Tidak peduli bagaimana cara senja berpamitan, yang paling penting adalah bagaimana rembulan bangkit di antara kegelapan.
Bukankah itu yang dilihat kala malam datang?
Langit begitu cerah dengan bertabur jutaan bintang gemintang. Bulan sabit yang hanya terlihat seiris tetap anggun menampakkan sinarnya.
Meski sore ini tampaknya akan menjadi malam yang gemilang, cahaya dan keramaian di cakrawala tak sebanding dengan cahaya yang terpancar di hati seorang gadis muda dan lugu yang baru saja mendatangi panggilan sang Kuasa.
Rie dan Bulik Siti sampai di Langgar ketika muadzin sedang melantunkan sholawat Jawa dengan merdunya.
Sebuah jenis sholawat yang boleh jadi baru di dengar Rie setelah hampir hidup 20 tahun ini.
Kedua kakinya melemah tepat ketika telapak kakinya menginjak ubin musholla. Lututnya yang selama perjalanan bergetar tak karuan, sekarang sedikit mereda. Napas yang sesekali sesak tak beralasan, sekarang sedikit bisa berhembus pelan.
Ia lalu duduk di barisan belakang para ibu-ibu dan beberapa remaja muda. Sambil malu-malu sesekali ia melirik ke sana ke mari. Para ibu ikut melantunkan sholawat yang sama yang sedang dilantunkan sang muadzin.
Ruangan yang tidak lebih luas dari halaman rumahnya di Solo itu membuat Rie bisa menatap dan melirik semua orang di dalamnya. Kecuali jamaah laki-laki karena terhalang tabir kain hijau yang membentang di tengah ruangan. Hanya ujung pecinya saja yang kelihatan.
Mendengar beberapa jamaah kompak ikut bersholawat seperti sang muadzin, Rie pun mau menirukan nya. Tapi ia tak hapal dengan liriknya. Maka ia hanya berdiam diri sambil memperhatikan dan meresapi nya dalam-dalam.
Gadis lugu yang berada tepat di samping buliknya itu benar-benar merasa seakan seperti seorang muallaf yang baru mau melaksanakan sholat saja.
Di liriknya ke sebelah kanan. Seorang perempuan kuat dengan hidung yang lebih mancung jika dilihat dari samping dengan berbalut mukenah putih polos yang ujung-ujungnya terdapat renda-renda itu sedang khusyuk merapalkan sholawat seperti yang lainnya juga.
Dalam batin Rie berpikir, Bulik juga hapal akan liriknya. Hanya dia saja yang tidak tahu.
Maka dengan wajah sedikit tertahan, ia tetap berusaha bersikap setenang dan sebiasa mungkin.
Di samping suara merdu khas kakek tua merapalkan tembang sholawat dengan lirik Jawa, di beberapa sudut di shof paling belakang, ada dua anak kecil yang sadari tadi asyik becanda. Berlarian ke sana ke mari sambil tertawa. Begitu bahagia seakan Langgar itu adalah lapangan bermainnya.
Sebenarnya Rie merasa sedikit terganggu, tapi ia berusaha menahannya. Namun ternyata, tidak lama setelah Rie berusaha menahan agar tidak menutup telinganya karena bising oleh gelak tawa mereka, tiba-tiba seorang ibu di depannya melirik ke belakang dan menangkap kedua bocah kecil itu dengan tatapan yang begitu dingin.
Rie terkejut ketika si ibu itu memarahi keduanya dengan suara yang tak kalah kencangnya. Hingga Bulik Siti yang sedari tadi sedang khusyuk memejamkan mata, akhirnya membuka mata dan melihat kejengkelan si ibu tersebut.
Bulik Siti pertama-tama melihat ke arah ibu tersebut lalu melirik ke arah kedua anak yang masih tidak mau berhenti becanda walau sudah dibentak oleh satu orang tua.
Agaknya tindakan seorang ibu tersebut tak mempengaruhi bocah-bocah itu sehingga seorang ibu ini pun terus mengomel dan memarahi siapa gerangan yang membawa kedua bocah kecil itu.
Namun, sebelum seorang ibu itu semakin naik pitam, Bulik Siti menengahinya lebih dulu.
"Sabar bu. Namanya juga anak kecil," ucap Siti dengan suara yang jauh lebih lirih.
Sang muadzin masih bersholawat untuk kesekian kalinya, entah sampai kapan kita menunggu imam datang, gerutu Rie dalam hati.
"Ya enggak dong Bu Siti. Ini kan bukan tempat becanda. Anak-anak bandel itu seharusnya dikasih pelajaran, biar nurut kalo dibilangin," jawab ibu itu tak mau kalah.
Mengetahui watak ibu tersebut, mau tidak mau Bulik Siti pun harus mengalah dan bungkam. Daripada urusannya semakin runyam.
"Tolong itu anak siapa si. Bawa pulang saja kalau ke sini bikin berisik seisi ruangan," perintah si ibu yang mengenakan mukenah putih dengan motif bunga-bunga warna-warni kecil di seluruh sisinya.
Mendengar suara ibu itu, seseorang dari belakang akhirnya menyomot salah satu bocil yang berusia sekitar 3-4 tahun itu lalu pergi sebelum iqomah menggema.
Para jamaah lain di sisi kanan kirinya tak ada satupun yang menggubris. Hanya Bulik Siti dan dirinya saja yang memperhatikan bagaimana si ibu itu mengomel.
Melihat pemandangan seperti itu, jiwa-jiwa psikologi Rie mulai muncul.
Rie pikir, ibu muda yang mengenakan mukenah pink yang membawa pergi salah satu anak kecil itu merasa tersinggung akan perkataan si ibu tersebut.
Pasalnya, wajahnya sangat kesal. Dan itu sangat terlihat. Pun cara dia meraih anaknya lalu di gendongnya keluar sedikit tidak lembut. Ditambah dengan bagaimana ia memakai sandal di teras Langgar, itu menunjukkan bahwa ia sangat terburu-buru dan menginginkan sesegera mungkin pergi dari sana.
Rie terus menatap ibu muda itu sampai hilang dari pandangannya sebelum kembali menghadap ke qiblat.
Melihat anak kecil dengan peci kupluk putih yang melekat di kepalanya itu terlihat begitu menggemaskan. Namun keimutan nya mendadak hilang karena ia menangis saat dipisah dengan teman bermainnya yang masih berada tidak jauh dari Rie.
Rie sekarang berganti memandang bocah kecil yang memakai kerudung kuning itu, dan tidak lama kemudian iqomah pun berkumandang.
Sebelum Rie mengangkat kedua tangannya untuk takbiratul ihram, ia berpikir sejenak sambil membayangkan drama yang disaksikannya beberapa saat lalu menjelang sholat berjamaah.
Ia baru melihat pemandangan seperti ini. Mau melerai, masih anak baru di situ. Mau menenangkan si bocah kecil supaya tidak berisik takut dibilang sok akrab. Jadi dia hanya bisa berdiam diri sambil menatap segala yang ada di depan matanya.
Tidak peduli suara imam sudah memimpin takbir, disusul dengan takbiratul ihram buliknya dan jamaah lain, Rie masih saja berkutat dengan pikirannya yang absurd.
Entah mengapa, ia selalu memikirkan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Walau kejadian itu tidak melibatkannya sama sekali. Tapi Rie merasa terikat dengan semuanya.
Rie merasa masuk dalam pusaran energi itu. Meski ia bukan siapa-siapa di sana, tetaplah. Perasaan seseorang yang hanya menyaksikan juga ikut terlibat di dalamnya.
Atas apa yang dilihatnya beberapa menit yang lalu, membuat Rie mempunyai pandangan baru. Sebuah peristiwa yang boleh jadi biasa saja di mata mereka, tapi tak biasa bagi dirinya.
Rie tidak bermaksud menyalahkan siapapun, tapi melihat sikap seorang ibu muda yang mengambil anaknya dengan paksa lalu pergi begitu saja tanpa sholat berjamaah terlebih dahulu membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Entah apa yang terjadi.
Rie tidak suka dengan cara orang yang menegur orang lain tapi membuat salah satu pihak tersinggung. Baginya ini suatu tindakan yang keliru.
Bukankah kebaikan di atas segalanya? Urusan berkata benar atau salah itu urutan sekian. Yang paling penting adalah bagaimana supaya cara menyampaikan kebenaran itu baik dan bisa diterima.
Begitu saja yang ada di pikirannya. Sampai tidak terasa imam mengucap,
"Allahu Akbar"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
Ficção Geral[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...