Bab 19

12 5 0
                                    

"Kamu itu sudah besar seperti anak kecil saja!"

"Mau jadi apa kamu!"

"Bisanya cuma bikin pusing orang tua saja!"

"Kamu pikir kamu hebat bertingkah seperti itu? Heh!"

"Jawab!!!"

Amuk Aminah kepada anaknya yang tidak pulang sehari semalam itu.

"Lain kali tidak usah pulang saja kamu sekalian!"

"Minggat sana yang jauh!!!"

Kali ini kalimatnya benar-benar berapi-api. Matanya begitu berkobar memandang bocah hitam kurus setinggi 120 cm itu.

Sabar hanya terdiam dan menatap lantai. Tidak memarahi pur ataupun membelanya. Biasanya ia yang paling maju di depan tiap kali anak-anaknya diomelin Aminah. Namun kali ini tidak, tidak sama sekali. Sabar membiarkan Aminah memarahi Pur habis-habisan. Sampai mata Pur berkaca. Padahal biasanya ia tidak secengeng itu. Apakah Pur mengharapkan  pembelaan dari ayahnya?

Mungkin Sabar juga marah dan kecewa akan apa yang dilakukan oleh anaknya. Itu memang sebuah kesalahan besar. Dan seharusnya Pur berhak dihukum akan hal itu.

"Kamu nggak tahu gimana susahnya bapakmu mencarimu?"

Sabar masih terus menutup mulutnya. Namun tidak untuk telinganya. Lama kelamaan telinga Sabar pun kepanasan mendengar amarah dalam setiap kalimat yang Aminah lontarkan. Namun kali ini Sabar ingin Pur menyadari satu hal.

Sabar memang marah, dia kecewa, juga ingin sekali memarahi Pur. Tapi bentakan dari Aminah sepertinya cukup. Tidak perlu ditambah amarah darinya.

"Dasar anak tidak tahu diuntung!"

Merasa mulai kasihan, Sabar pun menghentikan isterinya yang sedari tadi tidak capek-capek mengoceh.

"Sudah Bu. Sana Pur kamu masuk kamar!!!" seru Sabar dengan penuh energi.

Sepasang suami isteri yang kompak duduk berhadapan dengan diapit oleh anaknya itu membuat Pur tertekan. Pur pun langsung berhambur ke kamarnya dengan langkah malas sambil memasang wajah masamnya.

"Pur sudah sangat keterlaluan Pak," keluh Aminah dengan lirih ketika Pur sudah masuk ke dalam.

"Sabar Bu."

"Bapak ini, selalu saja sabar, sabar. Mau sampe kapan kita sabar Pak? Nanti anak kita malah ngelawan. Liat buktinya, Pur sudah berani melakukan ini semua!"

Aminah masih terbawa hawa kesalnya, sedangkan Sabar selalu saja tenang dan tidak terpancing emosi.

"Tahan Bu. Istighfar."

"Istighfar, setiap pagi dan malam istighfar-istighfar terus tapi kalau diam saja ya sama saja bohong Pak. Malah nambah masalah makin besar,"

"Pur harus dihukum Pak!" lanjutnya tanpa mengurangi kejengkelannya sedikitpun.

"Tidak semua amarah langsung diletupkan Bu. Bentakan-bentakanmu tadi itu sudah sangat cukup buat menghukum Pur."

"Belum cukup Pak!"

"Itu masih belum apa-apa dibandingkan dengan kesalahan yang sudah dilakukannya," Aminah tak mau kalah berargumen.

"Bu," ucap Sabar sambil menyentuh tangan Aminah yang ditaruhnya di atas paha.

Aminah sedikit reda, api di hatinya tak lagi berkobar. Mata teduh Sabar telah memadamkannya.

"Menahan itu memang sulit Bu. Tapi jangan sampai apa yang sudah kita keluarkan akan membawa penyesalan ke depan. Terlebih jika penyesalan itu akan menyiksa kita seumur hidup. Sudah, cukup segitu saja kamu memarahinya. Jangan ditambah-tambah lagi. Apalagi dengan hukuman yang aneh-aneh. Jangan, tidak usah," jelasnya dengan lembut.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang