11. Teror Indekos

370 30 0
                                    

Noor masih menyoroti bingkai foto itu. Lamunannya buyar ketika suara bising menyeruak gendang telinganya. Sebuah mangkok bergambar ayam merah dengan buah-buahan segar kini berceceran di lantai. Es campur itu tumpah menyisakan sirup warna merah yang menghiasi ubin-ubin warna putih dengan ornamen polkadot.

Astaga! Noor menyayangkan hal ini. Noor merotasikan matanya ke arah Tima yang sedang tersenyum tipis. OMG sahabatku tercintee!

Tima menatap Noor yang keheranan. Kemudian merotasikan matanya ke arah Bu Zul yang tersenyum sadis. Langsung saja wajah Bu Zul mengkerut. Memoles mimik bosan di setiap pori-porinya.

"Maaf!" Tima tertunduk.

"Tima!" Bu Zul menarik napas panjang. "PERGI DARI SINI!"

Terguncang lah dada gadis itu. Tima memegangi dadanya yang sesak karena nada tinggi itu.

Noor dengan cepat mengalihkan topik. "Emm, ma-maaf, Bu. Teman saya agak ceroboh. Saya minta maaf atas—"

Bu Zul memotong. "Stop! Sampai kapan kamu harus meminta maaf atas nama dia?! Tima harus bertanggung jawab! Dia harus pergi dari rumah saya, sekarang juga!"

Noor menarik napas panjang. Kemudian merotasikan matanya menatap Tima. Noor mengangguk-ngangguk tanda ia harus menuruti permintaan Ibu Kosnya itu.

Tima menghela. Benar kata mereka, aku harus keluar!

Tima menempatkan kedua telapak tanganya di sofa, kemudian mulai berdiri. Rasanya tidak enak kalau harus membersihkan lantai di hadapan Ibu Kosnya itu sekarang.

Tima menyentuh pundak Noor. Agak sedih memang. Wajahnya tertunduk dengan bulir-bulir keringat yang menetes banyak. "Noor, aku tunggu di rumah, ya?"

Noor mengangguk. Tak tahu harus mengatakan apa ke sahabatnya itu. Kasihan sih, tapi dia juga salah. Seandainya dia tidak ceroboh!

Segera setelahnya Tima melangkahkan kakinya keluar rumah Bu Zul dengan tertunduk lesu. Tangannya mengepal membawa beberapa bekas sirup yang menetes sepanjang jalan.

Bu Zul menatap Tima sedetik sebelum keluar. Kemudian melanjutkan pembicaraan. Wajahnya masih memerah. Namun ia harus profesional di hadapan tamunya yang ingin menyewa rumah. "Bagaimana Noor, siap untuk pindah hari ini?"

Noor mengangguk.

Sore ini adalah sore-sore tropis yang panas seperti biasa. Suhu 36 derajat mungkin cukup panas dan berat untuk seseorang yang baru saja mengusung barang-barang dengan bantuan truk dan becak.

Matahari mulai turun dari pangkuan pertiwi. Langit mulai tamaram. Untung saja barang-barang Noor telah diangkut tukang dan selesai dibereskan pukul 17.00 tadi. Noor mengembuskan napas panas. Keringatnya tak henti-henti turun membasahi baju sweater putih yang ia kenakan. Untung saja bahan bajunya menyerap keringat.

Noor kini berdiri di luar menatap indekos baru miliknya. Terhanyut beberapa menit oleh suara adzan magrib dan angin semilir yang mengibas pelan rambut tipisnya, kemudian menyapu dedaunan yang gugur secara alami.

"NOOR!"

Noor mengenal suara teriakan itu. Tetangganya Tima, keluar membawa dua cangkir sirup rasa melon. Ya, hari-hari yang melelahkan. Noor merotasikan lehernya ke arah Tima yang sedang berjalan ke arahnya. Kemudian tersenyum hangat. Entahlah, Noor hari ini memiliki firasat yang baik. Mungkin ini awalan yang baik untuk pindah rumah.

"Ayo masuk!" Tangan kanan Tima menggelayut telapak tangan Noor. Sementara tangan kirinya membawa nampan es.

Noor menarik napas panjang. Kemudian mengangguk, menuruti perkataan sahabatnya.

Andong Pocong : Story About Ibu Kos (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang