Bab 16

11 5 0
                                    

Pur masih belum melupakan kekesalannya pada ibunya. Perkataan yang berisi kalimat membandingkan itu terus saja terngiang-ngiang di telinganya sampai ia kesulitan tidur. Pikirannya porak poranda akibat kemasukan omongan dari mamaknya.

"Pur bangun," suara Mamaknya menyaingi kokok ayam tetangga di waktu subuh.

Pur tak peduli akan panggilan dari mamaknya. Telinganya malah ditangkupkan dengan bantal. Wajahnya ditutup selimut. Ia kembali ke mimpi indahnya.

"Pur, bangun udah siang," teriak mamaknya lagi.

"Jam berapa sih Mak emangnya?" gumamnya sambil terus memejamkan mata.

Melihat Pur tidak keluar-keluar dari kamar, teriakannya semakin lantang, "Bantuin Mamak nyiapin makan buat ke sawah cepet."

"Pur masih ngantuk Mak."

Hidup di desa, terutama jika memiliki orang tua petani memang seperti itu. Pagi-pagi harus bangun dan menyiapkan makanan juga merebus air. Selama ditinggal pergi oleh kakaknya, Mun. Pur merasa sudah seperti babu saja di rumahnya sendiri. Apa-apa serba Pur, apa-apa serba Pur. Tidak ada kata lain selain Pur, Pur, dan Pur.

Sejenak dia merasa bukan seorang anak di rumahnya sendiri. Melainkan pembantu yang tidak digaji. Rasa tersiksa nya sudah seperti kerja rodi di jaman Belanda saja. Pur benar-benar benci kalau ada yang mengganggu tidurnya. Namun selama kakaknya pergi merantau, dia sudah seringkali bangun pagi-pagi walau terkadang harus dipaksa terlebih dahulu.

"Pur! Jangan bikin Mamak jengkel pagi-pagi. Cepet bangun!!!" sentak Aminah kepada anaknya yang tidak bangun-bangun itu.

"Kamu itu bukannya seperti kakakmu. Liat kalau yayumu di rumah. Dia subuh-subuh sudah bangun sebelum Mamak suruh."

Mata Pur langsung terbuka seketika. Kalimat-kalimat membandingkan dirinya dengan kakak sulungnya lagi-lagi keluar dari mulut mamaknya.

Pur lantas bangun dari tempat tidur dan bergegas ke dapur tanpa mengelap bekas ilernya terlebih dulu atau sebatas membereskan rambutnya yang seperti singa itu.

Aminah baru bungkam setelah Pur sudah keluar dan membantu memindahkan nasi dari panci ke bakul.

Pur langsung bangun bukan untuk menuruti perkataan mamaknya. Tapi lebih ke rasa jengkel karena lagi-lagi mamaknya membandingkan dirinya dengan kakaknya.

Hatinya terbakar tiap kali mendapat perlakuan seperti itu. Entah apa yang dipikiran oleh para orang tua. Apa yang didapatkannya ketika membandingkan anak mereka dengan anak lainnya. Apa mereka tidak tahu rasanya dibandingkan?

Beberapa anak mungkin akan menerima dan melupakannya begitu saja. Kemudian mereka akan berubah supaya tidak dibanding-bandingkan terus oleh orang tuanya. Tapi tidak dengan Pur, semakin ia dibandingkan, semakin terbakar hatinya. Semakin dibandingkan, semakin tumbuh benih-benih kebencian itu dalam dirinya.

Pur mengeduk nasi yang mengepul itu dengan tergesa-gesa. Tanpa diaduk terlebih dulu seperti yang dilakukan oleh mamaknya. Dengan suasana hatinya yang tidak baik, beberapa kali butir nasi jatuh di tanah. Bahkan banyak, sampai Aminah pun melihatnya.

"Kamu nggak becus banget sih. Itu tumpah-tumpah nasinya. Sana sana lah minggir. Itu gantiin celana adikmu yang habis ngompol sana," perintah Aminah pada anaknya yang pagi-pagi sudah membuat ulah.

Pur tak mau membuang wajah kusutnya itu. Dengan tangan yang malas untuk digerakkan, dirinya menggantikan celana yang basah dan bau itu dari kaki Nur.

Nur kecil hanya menatap polos kakaknya. Sambil pasrah kakinya digerak-gerakkan. Belum mengerti ekspresi yang sedang kakaknya tunjukkan. Belum paham, betapa sulitnya masalah yang sedang dihadapi kakaknya yang malang itu.

Dia pun meletakkan Nur kembali ke kasur. Dan membiarkannya tiduran lagi.

Beberapa menit setelah Aminah selesai mengerjakan semua pekerjaan di dapur, ia pun pergi ke kamarnya dan melihat pemandangan tidak mengenakkan di sana.

"Ya Allah Pur!" sentak Aminah untuk kesekian kalinya.

"Kenapa tidur lagi!!! Bangun!"

Pur benar-benar habis pagi itu, belum genap jam 6 pagi, ia sudah dimarahi berkali-kali.

Matanya yang tak bisa dikondisikan membuatnya terus diteriaki ibunya.

"Sana mandi, terus beres-beres. Jangan tidur lagi! Pamali perawan sudah bangun pagi-pagi terus tidur lagi."

Apa mau di kata? Pur harus memaksa tubuhnya untuk bangun, dan menyeret kakinya agar segera pergi ke kamar mandi. Tidak peduli seberapa berat matanya, ataupun seberapa besar pintu goa di mulutnya tiap kali menguap, ia harus menuruti semua kata-kata mamaknya kalau benar-benar tidak ingin dimarahi terus.

Sabar yang baru keluar dari ruang sholat, sambil memegang tasbih hijau berisi 100 butir bulatan kecil yang tertulis nama Allah dan Muhammad itu lantas merasa terganggu mendengar suara istrinya yang pagi-pagi sudah mengomel.

"Kenapa sih Bu. Pagi-pagi sudah rame," ucapnya sambil menaruh peci hitam di paku yang tertancap dalam tembok di ruang tengah.

"Itu anakmu. Susah sekali dibilangin!" sambil menunjuk ke arah Pur yang berjalan malas dengan kedua matanya.

Ketika Pur baru berpapasan dengan bapaknya. Kepalanya diusap oleh tangan kokoh Sabar.

Sebenarnya Pur tidak peduli, namun sentuhan dari bapaknya membuatnya lebih tenang. Hati yang berapi tadi tidak lagi berkobar. Seolah ada air salju di telapak tangan bapaknya. Mendinginkan hatinya seketika. Matanya pun mendadak lebih segar, tidak mengantuk lagi seperti sebelumnya.

Pur tahu, bapaknya memang terkesan tidak tegas. Tapi bapaknya tidak pernah sekalipun membandingkan dirinya dengan orang lain terutama kakaknya sendiri. Bapaknya juga tidak pernah memarahinya kalau dia melakukan kesalahan. Namun berbeda sekali dengan mamak, hampir saja Pur ingin berkata kasar kalau tidak bisa ditahannya. Lagi pula Pur sudah tahu beberapa umpatan kasar yang diajarkan oleh teman-teman laki-lakinya kalau sedang bermain. Tapi niatnya urung dilakukan, karena takut nanti mamaknya lebih lebih marah dari sebelumnya. Bisa-bisa dia dicap sebagai anak durhaka.

Beberapa saat setelah drama pagi rutinan selesai, Pur sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Bersiap memasuki gerbang kelas 5, babak baru, kelas baru, suasana baru namun dengan teman yang sama.

Liburannya kemarin tak seindah liburan-liburannya yang dulu. Jika dulu dua minggu ia habiskan full untuk bermain. Bermain karet, petak umpet, gelatik, gobak sodor, bangun-bangunan, patung-patungan, kejar-kejaran, selemperan, dan lain sebagainya. Tapi kemarin tidak satu hari pun liburannya digunakan untuk bermain. Semua full dihabiskan untuk momong adiknya.

Sudah berbulan-bulan ia ditinggal kakaknya, seharusnya Pur sudah terbiasa. Tapi entah mengapa semuanya masih terasa sulit, seperti baru pertama ditugasi dengan hal-hal yang baru baginya.

Seharusnya beberapa hal akan menjadi mudah ketika kita sudah terbiasa melakukannya. Tetapi prinsip itu tidak berlaku bagi Pur. Pur masih tetap Pur yang sama. Susah diatur dan susah dimintai tolong. Jika pun mau membantu, tak ketinggalan wajah kusutnya di bawa sampai pekerjaan yang ia lakukan selesai. Itu membuat Aminah tidak jarang memarahinya walau Pur sudah membantu. Aminah tidak suka, ketidakikhlasan yang terpancar di wajah anaknya itu tidak bisa diterima. Aminah ingin Pur membantunya dengan ikhlas, bukan dengan paksaan.

Pur yang tidak tahu maksud dari mamaknya itu jadi salah tangkap. Ia mengira bahwa mamaknya tidak adil. Padahal sudah dibantu, tapi tetap saja memarahinya. Lantas Pur membandingkan dirinya dengan kakaknya sendiri.

"Coba saja kalau Yayu Mun yang mengerjakan. Pasti tidak pernah dimarahi. Dia selalu benar. Tapi Aku selalu salah di mata Mamak!" gerutunya tiap kali dimarahi ibunya.

Lama kelamaan karena Pur sering dibanding-bandingkan dengan kakaknya, dia jadi sering membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Sampai Pur merasa semua orang tidak berlaku adil padanya. Dan dia cenderung melihat dirinya yang paling buruk.

Pur selalu merasa apa yang dilakukannya tak pernah benar di mata mamaknya. Sampai pada suatu ketika ia melakukan hal yang sama sekali di luar dugaan Sabar dan Aminah.

Pur malu saat itu, tapi dia juga tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Entah oleh sebab apa.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang