20. Petunjuk Berikutnya

264 21 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 07.00. Burung-burung gereja mulai hinggap sana-sani. Begitupun dengan ayam betina milik tetangga, terpantau sedang punya acara besar. Berkotek sana-sini membuat kebisingan. Sementara si jantan, berkokok dengan gagahnya.

Tima menutup telinganya. Ia terbangun, tapi matanya memaksanya untuk terus tidur. Ia tak tenang dengan suara-suara itu. Tampaknya masih mengantuk.

Gembor drum membuatnya tersentak. Mendadak matanya melek. Kantuknya sedikit demi sedikit hilang. Semakin ia menutup telinganya, semakin keras suara drum itu. Tima mulai mengumpulkan nyawanya. Ini bukan sahur, kan?

Di Sidoarjo tradisi membangunkan orang sahur masih ada. Tapi yang anehnya, ini bukan tentang sahur. Bulan puasa masih tujuh bulan lagi.

Tima mulai beranjak dari tempat tidurnya. Ada keramaian apa ini?

Tima mulai merasakan hal aneh ketika menyadari bahwa kamar yang ia tempati seperti bukan kamarnya. Ia mendelik terkejut. Ha? Ini benar kamarku?

Tima terkejut ketika melihat banyak sekali poster coboy di kamarnya. Padahal Tima sudah meminta Bu Zul untuk merapikan kamarnya saat baru pertama kali pindah. Bukankah aku telah mengganti poster-poster ini dengan poster boneka teddy? Mengapa poster coboy ini kembali lagi?

Tima tak habis pikir. Dengan cepat ia mengganti pakaiannya. Berharap ini bukan kejadian aneh lagi untuk kesekian kalinya.

Tima mengenakan baju kebaya putih yang ia ambil dari lemari Adam. Bahkan Tima sangat terkejut begitu menyadarinya. Ia tak berniat sama sekali memakai baju kebaya itu. Untuk apa Tima harus memakai pakaian lama yang telah usang tersebut?

Tima tak dapat melepas pakaian itu dari tubuhnya. Susah sekali. Bahkan semakin Tima ingin membuka pakaian itu, semakin ketat pula rasanya. Melilit di badan Tima dan menyekiknya. Tima tak berharap hidupnya akan berakhir hanya karena kebaya. Ia harus meminta bantuan Noor di luar!

Segera Tima pergi ke luar. Semakin dekat dengan pintu semakin bising. Begitu daun pintu itu dibuka, cahaya langsung menyilaukan pandangannya. Ini cahaya apa?

Tima terkesiap begitu melihat keramaian di sekitar rumahnya. Warga desa berkumpul di depan. Dan apa yang Tima lihat? Itu Bu Zul dan Bu Sum, bukan? Mereka memakai kebaya merah yang seragam. Asyik sekali mereka ngobrol dengan canda tawanya.

Tima melihat warga memakai pakaian batik yang unik-unik. Rata-rata dari mereka mengenakan produk daerahnya, batik udang bandeng asal Sidoarjo. Beberapa dari mereka memakai batik coklat random, dan terpantau dua orang mengenakan motif mega mendung. Ini seperti sebuah pesta pernikahan. Atau ya ... tentu saja warga berniat untuk kondangan. Tapi, mana teropnya?

Tima menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tak berselang lama muncul rintihan kuda. Dari jauh terdengar suara loncengnya juga. Tapak kakinya semakin lama semakin terdengar. Saat itu pula tiba-tiba kabut muncul.

Sembari menunggu kuda-kuda itu datang, Tima sempat melirik tempat kos Noor. Dan anehnya, kos Noor tidak ada. Hanya tanah kosong dan belum ada bangunan sama sekali. Jika kosnya tidak ada, lalu Noor ke mana? Bagaimana bisa kos itu lenyap hanya dalam waktu sehari?

Tubuh Tima gemetar. Tangannya dingin. Jantungnya tiap detik memompa dengan cepat. Napasnya pun tiap detik tak berhenti. Ini sudah benar-benar aneh. Dan Tima sendirian. Bagaimana ia bisa melewati ini?

Semakin keras dan lebih keras lagi. Sampai akhirnya kuda itu benar-benar terlihat di depan matanya. Tima semakin menyadari bahwa ternyata tak hanya kuda yang datang, tapi juga kereta kuda! Pantas saja ada suara pecutan dan lonceng kuda yang sangat keras.

Bagai tersambar petir di siang bolong. Itu apa? Batin Tima.

Tima melihat sepasang pengantin datang dengan menaiki kereta kuda itu. Bahkan kereta kudanya pun telah dihias dengan bunga-bunga melati yang tersebar di setiap sudutnya. Itu sangat meyakinkan Tima. Mereka yang dilihatnya itu ... tak salah lagi, Herry dan Lila!

Andong Pocong : Story About Ibu Kos (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang