06. DAKON

517 41 1
                                    

**vote sebelum membaca!
**Selamat membaca sobat^^

Udara segar menyeruak, terseruput sampai masuk ke lubang hidung Tima. Dari dalam, wanita itu tengah menyaksikan siaran televisi lokal yang mempertontonkan acara pencarian bakat dangdut. Jam-jam ini sudah tidak ada siaran menarik lagi semenjak film bioskop resmi tidak diizinkan tayang karena menyalahi aturan. Jadilah Tima kini sendiri di kamarnya yang masih apek karena sisa bekas pel masih ada di sana.

Siaran TV macam apa ini? Nggak ada channel yang bagus apa? Semua isinya berita. Dah beritanya serem-serem lagi. Mana ada yang rela nonton berita kasus-kasus pembunuhan dan pemerkosaan malam-malam begini? Apa enggak serem? Lebih baik aku nonton acara dangdut!

Tima mengganti channel televisinya.
Acara dangdut sama saja ya, ternyata?

Tima mendadak mengernyit heran. Hei! Kenapa mendadak buram seperti ini? Tima menghela napas. Gadis itu hanya ingin menoton televisi dengan tenang. Entah kenapa Tima sangat lelah karena seharian ini ia harus urus barang-barang bahkan urus surat-surat perizinan RT agar boleh menempati indekos ini.

Tima segera ke dapur, kemudian mendidihkan air dari panci besar satu-satunya yang ia miliki. Ia kemudian membuka satu bungkus coklat bubuk. Setelah air mendidih, barulah coklat itu dituangkan dan Tima agak merasa tenang. Huh, dingin banget sih hawanya!

Sementara di luar turun rintik dari langit dengan perlahan. Membuat katak bersuara nyaring, sepi. Nyanyian katak bahkan sampai masuk ke gendang telinga Tima. Rintik air hujan turun, istilahnya gerimis.

Walau sepi dan tak ada kendaraan yang lalu lalang, tampak dari jendela sekitar 3 orang anak kecil sedang bermain di pos kamling.

Tima tersenyum. Ini kesempatan yang baik untuk mengenalkan dirinya kepada warga desa. Istilahnya ngeakrapi. Tima lumayan suka anak-anak. Pikirnya daripada bosan dengan TV gresek-gresek di rumah ini. Apalagi enggak sama sekali ada sinyal. Mendadak aku ingin ikutan main, deh! Aaaa, imut banget si anak-anak itu! Gimana, ya? Ambil payung, dah! Matikan TV dulu, terus cepet-cepet ke sana! Daripada ngurusin TV brengsek ini! BOSAN BANGET!

Tima langsung mematikan televisinya. Setelah itu ia mengambil payung hijau polkadot yang masih ia letakkan di balik pintu rumah. Segera mungkin langkah kakinya beranjak ke anak-anak itu.

Sesampainya di sana, Tima masih ragu apakah ia harus ikut atau tidak. Bukannya tak ingin main, tapi bersama anak-anak ini? Bagaimana caraku berkenalan dengan mereka?

Tima bergumam. Tak disangka malah terdengar di telinga anak-anak itu. Tima yang asik nonton anak-anak bermain langsung terkesiap. Matanya mendelik ketika leher anak-anak itu memutar—menatap ke arah Tima dengan tatapan tak mengerti.

Tima cengengesan seakan memberi isyarat ingin ikut bermain dengan mereka. Anak-anak itu masih melirik ke arah Tima. Pandangannya masih ling-lung. Mungkin dipikirannya, mengapa ada mak-mak datang ke area bermain anak-anak? Itu mungkin saja! Probably.

"Bo-boleh Kakak lihat kalian bemain?" Tima mengerucutkan bibir kecilnya.

Salah satu dari anak itu menjawab. "Kakak kan sudah tua?"

Dalam batinnya Tima menggerutu. Apa aku setua itu?

"Iya, Kakak kan udah guede! Masa main sama anak-anak, sih?" balas Pardjo.

Pipi Tima mendadak merah. Benar juga, ya?

"Benar kan, Kak?" sahut Shinta.

"Adik-adik tercinta ... Kakak enggak setua itu, kok! Kakak masih muda. Masih kepala dua puluh, Sayang!"

Andong Pocong : Story About Ibu Kos (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang