjutnya.
Apa gue puas?
Tentu saja tidak. Gue gak akan bisa puas hanya dengan hal kecil kaya tadi. Gue berharap jeritan hati gue ini bisa di dengar olehnya.
Maka, gue mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
Gue akan mengambil semua resiko apapun hasilnya nanti dan memantapkan diri gue untuk mengungkapkan perasaan gue itu, sekarang.
"Gu.. Gu... E... Uhuk...Uhukk." Saking groginya gue, malah membuat gue tersedak ludah gue sendiri dan terbatuk-batuk.
"Kamu gak apa-apa don?" Tanya Triana yg menghampiri gue dan menepuk-nepuk punggung gue.
"Aku ambil minum dulu ya buat kamu, sebentar." lanjutnya seraya bangkit berdiri.
Entah kenapa saat itu juga gue merasa gak mau dia meninggalkan gue. Seakan gue merasa kalau kepergiannya itu akan menjadi kepergian untuk selamanya dan gue tidak akan bisa menemuinya lagi.
Maka, gue segera meraih tangannya dan menahan kepergiannya itu.
"Gue gak apa-apa na." Ucap gue dengan suara agak serak, kemudian berdeham beberapa kali untuk menstabilkan suara gue itu.
"Ja... Jangan tinggalin gue." Sambung gue dengan wajah tertunduk.
"Tapi aku cuma mau ambil minum didalam rumah untuk kamu." Sahut Triana.
"Pokoknya jangan tinggalin gue na, gue gak mau kalau sampai lu..."
Emosi yg tiba-tiba meluap itu tanpa sadar membuat dua butir air yg keluar dari mata gue itu, mengalir melewati pipi dan menetes ke lantai kayu gazebo ini.
Isakan yg gue tahan sekuat tenaga itu pun tidak terbendung lagi. Gue merasa kecewa dengan diri gue sendiri, karena harus memperlihatkan sisi pecundang gue di hadapan orang yg gue suka.
Gue yakin dia pasti sedang menatap gue dengan rasa jijik, melihat seorang cowo yg menangis, ketika hanya ingin ditinggal untuk mengambil air minum.
Ternyata semua dugaan gue itu terbantahkan seketika. Gue kaget dengan reaksinya yg tiba-tiba memeluk gue dengan erat dan mengelusi pucuk kepala gue itu.
"Tunggu aku sebentar ya, aku cuma ingin mengambil air minum untuk kamu dari dalam rumah." Bisiknya di telinga gue.
"Aku janji aku akan kembali. Kamu jangan khawatir." Lanjut bisiknya berusaha menenangkan gue.
Tapi, rasa hangat dari pelukannya itu. Malah membuat gue balik memeluknya dengan erat dan enggan untuk melepasnya pergi, meski hanya untuk satu detik.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Buat yg sudah mampir, semoga terhibur dengan ceritanya.
Dibantu vote, share dan komennya juga ya.
Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Highschool Story : Next Step
Chick-LitSetelah berhasil memiliki warna-warni baru di kisah SMA bersama kawan-kawannya yaitu Putra, Triana dan Yuki. Kini, Donni akan segera mulai menjalani kisah di tahun ke 2 nya. Bagaimana kehidupan sang otaku ini sekarang, setelah bertemu dengan orang...