Bab 6

24 5 0
                                    

Tetes air turun bergantian setelah hampir tiga jam lebih hujan tak henti-henti. Angin sejuk membelai wajah Mun yang sedang mematung di teras rumahnya. Gubuk kecil yang hanya memiliki satu jendela kecil di tiap ruangnya namun memiliki halaman luas itu, ikut merenung melihat tuan rumahnya tak bersenandung.

Awan cerah yang perlahan berarak mengitari desanya membuat langit mulai kembali bercahaya. Sore hari yang seharusnya terkesan petang, namun langitnya menyilaukan cahaya oren keemasan yang menyilaukan.

Cuaca mulai cerah, dan bisa dipastikan malam nanti langit dipenuhi bintang gemintang. Namun tidak dengan Mun, jauh di lubuk hatinya, jiwanya begitu pekat akan kebingungan.

Akan ke mana dia bekerja? Mau ikut siapa? Dan bekerja sebagai apa? Ijazahnya hanya tamatan SD.  Paling mentok nasib membawanya pada pekerjaan pembantu rumah tangga atau pengasuh anak majikan. Tidak mungkin dia bisa bekerja di pabrik atau pekerjaan sejenisnya.

Pikirannya sekelebat bertandang pada kisah-kisah anak tetangga yang kebanyakan bernasib buruk mengais rejeki di rantauan. Apakah nanti dirinya juga akan mengalami hal yang sama? Apa takdir akan membawanya pada nasib buruk? Mungkinkan dia mendapat pekerjaan yang baik dan layak? Tetapi pada siapa? Sampai saat ini pikirannya masih buntu. Namun jelas, Mun benar-benar ingin membantu kedua orang tuanya.

Sebenarnya, dalam hatinya Mun merasa sangat takut. Dia belum siap pergi jauh dari rumah apalagi dengan pengalamannya yang benar-benar nol. Tetapi Mun berusaha menyembunyikan kekalutannya itu. Karena tidak baik mengungkapkan perasaan di saat kondisi keluarga yang tidak baik-baik saja. Akan lebih baik jika dia terlihat kuat. Karena jika Mun menunjukkan kalau sebenarnya dia sangat takut dan tidak ingin pergi jauh, maka itu akan membuat yang lain lemah.

Mun tahu bahwa,

Berusaha terlihat kuat bukan untuk menunjukkan dirinya hebat. Tetapi untuk memberi kekuatan pada yang lainnya juga bahwa hidup bukan sekadar untuk sambat.

Pikirnya saat itu.

"Mun."

Bahu Mun terjingkut seketika saat bapaknya menepuk nya dari belakang.

Punggungnya berbalik, "Bapak."

"Kamu lagi apa di sini?"

"Nggak lagi apa-apa Pak."

"Kamu lagi mikirin mau merantau ke mana kan?"

Seperti biasa, Sabar bapaknya selalu mengerti apapun yang dirasakan Mun bahkan sebelum Mun menceritakan semuanya.

"Enggak kok Pak," jawab Mun masih mengelak.

Pandangannya terbuang ke depan, membuat Sabar leluasa memandang anak sulungnya lekat-lekat.

"Merantaunya nanti saja Mun. Kalau adik paling bungsumu sudah agak besar," ucap Sabar ikut-ikutan membuang pandangan.

Mun melirik ke arah Bapaknya sekilas, kerut di wajah bapaknya sangat terlihat terutama di bagian dahi dan sudut matanya. Hidungnya yang mancung dan rahangnya yang kuat, membuat Mun berpikir seketika, mungkin wajahnya akan seperti wajah bapaknya saat ini kalau dia sudah menua nanti. Yah, wajah Mun begitu mirip dengan Sabar walaupun wataknya persis seperti Aminah.

"Kenapa begitu Pak?"

"Ya nggak apa-apa. Kasihan Pur nanti. Dia masih terlalu kecil buat njugulin kamu."

Mun tahu bapaknya bicara seperti itu bukan karena Pur. Tetapi lebih karena khawatir padanya. Kalau masalah Pur, dia memang masih terlalu kecil untuk menggantikan pekerjaannya sebagai anak sulung. Tetapi cepat atau lambat dia akan belajar. Itu tidak masalah. Kehidupan di desa memang seperti ini. Mereka dituntut untuk dewasa lebih dini oleh keadaan.

"Mun tetep pengin merantau Pak," jawab Mun dengan lembut tetapi dalam.

Kali ini mata Sabar memandang sulungnya lekat-lekat. Anaknya mulai tumbuh dewasa, benar-benar tidak terasa. Waktu berlalu begitu cepat. Anak yang baru di gendongnya beberapa waktu lalu, sekarang sudah ingin pergi merantau untuk bekerja.

Tangan sabar menyentuh bahu anaknya dengan lembut, sambil terus menatapnya.

"Bapak belum siap melepas kamu Nok."

"Tapi Mun udah siap pergi Pak."

Jelas itu jawaban yang sangat sangat tidak jujur. Sebaliknya, Mun benar-benar tidak siap dan merasa sangat berat. Dia takut, bingung, tetapi ingin.

Sikap bapaknya yang tidak ingin melepasnya pergi justru membuat keinginannya semakin meninggi.

Bagaimana tidak? Jelas-jelas mereka sedang butuh uang, kenapa tidak langsung to the point saja. Itu membuat hati Mun tergetar dan niatnya pun semakin kokoh.

Mun memang takut, Mun memang belum berani, Mun memang gelisah saat ini. Tetapi kebaikan yang ditunjukkan oleh sikap dari kedua orang tuanya membuatnya semakin yakin bahwa dia harus pergi.

Pria yang mengenakan kaos oblong berwarna putih pucat dengan beberapa lubang di bagian perut sebelah kanan atas itu membuat Mun semakin takjub. Meski ibunya sering mengeluh dan marah-marah, tetapi bapaknya begitu pandai menyembunyikan kesusahannya. Ini seperti pecutan bagi Mun. Bapaknya saja bisa sekuat itu apalagi anaknya?

Kita memang tidak bisa memilih takdir, Namun kita bisa menahan nasib buruk datang menimpa kita.

Itu memang sulit, siapa bilang mudah? Walaupun sulit, bukan berarti mustahil dilakukan kan?

"Apa yang membuatmu tiba-tiba ingin merantau Nok?" tanya Sabar seraya mengajak anaknya duduk di bangku bambu yang berada si sampingnya.

Mun terdiam beberapa saat. Sambil duduk dan mengayunkan kedua kakinya.

"Wis wayahe Pak."

"Wayahe apa?"

"Ya sudah waktunya Mun membantu Mamak dan Bapak," jawab Mun seraya menatap kakinya yang di uncang-uncangkan.

"Tapi kamu masih kecil Mun."

"Mun udah besar Pak," matanya beralih menatap ke tubuh ringkih yang mengenakan sarung kotak-kotak hitam putih itu.

"Hm."

"Percaya sama Mun."

Bapaknya hanya terdiam, watak keras kepala Mun persis seperti ibunya. Tidak bisa disangga, tidak bisa dibantah.

Mun memahami perasaan bapaknya, sebagimana Sabar yang tidak tega melepas kepergian anaknya, Mun juga belum siap melepas dirinya sendiri ke tempat jauh.

Tetapi lagi-lagi keputusannya sudah bulat.

Mun menyadari satu hal bahwa kasih sayang orang tua bukan hanya berasal dari pemberian barang-barang tertentu atau selalu mewujudkan keinginan anaknya. Lebih dari itu, kasih sayang orang tua bisa terlihat dari bagaimana rasa khawatir yang ditunjukkan dari sikapnya. Dan pendeknya, kasih sayang orang tua terlihat dari bagaimana cara mereka menyembunyikan kesusahan dari anaknya.

Setiap orang tua yang selalu ingin terlihat kuat dan baik-baik saja di hadapan anaknya, itu adalah orang tua terbaik di dunia. Siapapun anak yang memiliki orang tua seperti itu, dia adalah seberuntung-beruntungnya seorang anak.

Mun merasa sangat beruntung, telah lahir dari orang tua yang begitu menyayanginya. Meskipun sejak kecil dia tidak pernah diberikan apa-apa, pun memang Mun bahkan tidak pernah minta apa-apa, dia merasa selalu cukup atas apa yang sudah didapatnya selama ini. Memiliki orang tua yang baik adalah harta paling berharga baginya.

"Kamu sudah besar ternyata ya Mun," ucap bapaknya seraya mengelus rambut Mun.

Mun membiarkannya dengan pasrah, termasuk membiarkan rambutnya jadi acak-acakan oleh ulah bapaknya.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang