09. Murka Adam

415 35 0
                                    

Vote, share, komen, sebelum baca!
Happy reading!

~•~

Kebetulan Tima dan Noor ikut kelas pagi. Jam kuliah berakhir pukul 12.00. Sudah tersusun list (jadwal) apa-apa saja yang harus disiapkan di sebuah lembar kertas HVS. Mereka harus menyiapkan semuanya hari ini.

Noor bebas ke mana saja sekarang. Asal ia harus izin ke ayahnya terlebih dahulu. Ibunya telah tiada sepuluh tahun yang lalu. Ini yang membuat ayahnya kini enggan tinggal bersama Noor lagi karena merasa Noor sudah dewasa. Lagi pula Ibu Tiri Noor juga tak setuju bila Noor harus tinggal bersama ayahnya. Kini mereka bahagia merawat buah hatinya yang sudah menginjak usia lima tahun. Barusan saja anak itu didaftarkan ke Taman Kanak-kanak.

"Kamu beneran mau lakuin ini?" Tima mengernyit keheranan melihat Noor mengemas pakaiannya dari lemari besar di indekosnya yang sekarang.

Noor mengembuskan napas. "Kan aku sudah pernah bilang, aku mau bantu kamu."

"Kata Bu Siti, lakukanlah pekerjaan yang beresiko dengan banyak pertimbangan. Kalau kamu enggak bantu juga enggak apa kok. Aku masih bisa sendirian," tampik Tima.

Noor meletakkan pakaian yang dipegangnya, kemudian menghela. "Terkadang nasihat dari Bu Sitimu itu memang benar. Tapi bagaimana mungkin aku tidak membantu sahabatku yang sedang dalam masalah? Manusia adalah makhluk sosial. Dan manusia membutuhkan sesama manusia lain. Istilahnya kita harus saling membantu. Apalagi kita bersahabat, kan? Aku akan membantumu mencari tahu, mengapa desa yang kau tinggali itu sangat aneh?"

Mata Tima berkaca, melepas bulir air yang sudah tak tertahan. Tak butuh waktu lama, Tima merangkul badan Noor sangat kuat.

"Kau benar-benar sahabatku. Ku harap kau tidak akan pernah mengkhianatiku! Ku harap kau adalah teman selamanya dalam hidupku!"

Noor melebarkan bibirnya yang merah, kemudian mengalirkan air mata yang menetes sampai membasahi wajah tirusnya.

"Bagaimana jika kita mengakhiri tangisan ini dan membantu aku merapikan pakaian?" Noor mengangkat satu alisnya.

Tima mengambil leging milik Noor, kemudian terkekeh bersama.

Tima merasa ada yang bergetar di sakunya. Seperti menggelitik. Segera mungkin ia menjulurkan tangannya, melihat apa yang ada di sakunya. Setelah dicek, itu adalah ponsel Tima. Sengaja tak menyalakan dering ponsel dan membisukannya karena khawatir menganggu aktivitas kuliahnya tadi.

"Anyway, who called you?" tanya Noor mengernyit heran.

Tima menatap mata Noor, membisikkan sesuatu. "Adam!"

Noor mengangguk. Ia mengerti Tima harus menjawab telepon itu.

Tima keluar mencari tempat yang sepi. Bagaimanapun itu, hubungan mereka adalah privasi. Well, sebenarnya Noor juga harus tahu. Namun karena Tima lebih suka berbicara berdua saja, biasanya ia akan menceritakannya setelah telpon.

"Adam, apa yang kamu lakukan?" tanya Tima menyempitkan matanya.

"Masa telpon enggak boleh, sih?" balas Adam langsung munyun.

Tima gelagapan. "Ya-ya boleh. Tapi ada apa, toh?"

"Cuma mau bilang, aku rindu! Hahaha!"

Pipi Tima memerah, lalu tersenyum candu. "Rindu karena enggak ketemu aku, ya? Adam, hari ini kan kamu juga harus kuliah. Masa kamu bolos, sih? Anak UNAIR kok enggak rajin hahaha. Apa kata dosen nanti?"

Adam tertunduk malu. Pipinya ikut merah. "Jangan kegeeran ya, aku enggak kangen kamu kok! Aku tadi cuma mau lihat reaksi kamu. Cuma mau ngetes. Pasti langsung senyum-senyum sendiri kan kamu di sana?"

Andong Pocong : Story About Ibu Kos (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang