Bab 20

19 6 3
                                    

"Mba, sudah geh jangan bicarakan kejadian itu sama Rie. Malu Akunya," seru Ningsih kepada Siti yang tidak berhenti mengobrol dengan anaknya itu.

Rie dan Siti yang habis sembayang ashar masih melanjutkan obrolannya kembali. Karena saking semangat dan antusiasnya, Rie sampai tidak masuk kuliah dengan alasan ada keperluan keluarga di luar kota.

Memang betul sih. Tapi apakah cerita Buliknya itu begitu penting dari pada jam kuliahnya?

Siti tidak tahu kalau keponakannya itu membolos demi agar bisa berbincang dengannya. Bagi Rie, ini sama saja seperti kuliah. Tapi lebih seru karena langsung bertatap muka dengan orangnya. Daripada kuliah online yang entah membicarakan apa. Paling hanya mendengar suara putus-putus tidak jelas, membuat badmood saja. Jadi lebih baik Rie memilih tidur dengan mematikan kamera dan mic nya, tidak peduli dosen menyuruhnya untuk menyalakan kamera.

Ia benar-benar tidak suka pembelajaran model zoom dan sejenisnya, Rie ingin belajar secara langsung. Melihat gestur orang yang sedang bicara, menatap wajahnya yang terkadang menggebu-gebu saat menjelaskan kasus-kasus psikologi mengerikan, atau tiap kali mengorek kesalahan pemerintah, juga melihat gerak tangannya tiap kali berbicara. Bukan lewat kamera. Itu sangat membosankan. Terutama kalau susah sinyal!

"Dih, Mamah kenapa sih. Udah Bulik jangan dengerin Mamah. Lanjut lagi aja," pinta Rie memaksa.

"Jangan!!!"

"Bahas yang lain saja kalau mau ngobrol. Katanya dari tadi cerita tentang Abah. Ya udah tentang Abah aja. Jangan bawa-bawa Aku Mba."

"Yeee,,, sana geh. Mamah ke dapur aja. "

"Nggak mau. Pokoknya bahas yang lain dulu, baru Mamah pergi."

"Hm!" jawab Rie kesal.

Siti yang sedari tadi hanya menyaksikan ibu dan anak itu bertengkar, lantas senyum-senyum sendiri tidak jelas.

"Ternyata ada begitu banyak cinta dalam pertengkaran yah," gumamnya dalam hati.

Mata Siti kembali menatap muka masam Rie setelah ibunya pergi ke belakang. Terpancar beberapa kerut di keningnya.

"Hei?" sapa Siti kepada keponakannya yang beneran ngambek itu.

"Aku tuh males banget deh sama mamah."

"Kenapa?"

"Mamah tuh nggak mau ngalah, tiap kali berdebat dengan Rie. Harusnya kan orang tua selalu ngalah buat anaknya. Nggak pengertian banget jadi ibu!" ketusnya.

Siti tersenyum lembut, rambut-rambut di pelipisnya sedikit keluar karena selendang di kepalanya tak sempurna menempel menutupi kepala. Namun ia membiarkannya. Bahkan selendang putih itu lama kelamaan terangkat ke belakang sampai bagian rambut kepalanyanya terlihat banyak.

"Kamu marah sama mamahmu?" tanya Siti sambil menggodanya.

"Bukan marah lagi, kadang benci Aku tuh Bulik. Males deh jadinya."

"Hush, nggak boleh bilang gitu."

Siti tak menyangka, kemesraan yang terbalut pertengkaran yang dilihatnya tadi bukanlah tanda cinta. Pemandangan yang dianggapnya indah ternyata bukan seperti itu kenyataannya. Rie betulan memendam benih-benih kebencian dalam diri ibunya.

Ditatapnya remaja cantik dan anggun itu. Pipi mulus dan kulit putihnya membuat sebuah kemarahan tak pantas hinggap di wajahnya. Juga kecantikannya yang membuat siapapun senang memandangnya tak layak jika dalam hatinya tersimpan sampah yang bisa kapan saja membusuk.

Melihat gelagat keponakannya itu, ia teringat akan sesuatu. Bayangannya terbang ke masa lalu. Hinggap di ranting-ranting peristiwa saat masa remaja dulu. Apa yang sedang Rie alami, mungkin juga dialami oleh adiknya dulu.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang