"Dulu waktu Bulik pertama kali berangkat merantau dan untuk kali pertama kaki berpijak di tanah yang jauh dari kampung halaman, di tengah-tengah jalan Bulik diturunkan oleh angkot. Bulik tidak tahu apakah itu tempat yang benar sesuai dengan permintaan Bulik. Karena Bulik sendiri tidak tau benar salahnya. Yang jelas Bulik hanya berpatokan pada secarik kertas yang Bulik genggam sejak sebelum berangkat. Saat itu hari sudah menjelang ashar. Matahari tidak terlalu panas tapi cahaya orennya masih menyilaukan. Dari seberang jalan yang tidak jauh dari Bulik berdiri, mata Bulik menangkap seorang ibu muda yang berjalan sambil menenteng keranjang jinjing bermotif anyaman juga sebuah dompet yang diselipkan di ketiak sebelah kirinya. Tidak lama ketika Bulik tak sengaja memperhatikan seorang ibu itu, dari arah belakang ibu tersebut terlihat seorang laki-laki bertubuh kurus namun tinggi mengendap-endap sambil terus memandangi ibu tersebut. Bulik kira itu hal biasa, lelaki itu sama seperti ibu-ibu itu, mau menunggu angkot," kalimatnya terhenti, bibirnya menyeruput teh di depannya.
"Terus-terus Bulik?" tanya Rie tak mau menyia-nyiakan waktu sedetikpun.
"Dugaan Bulik benar, lelaki itu mau menjambret dompet ibu tersebut. Dan sedetik kemudian, dompet sudah beralih ke tangan lelaki itu dan seketika lelaki itu pun lari terbirit-birit memasuki mulut gang yang sampingnya ada plang bertuliskan buka praktek bidan. Seorang ibu itu lantas menjerit, teriak maling-maling pada orang-orang. Namun sayang, tidak banyak orang di sekelilingnya. Kendaraan yang berlalu lalang melintas acuh tak peduli. Hanya Buliklah yang ada di sana menyaksikan kejadian itu. Maka, ketika kejadian itu terpampang jelas di mata Bulik, Bulik berusaha mengejarnya. Meski saat menyeberang hampir saja tertabrak karena tidak melihat kiri kanan dulu, bunyi klakson mobil bersahut-sahutan. Bulik tidak peduli. Bulik terus mengejar si perampok itu."
"Wah, Bulik nggak takut emang?" tanya Rie takjub.
"Takut."
"Kok berani ngejar?"
"Nggak tahu. Itu di luar kesadaran Bulik."
"Terus setelah itu apa yang terjadi Bulik?"
"Setelah Bulik memasuki gang, lelaki itu sudah tidak terlihat batang hidungnya. Namun Bulik terus berlari dan berlari. Dan akhirnya setelah beberapa menit kemudian Bulik melihat lelaki itu sedang terduduk di tumpukan keranjang kayu sambil membuka isi dompet milik ibu tadi. Saat Bulik melihatnya, Bulik tidak langsung mengejarnya. Tetapi Bulik mengendap-endap mendekatinya, dan ketika jarak kami sudah agak dekat, Bulik langsung teriak 'Pak Polisi itu dia malingnya Pak. Itu Pak. Tangkap saja Pak.'" ucapnya sambil mempraktekkan teriakan dengan kalimat manipulasinya yang diucapkan saat itu.
"Loh, loh kok tiba-tiba ada polisi? Kapan Bulik manggil polisinya?" Rie semakin antusias bertanya.
"Nggak ada polisi."
"Terus?"
"Itu strategi Rie. Bulik teriak polisi supaya perampok itu takut. Dan yah, sesuai rencana Bulik. Perampok itu langsung lari terbirit-birit, kabur tanpa melihat ke sekeliling mana polisinya. Saking paniknya, dia sampai meninggalkan dompet curiannya dan membiarkan uang yang ada dalam dompet tersebut jatuh berceceran."
"Waw Bulik cerdas sekali."
"Hehe. Nggak kok. Ituu hanya sedang beruntung saja."
"Terus Bulik?"
"Bulik kira Bulik sudah berhasil menolong ibu-ibu tadi. Karena sudah mendapat dompet itu. Namun anggapan Bulik salah. Saat Bulik memungut uang yang tercecer berantakan di tanah dan memasukkannya kembali ke dalam dompet berwarna pink itu, ada orang yang melihat. Seorang bapak-bapak. Tanpa ba bi bu dia sekonyong-konyong datang dan menuduh kalau Bulik habis merampok. Mendengar bapak tersebut salah paham, Bulik langsung panik dan tidak bisa menjelaskan apa-apa. Terlebih Bulik tidak tahu jalan keluar pasar yang sudah tidak ada penjualnya satupun itu. Belum kelar satu masalah, datang beberapa orang lagi menghampiri Bulik. Bulik semakin merasa terintimidasi dan semakin bingung apa yang harus Bulik katakan. Mereka tidak ada yang percaya kalau Bulik bukanlah perampoknya. Yang paling sial adalah, lelaki atau perampok asli yang kabur tadi ikut dalam kerumunan dan mengompor-ngompori orang-orang bahwa Bulik habis mencuri dompet milik orang," lanjutnya.
