16. Butik

338 25 0
                                    

Vote sebelum baca!
Mulai penyelidikan!

~•~

"Jika memang benar ceritanya sama persis seperti yang engkau ceritakan maka cerita ini ada hubungannya dengan Bu Zul pemilik indekos ini. Benarkah begitu? Actually, aku tidak mau berburuk sangka. Namun alam bawah sadarmu akhir-akhir ini membawa kita ke jalan di mana kita berusaha mencari teka-teki itu sekarang." Noor memandangi Tima dengan wajah yang mengernyit.

"Kematian semakin mendekati warga desa. Jika kita tidak bertindak, arwah gentayangan itu akan membuat kita dan seluruh warga mati! Selama ini, aku tak pernah melihat ada keanehan dalam diri Bu Zul!" kekal Tima.

"Apakah wajahnya yang menyeramkan itu tak membuatmu curiga, Tima?" debat Noor.

Tima memajukan kepalanya sembari mengernyit. "Aku ragu. Mungkin saja. Namun setelah melihat perlakuan baiknya kepada kita, apakah patut kita mencurigainya?"

Noor tersenyum sinis. "Sebuah mangga yang terlihat bagus dari luar, belum tentu dalamnya tak ada ulat. Artinya, ketika kita melihat orang lain dengan sikap yang baik, belum tentu ia berhati baik juga, kan?"

"Sikap pesimismu itu belum bisa aku terima. Aku jadi tidak enak kepada beliau."

"Justru jangan terlalu percaya orang, Tima. Kita bahkan tidak akan pernah tau orang terdekat kita yang ingin menjatuhkan kita." Tima tak menjawab. Hening sementara waktu. "Hah! Aku punya ide!"

Tima mengernyit. "Ide apa?"

"Kita selidiki Bu Zul!"

"Kau gila, Noor? Apakah sopan mengintrogasi orang yang belum tentu bersalah?"

"Jika tidak ada usaha, kau mau satu persatu warga mati di tangan Andong Pocong itu?" Noor menatap Tima dengan percaya diri. Matanya tajam bak busur panah.

Tima meneguk salivanya.

Noor menatap Tima dengan mata berkaca. Berharap Tima mempercayainya sekali saja. "Demi kebaikan semua, Tima."

Tima mengangguk. Kemudian mengembuskan napas pasrah. Disambut secercah senyum harapan dari Noor.

Perdebatan panjang ini menutup malam yang cerah. Bertemankan sayup angin malam yang menggelitik dan dinginnya udara, membuat mereka tersadar hari semakin malam. Sudah pukul 20.00. Mata keduanya mulai menyempit. Kirap-kirap sepat. Aungan panjang dari mulut mereka mulai bersautan. Sebagai tanda hari-hari yang melelahkan.

"Besok harus kita lanjutkan ke butik itu! Aku yakin butik itu masih beroprasi sampai detik ini!"

~*~

Embun memercik bintik-bintik air di dedaunan. Dingin menyelimuti Desa Urban. Udaranya perlahan merayap melalui selip-selip pintu. Memecah kehangatan. Meraba kulit-kulit dengan pori-pori yang merekah.

Hari ini mungkin akan ditandai dengan bab pencarian terbaru terkait kematian beberapa warga desa. Kematian yang sangat aneh bagi beberapa orang awam. Pencarian itu akan berlanjut. Tima seharusnya tahu, bagaimana cara ia bersikap saat ini.

Tima terbangun dari tidurnya dengan rambut yang terurai basah bak disemprot semprotan burung. Wajahnya pucat seperti kertas. Mungkin karena beberapa hari ini Tima banyak memikirkan kehidupan dunia yang kian tidak pasti.

Hari ini Tima meminta izin kepada dosen dengan alasan sakit. Mungkin dosen akan mentolerir jika keadaannya benar-benar sakit. Karena jika tiga kali saja ada predikat "A" yang tersemat maka dosen tak akan segan tidak meluluskannya.

Tima mengambil ponselnya, kemudian merotasikan matanya ke arah ponsel itu. Tak ada notif terlalu penting. Hanya dua panggilan tak terjawab dari Adam. Apa urusannya sekarang ia menghubungiku? Ke mana saja dia saat aku membutuhkannya. Bahkan sekedar menjenguk saja tidak.

Andong Pocong : Story About Ibu Kos (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang