Salah satu bulan yang dinanti-nanti oleh anak-anak di desa adalah ketika bulan Ramadhan tiba. Begitu ramai dan sumringah nya para bocah menyambut bulan yang suci itu. Pagi sekitar jam 5 mereka jogging beramai-ramai mengitari jalan raya sampai berkilo-kilo meter hingga matahari menunjukkan kepalanya, siangnya mereka tidur, sorenya menyalakan petasan. Dan malamnya beli jajan rombongan di saat orang-orang sholat tarawih. Semua jadwal itu sudah paten, otomatis diterapkan tiap hari di bulan puasa. Sedangkan kalau berangkat mengaji itu sebelum waktu berbuka.
Hari pertama ramadhan di mulai pada hari ini. Seperti biasa, Pur masih juga susah dibangunkan sehingga Aminah sering marah-marah padanya kewalahan. Aminah merasa percuma saja menyuruh Pur untuk pagi-pagi bangung agar membantunya menyiapkan makanan untuk sahur. Itu mustahil bahkan bisa jadi sebuah keajaiban. Sehingga ia pun harus mempersiapkan segalanya sendiri.
Masih di hari pertama puasa, sekolah Pur libur 3 hari, ini kesempatan Aminah untuk menyuruh anaknya yang bandel itu supaya menjaga adiknya. Namun seperti biasa, Pur malah kabur dan lari entah ke mana.
Pur kabur keluar rumah dengan alasan bosan tak berkegiatan apapun. Padahal Aminah berkali-kali mengingatkannya kalau sedang puasa jangan kebanyakan main di luar, bisa menimbulkan lelah sampai batal puasanya. Tapi Pur tak menggubrisnya sama sekali. Padahal anak-anak tetangga juga kalau siang-siang tak ada yang main. Lebih memilih tidur pulas di rumah. Tapi Pur? Entah mau main dengan siapa lagi di luar sana.
"Pur, Pur mau ke mana kamu heh! Awas kamu kalau pulang nanti yah!" teriak Aminah memanggil-manggil anaknya yang berlari menjauh.
"Ya Tuhan, sampai kapan dia akan berubah?" dada Aminah masih kembang kempis gara-gara emosinya yang meluap.
Sejak Pur merasa tidak nyaman dibanding-bandingkan oleh Ibunya, Pur semakin susah diatur. Ia makin berani dan kupingnya bebal akan segala omelan. Rasa benci yang hinggap di hatinya benar-benar mulai terasa efeknya. Padahal Pur sudah dinasehati oleh ayahnya. Tapi mau bagaimana lagi? Pur juga tak bisa mengendalikannya.
Pur benar-benar tidak mengindahkan teriakan mamaknya tadi. Ia lari begitu saja saat menjaga Nur. Padahal sudah disuruh untuk mengawasinya selagi Aminah menyapu di halaman belakang.
Sontak Aminah marah, karena hal itu bisa membahayakan adik bungsunya.
Aminah menyadari kalau Pur kabur ketika mendengar suara tangisan Nur.
"Benar-benar tidak bisa diatur itu anak! Dasar anak setan!" gerutunya terus menerus walau Pur sudah tak terlihat batang hidungnya.
Sampai setengah hari, jam 11 siang. Matahari sedang panas-panasnya menyengat, Pur tak kunjung pulang. Sampai Sabar pulang dari sawah Aminah mengadu akan kenakalan anaknya itu.
"Pak, Si Pur makin hari makin susah diatur saja. Ibu pusing Pak!" keluh Aminah setelah Sabar mandi.
Dijemurnya handuk basah itu di kayu bambu yang dibentangkan di depan rumah dengan tali yang digantungkan di kedua sisi ujungnya, "Kenapa lagi si Bu?" tanya Sabar setelah sempurna menjemur handuk bekas dipakainya mandi.
"Pur selalu berulah. Bikin ibu jengkel saja Pak."
"Ya Sabar Bu. Kamu kan lagi puasa. Nanti pahalanya abis kalo buat marah-marah terus," ucap Sabar dengan raut wajah datar sedatar tripleks.
"Sana geh Bapak urus anakmu itu."
"Lah kan anak Ibu juga."
Aminah mendengus kesal. Benar-benar marah.
"Lihat, sudah mau dhuhur saja belum pulang-pulang juga. Mau jadi apa anak itu nanti. Ya Allah Gusti!!!!"
Tak mau terus mendengar ocehan isterinya, Sabar pun berkata, "Ya sudah lah Bapak mau ke masjid dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...