"Ya Allah! Bulik di fitnah sama perampok itu!" sahut Rie dengan suara yang menggelegar.
Siti hanya mengangguk pelan.
"Ya seperti itu lah."
"Terus Bulik, apa yang terjadi setelah itu?"
"Bulik berusaha tetap tenang. Walaupun sekujur tubuh gemetar. Tapi bagaimana lagi? Jika Bulik tidak salah, Bulik tidak boleh menunjukkan raut wajah takut. Karena orang yang benar tidak boleh takut. Hanya orang-orang bersalahlah yang berhak merasa takut. Lama Bulik menjelaskan pada mereka karena begitu bebal dijejali berita bohong oleh si perampok itu. Sampai pada titik puncaknya mereka sudah kehabisan kesabaran dan tak kunjung percaya pada Bulik. Mereka ingin mengeroyok Bulik Rie."
"Ya Allah!" raut wajah Rie begitu sepaneng. Seolah-olah kejadian itu sedang terjadi tepat di depan matanya.
"Tetapi lagi-lagi benar kata Abah. Orang jujur mesti diberi keberuntungan. Walaupun tidak semua kejujuran langsung dibalas oleh Gusti Allah saat itu juga. Tapi Bulik merasa sangat beruntung. Sesaat sebelum tangan-tangan kekar mereka mendarat di tubuh Bulik, seseorang dari balik punggung mereka berteriak, 'berhenti'! Tangan mereka pun tertahan. Seluruh pasang mata melirik ke arah sumber suara tak terkecuali Bulik. Mata Bulik menelisik siapa gerangan orang yang berteriak tadi. Ternyata orang itu adalah pemilik dompet yang sedang Bulik pegang. Seorang ibu itu lantas menjelaskan bagaimana kronologi perampokan itu terjadi. Dan Bulik bukanlah pelakunya. Ketika seorang ibu itu hendak menjelaskan ciri-ciri perampok aslinya, lelaki itu memisahkan diri dari kerumunan dan kabur lagi menjauhi kami. Orang-orang pun berganti mengejar si perampok asli tadi."
"Wah, bantuan Allah datang tepat waktu sekali ya Bulik."
"Iya Rie," jawab Siti singkat.
"Apa yang akan terjadi kalau ibu itu sampai tidak datang yah?" Rie berandai-andai.
"Ya paling Bulik udah babak belur di pukul masa."
"Terus apa kata ibu-ibu itu Bulik?"
"Ia berterimakasih sama Bulik. Dan ngasih uang ke Bulik, tapi Bulik tolak."
"Loh kenapa?"
"Menolong harus ikhlas tanpa mengharap balasan Rie. Kalau kita terbiasa menerima sesuatu dari orang yang kita tolong, lama-lama kebaikan itu nanti identiknya harus dibalas. Bulik nggak mau seperti itu."
"Terus harusnya gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Intinya kita berbuat baik ya berbuat baik aja. Nggak usah menerima apalagi mengharap balasan. Anggap saja itung-itung melatih keikhlasan."
"Kalau misalkan si ibu itu tersinggung gara-gara kita nolak pemberiannya gimana?"
"Ya kita jawab aja, uangnya di sedekahkan ke yang lebih membutuhkan saja Bu. Kalau saya tidak usah. Simpel."
Rie tertegun mendengar jawaban dari Buliknya. Kalimatnya begitu berisi. Tak sedikitpun ada ke sia-siaan di dalamnya. Setiap kata yang diucapkan Buliknya benar-benar membuatnya bergetar. Ia semakin menengok ke dalam dirinya sendiri.
Sudahkah ikhlas hari ini? Jangankan ikhlas. Lihatlah, sekadar mengirim chat ke temannya saja kalau di read doang galaunya bisa seharian. Apalagi untuk melakukan bantuan sebesar itu?
Bahkan setiap kegiatan yang dilakukan dalam kehidupannya selalu mengharap balasan. Keinginan ingin di balas perasaannya, ingin dibalas kebaikannya, ingin dibalas kepeduliannya, dan banyak keinginan-keinginan lainnya. Rie ingin semua orang gantian memperlakukannya dengan baik, karena dia merasa sudah memperlakukan orang dengan baik. Namun sejak mendengar cerita Buliknya di bagian ini, prinsipnya seketika berubah.
Tidak peduli bagaimanapun sikap orang padanya, pada intinya adalah...
Lakukanlah kebaikan tanpa mengharap di baikin balik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
Fiction générale[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...