Chapter #2 - Reuni

6 3 0
                                    

Huuh, gue seneng sih bisa sekelas lagi sama Yuki, Putra dan Triana, karena membuat suasana di kelas gak beda jauh seperti saat kelas satu. Tapi...

KENAPA BU LATIVA IKUT HADIR JUGA?

Gue kira, setelah naik ke kelas 2. Gue bisa terbebas dari guru killer penggila drama itu. Ternyata, harapan gue harus pupus oleh kenyataan yg terpampang didepan gue itu.

Sebenarnya, kalau kita gak melakukan hal2 aneh. Kita gak akan bermasalah dengan dia. Hanya saja, sensasi horor seakan menyelimuti seluruh kelas ketika dia mengajar.

Apalagi, pengalaman remedial pas kelas satu kemarin. Suasana tegang ujian ditambah aura horor miliknya itu membuat tekanan ujian remedial serasa naik berkali-kali lipat.

Kali ini gue harus benar-benar belajar serius, untuk menghindari remedial dengan bu lativa lagi.

"Huuh, ibu masih gak habis pikir. Kenapa kalian masih saja berposisi duduk kaya gini, meskipun kalian sudah kelas 2 sekarang." Ujar bu lativa sambil memegang kepalanya.

Murid-murid lain yg belum pernah berada di kelasnya jelas saja bingung dengan maksud kata-kata bu lativa itu dan membuat mereka saling berbisik dengan teman se-mejanya.

"Sekarang ibu akan atur posisi duduk kalian, agar kalian duduk dengan lawan jenis kalian, seperti empat orang di pojok belakang sana." Jelas bu lativa.

Tepat seperti yg gue pikirkan. Dia ingin membuat kami saling duduk dengan lawan jenis. Tentu saja beberapa murid memprotes keputusan bu lativa, sama seperti dulu saat gue kelas satu.

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi. Gue bisa bersahabat dengan Triana, berkat bu lativa yg mengatur posisi duduk kami.

Yuki juga secara kebetulan adalah teman se-meja Putra, meski awal pertemuan gue dengannya adalah ketidak sengajaan yg berakhir malapetaka buat gue.

Kini, semua hal itu bersatu padu dan menghasilkan sebuah hubungan persahabatan yg membuat gue bisa lebih menikmati masa SMA gue sekarang.

Jadi, keputusan bu lativa menyuruh untuk duduk berpasangan dengan lawan jenis, cukup memberikan sedikit andil buat gue bisa menikmati masa remaja yg singkat ini.

Akhirnya para murid yg tadinya menolak, terpaksa menuruti kemauan bu lativa setelah dia mengultimatum dengan gebrakan meja dan perintahnya yg tidak bisa terbantahkan.

Beberapa murid juga sempat melemparkan pandangan kesal kepada kami berempat yg memulai duduk dengan lawan jenis.

Hey, ini bukan salah kami, salahkan bu lativa sana. Kami juga awalnya hasil dari pemikiran maniaknya akan drama TV saat di kelas satu dulu.

***

Lima hari yg diisi oleh rutinitas perkenalan dengan para guru, kini telah usai dan kini tiba di hari sabtu. Itu artinya tiba saatnya ekstrakurikuler.

Klub-klub eskul itu sedang sibuk memamerkan kegiatan eskul mereka, sembari berharap ada anak kelas satu yg tertarik untuk masuk dan menjadi penerus mereka kelak.

Gue sendiri masih asik bersandar di bawah pohon, ditemani dengan game Story of season : Trio of towns di 3DS yg gue beli saat liburan kenaikan kelas kemarin. Gue masih setia dengan eskul selamatkan uang jajan alias SUJ gue.

Gue masih enggan untuk ikut kegiatan eskul yg ada dan gue juga merasa gak perlu mencari penerus untuk melestarikan eskul buatan gue ini.

Toh, gue lebih bisa menikmati bermain game sendirian, ketimbang harus berkumpul sembari 'berdiskusi' yg kini sering disalah artikan dengan mengadu ego dan enggan membuka pikiran terhadap opini orang lain.

Gue meregangkan badan gue yg terasa kaku. Sementara itu, di lapangan basket yg tidak jauh dari tempat eskul gue, ada Triana yg sedang memamerkan keahliannya melakukan shoot jarak jauhnya yg membuat beberapa anak kelas satu terkesan dan bersorak berkat aksinya.

Triana tampaknya menikmati sorak sorai dari anak kelas satu yg menontonnya itu. Dia sempat menyembunyikan wajah tersipunya itu di balik bola basket, sebelum dia melemparkannya dan membuat gemuruh penonton semakin meriah.

Dia sudah bisa pamer aksi sekarang. Padahal, kalau mengingat waktu pertama kali dia bermain basket saat eskul. Aksinya sama sekali tidak bisa dibanggakan.

Saat gue sedang asik memperhatikan Triana, seseorang tiba-tiba menyentuh pundak gue dan berhasil membuat gue terperanjat.

"Ngapain lu don disini?" Tanya si pemilik tangan yg ternyata adalah si Putra.

"Gue lagi eskul." Jawab gue singkat.

"Eskul?" Tanya Putra dengan wajah heran.

"Eskul apaan disini?" Lanjutnya.

"SUJ" Balas gue.

"Eskul macam apa itu? kayanya gue baru denger."

"Selamatkan uang jajan." Jelas gue.

"Hahahaha, jadi ini kegiatan lu di hari sabtu, selama kelas satu kemarin?" Ujar Putra.

"Ya begitulah, lumayan untuk nambahin tabungan gue buat beli game atau anime." Sahut gue.

"Pantes aja kalau hari sabtu gue ke rumah lu, enyak lu selalu bilang lu lagi eskul. Ternyata eskul lu tuh kaya gini don."

"Lu sendiri ngapain di sekolah hari sabtu, bukannya lu gak pernah ikut eskul sebelumnya?" Tanya gue.

"Kata siapa gue gak ikut eskul, gue aktif lagi ikut eskul setiap hari sabtu." Sanggahnya.

"Bahkan kadang hari-hari biasa juga gue suka berkumpul di tempat eskul kalau ada kondisi mendadak." Lanjutnya.

Kalau dipikir-pikir benar juga sih. Si Putra kadang suka gak bisa ikut ngumpul seperti saat beli hadiah untuk Triana dan lain-lainnya.

Selama ini dia hanya bilang kalau ada hal mendadak yg membuatnya tidak bisa ikut dan belum pernah menjelaskannya sama sekali.

"Don, gimana kalau lu ikut gabung aja eskulnya bareng sama gue." Ajak Putra.

"Haah? Gue males put, kalau harus berkegiatan yg menyita waktu. Lu kan tau sendiri kalau gue lebih suka ngabisin waktu buat main game atau nonton anime, ketimbang melakukan hal-hal yg belum tentu gue suka." Bales gue.

"Tenang aja don, gak mungkin lah gue lupa kesukaan partner gue sendiri." Ujar Putra.

"Gimana kalau lu coba buat melihatnya sendiri, betapa asiknya eskul yg gue ikuti ini?" Ajak Putra lagi.

Gue berusaha keras bekelit untuk menolak ajakan si Putra. Namun lagi-lagi, dia terus saja merengek sambil menarik-narik lengan gue dan membuat beberapa anak kelas satu saling berbisik ketika melihat adegan ini, ketika mereka melintas didekat kami.

Menyebalkan sekali memang kelakuan si Putra kalau sudah ada maunya. Gue pun akhirnya terpaksa mengikutinya, karena gue gak mau bikin murid-murid lain salah paham dan digosipin kalau gue penyuka sesama jenis.

Gue mengekori langkah Putra menuju ke tempat eskulnya yg gue sendiri pun gak tau apa namanya, karena gue gak sempat bertanya tadi.

Lagi pula gak penting juga apa nama eskul yg dia geluti sekarang. Toh, kemungkinan besar gue akan menolaknya dan kembali untuk melestarikan eskul SUJ gue itu sendirian.

Kami berjalan hingga belakang ke sekolah, dimana area itu adalah area gedung bangunan lama yg biasanya dijadikan tempat eskul-eskul minoritas dengan anggota minim.

Akhirnya kami sampai di tujuan. Kami tiba didepan sebuah pintu dengan papan nama bertuliskan 'Ekstrakurikuler kebudayaan jepang'.

Hah?

Gue gak salah lihat nih?

Sejak kapan si Putra tertarik sama bidang kebudayaan?

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Buat yg sudah mampir, semoga terhibur dengan ceritanya.

Dibantu vote, share dan komennya juga ya.

Terima kasih :)

My Highschool Story : Next StepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang