"Menurut saya Abah itu sebagai orang tua mendidik anaknya secara langsung mendorong untuk lemah. Misalkan saja ketika disakiti sama orang, harus diam saja jangan dibalas. Tapi dari sudut pandang saya itu adalah kekuatan yang sebenarnya. Terbukti meski di mata orang-orang anaknya lemah dan dianggap kurang beruntung, nyatanya kami masih baik-baik saja bahkan lebih bahagia dari mereka yang katanya punya segalanya. Karena kami dididik untuk banyak bersyukur."
Begitu kata Siti saat ditanya oleh keponakannya.
Rie terdiam seketika, menyilakan pikirannya untuk mencerna kalimat dari buliknya itu.
Rie menyadari satu hal bahwa memang benar, benar sekali. Kebanyakan orang mengira, diam adalah lemah, diam adalah tak ada tindakan, diam adalah pilihan terburuk yang dianggap oleh beberapa orang terutama ketika seseorang sedang ditindas oleh yang lainnya. Namun kali ini kata-kata buliknya membuatnya sadar. Tidak semua sikap buruk dibalas dengan sikap buruk. Keburukan mesti dibalas dengan kebaikan. Dan jika memang kita tidak kuat membalas dengan kebaikan, maka lebih baik diam.
"Abah sabar banget ternyata ya Bulik."
"Iya Rie."
"Abah selalu ngajarin kita anak-anaknya buat sabar dan ikhlas. Nggak peduli berapa banyak ujian yang menimpa di keluarga kami. Beliau selalu mengajarkan kita buat nrima, nrima, nrima. Aslinya Bulik juga sebal, tetapi Abah selalu mengingatkan untuk 'ssssssttttt, diam. Udah, (sendah) biarkan saja. Namanya orang, mesti beda-beda karakternya.' Itu kalimat yang selalu beliau katakan tiap kali anak-anaknya tidak terima diperlakukan begitu."
"Wah, Rie juga sering marah-marah kalau diperlakukan buruk Bulik," jawabnya setelah melihat ke dalam diri.
"Ya, makanya kita sebagai anak cucunya harus banyak belajar dari Abah. Karena satu dari 1000 di jaman sekarang sudah hampir punah orang-orang seperti Abah Rie."
Benarkah di muka bumi ini sudah tak ada lagi sosok orang yang terus membalas dengan kebaikan walau sudah diperlakukan buruk? Benarkah masih ada orang di dunia ini yang kuat untuk diam ketika dihina/dicemooh/dicaci maki? Benarkah di tempat yang dipijak nya saat ini masih ada segelintir orang yang seperti Abahnya itu?
Dengan sekejap kalimat-kalimat dari Buliknya membuat Rie membawa kepada bayangan-bayangan zaman sekarang terutama yang ada di sosmed. Orang-orang begitu gampang tersulut emosinya hanya karena satu dua kata. Persis seperti pentol korek. Sekali cros langsung murub. Di sana sini begitu penuh dengan ujaran-ujaran kebencian. Jika ada hal-hal baik dikira sombong dan pamer, jika ada hal-hal tentang keburukan disangka tak tau malu. Serba salah!
Jika dilihat-lihat, Rie mulai percaya pada Buliknya. Memang sudah jarang sekali Rie menemukan orang yang sabar seperti Abah. Bahkan bisa dibilang belum pernah melihat.
Ingatannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ketika ingatannya berkunjung ke masa-masa SD, SMP, mungkin banyak temannya yang pendiam. Namun ketika diperlakukan buruk, mereka juga membalasnya dengan perlakuan yang sama. Contohnya saja ketika temannya yang bernama Ian, Ian dibully oleh Dede dan teman-temannya. Awalnya Ian diam, namun lama kelamaan kesabarannya telah habis. Ian pun memukul Dede dengan keras hingga hidungnya berdarah. Akhirnya mereka pun di bawa ke ruangan guru. Rie membayangkan kemungkinan, kalau saja saat itu Ian diam, pasti mereka berdua takkan pernah dibawa ke ruang guru dan diberi hukuman. Tetapi mau bagaimana lagi? Ian juga tidak salah dalam hal ini.
Pun ketika ingatannya bertandang ke SMK, wuuuaahh itu apalagi. Teman-temannya kebanyakan ingin menang sendiri. Jarang ada yang pendiam. Paling dirinya dan beberapa lainnya. Contohnya saja seperti Yuni, Yuni memang terkenal yang paling pintar di kelas bahkan di sekolah, aktif banyak organisasi, dan selalu rangking. Namun suatu ketika, Yuni dipanas-panasin kalau dirinya sudah dikalahkan oleh temanku yang lain dalam hal rangking kelas. Karena Yuni tak terima, akhirnya mereka pun cekcok sampai berkelahi. Coba saja jika salah satu ada yang sabar dan mengalah, mungkin masalahnya tidak akan sebesar itu.
Kemudian di masa-masa kuliah ini? Dia belum pernah bertemu dengan teman-temannya satu pun. Padahal sudah berjalan dua semester ini. Tetapi karena pandemi, akhirnya kuliahnya online dan belum pernah bertatap muka sama sekali.
Rie terus menatap Buliknya. Wajah tegasnya yang berbalut selendang putih di kepalanya, memancarkan aura tak biasa. Caranya berbicara juga sangat berenergi. Matanya pun memancarkan energi serupa. Posisi duduk dengan posisi seperti tahiyat akhir itu memberinya kesan berwibawa. Meskipun Bulik Siti bukan siapa-siapa.
Dalam batin Rie, dia merasa bahwa mata bisa menunjukkan seberapa banyak pengalaman kita. Dari pancaran mata bisa menunjukkan apa saja yang pernah dilalui seseorang. Dari mata pula, kita bisa mengintip hati seseorang. Karena mata adalah pintu untuk melihat ke dalam hati. Mata memberi kita ruang kisi-kisi untuk memahami apa yang hati kita rasakan, pikirnya saat itu.
"Kamu kenapa liatin Bulik kayak gitu?" tanya Siti yang menangkap basah keponakannya itu.
"Cerita tentang Abah lagi dong Bulik," pintanya sambil memasang wajah memelas.
Siti menatap ke sekitar, beberapa orang berlalu lalang keluar masuk ke rumahnya. Seluruh keluarga besar berkumpul di sana.
"Ceritanya nanti lagi aja ya, Bulik mau bantu-bantu di dapur," ucapnya seraya beranjak.
"Yaaaahhhhh," bahunya seketika merosot. Menatap punggung Buliknya yang hilang dibalik pintu ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...