15. Perjalanan

335 18 0
                                    

AAARKG!!

Jeritan itu menembus gendang telinga Noor yang masih mengenakan piama ungu miliknya. Segera Noor beranjak dari tempat tidurnya meninggalkan kasur yang belum tertata rapi. Noor yang penasaran langsung membuka pintu rumah.

Baru dua langkah keluar rumah, mata Noor terbelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan. Tima menutup wajahnya. Duduk sambil memeluk kedua lututnya. Setetes demi setetes keringat membasahi rambut-rambutnya.

"TIMA!!" Noor menyapa gadis itu.

Tima melirik wajah sahabatnya itu sebentar. Kemudian air matanya merembes, menyembunyikan sejuta lara.

Noor kemudian mendekati gadis itu. Tangan kanannya mulai menyentuh pundak sang sahabat. Lagi-lagi Tima hanya melirik wajah sahabatnya itu, tak dapat berkata.

"Da-darah!" Tima terbata-bata.

"Da-darah?" Noor mengernyit keheranan sebelum akhirnya menyadari sesuatu.

Ya, amis sekali. Pagi ini rasanya sudah tercemar. Noor baru saja menggenapkan nyawanya. Perlahan, Noor merotasikan matanya, melihat sekeliling rumahnya. Ia baru sadar berceceran darah segar di sekelilingnya. Bercak ini tersebar di setiap sudut indekos. Bagaimana ini bisa terjadi? Noor heran dalam batinnya.

"Ini biasa terjadi. Pasti ada santet atau guna-guna di sekitar sini. Hati-hati, Tima!" Noor sekali lagi menyentuh pundak gadis itu. Mencoba membuatnya tenang.

"Noor, kau tak paham!! Se-semua ini terjadi begitu cepat!" tampik Tima.

"Aku tau ini sulit, ta—" Tima tiba-tiba menyela Noor.

"Malam itu aku melihatnya!! Ma-malam itu!" Gigi-gigi Tima bergemetar.

"Tenang, Tima! Tenang!!!" Noor menyisir rambut sahabatnya. "Coba tarik napas, ceritakan!"

Tima menarik napasnya. "Malam itu, ketika aku sedang bersantai. Suasana tampak berkabut. Malam terasa panas hingga aku berkeringat. Aku melihat dia!! Melihat kuda itu! Kuda hitam. Entah apa warnanya, aku tak melihatnya jelas. Aku masih ingat bagaimana entakan kakinya. Membuat telingaku sakit!! Noor, tolong beritahu aku. Aku melihat seorang wanita agak gemuk di sana! Aku takut. Aku takut Andong Pocong! Aku takut mereka Andong Pocong yang sempat ditakutkan masyarakat kala itu. A-aku tak siap mati! A-AKU TAK INGIN MATI!!"

Noor menabok pipi Tima pelan. "TIMA, SADAR!! KAU TAK AKAN MATI HANYA KARENA BERTEMU KUDA ITU! Mungkin ada yang beternak kuda di sini!! Bukankah itu mungkin?"

"NOOR, KAU PAHAM TIDAK DENGAN APA YANG AKU BICARAKAN? KAU BICARA INI ITU, MENENANGKANKU SEAKAN KAU PELAKU DI BALIK SEMUA INI! AKU MERAGUKAN JIKA KAU BENAR-BENAR PUNYA KEISTIMEWAAN. BAHKAN AKU SUDAH MEMPERCAYAIMU! TAPI APA? KAU TIDAK MEMPERCAYAIKU SAMA SEKALI!!" Tima meninggikan suaranya.

Noor meneguk salivanya. Noor kemudian menarik napas. Berusaha mengendalikan pikirannya. Noor tahu, Tima pasti sedang tidak baik-baik saja saat ini makanya dia bersikap tak jernih.

"Tima, aku selalu berusaha mempercayaimu. Maaf jika aku berbuat salah. Tolong sekarang berpikirlah jernih, Tima! Aku tak ingin kau seperti ini!!" seru Noor.

Tima menatap wajah Noor dengan berkaca-kaca. Matanya mulai mengeluarkan bulir air mata. Tima memeluk sahabatnya itu. "Maaf."

Tima melepas pelukan itu. Ia kemudian berdiri. Menarik napas sebentar. Tima merotasikan matanya menuju rumah Bu Zul.

Tima langsung bergerak. Dengan cepat ia masuk halaman rumah ibu kosnya. Tima terperanga ketika melihat sebuah kepala kuda dengan tali yang masih terikat. Mata kuda itu melotot masih mengalirkan darah segar. Mulut kuda itu mangap. Seperti kesakitan. Bulu-bulunya yang hitam mulai rontok bersama darah yang mulai mengering. Mengenaskan. Tima menjerit sejadi-jadinya.

Andong Pocong : Story About Ibu Kos (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang