Sabar dan Aminah merasa sedikit terbantu setelah Mun sudah bekerja merantau. Upah yang tidak seberapa diberikan oleh Mun pada mereka berdua seluruhnya. Sabar seringkali menyuruh anak sulungnya itu agar menyisakan uang gajian untuk kebutuhannya sendiri. Tetapi Mun menolak, ia ingin memberikan semua uang gajinya pada orang tuanya. Masalah dirinya biarlah tak apa, yang penting sudah makan saja alhamdulillah.
Melihat kebaikan yang diberikan oleh anaknya, Sabar merasa terharu sekaligus bersyukur karena memiliki anak yang berbakti padanya. Sehingga setiap sebulan sekali mereka mengadakan selametan kecil-kecilan satu keluarga, sekadar mengirim doa dan mendoakan Mun agar rejekinya lancar dan berkah, diberi rasa nyaman dan semangat, juga agar dijauhkan dari bala.
Selametan malam ini seperti biasa, dihadiri oleh isteri dan kedua anaknya. Tetangga maupun sedulurnya tak ada yang tahu kalau mereka sedang menggelar doa bersama. Jika ada yang melihat/mendengar paling-paling mereka mengira kalau Sabar dan keluarganya sedang tahlilan kirim doa pada keluarga yang sudah meninggal. Padahal kenyataannya doa itu dikhususkan untuk anaknya yang sedang merantau. Ada beberapa jamuan seperti buah pisang, rambutan, juga makanan dengan porsi yang kecil dan sederhana yang cukup untuk mereka berempat.
Usaha ini dilakukan sabar karena ia ingin menepis anggapan orang-orang bahwa mencari nafkah di rantauan itu membawa sial, kalau dapat jodoh juga turut membawa hawa sial. Bagi Sabar tidak seperti itu, orang boleh beranggapan apapun sesuai keinginan mereka. Tetapi mendahului takdir adalah perbuatan yang melanggar agama. Selain itu, hanya itu yang bisa diberikan untuk anaknya. Sabar tak memiliki cukup uang untuk nyangoni anaknya di luar sana. Sehingga hanya doa dan syukuran kecil-kecilan yang bisa dipanjatkannya.
Kalau Sabar sedang banyak rejeki, syukuran bisa diadakan sebulan sekali. Tetapi karena ekonominya sedang tidak stabil, Sabar baru bisa menggelar syukuran selama 6 bulan terakhir. Malam ini adalah kedua kalinya mereka syukuran.
Seperti biasa, Sabar memimpin doa dengan membaca kalimat-kalimat tahlil dan doa. Kemudian diakhiri dengan makan malam bersama. Makanan yang sebelumnya sudah diletakkan di tengah-tengah mereka berdoa.
Berbeda dengan sebelumnya, jika Sabar melantunkan ayat-ayat suci dengan lantang dan semangat, entah mengapa kali ini suaranya sedikit redup. Intonasinya pun agak kurang jelas. Aminah sampai beberapa kali melirik ke arah suaminya. Mengecek apakah semuanya baik-baik saja.
Ketika Aminah melirik ke arah Sabar, tak ada sesuatu yang mencurigakan sama sekali. Semuanya terlihat normal. Tetapi lama kelamaan suara Sabar benar-benar mengecil. Apakah dia mengantuk? Pikir Aminah saat itu.
Tidak mungkin suaminya mengantuk kalau sedang memimpin doa seperti ini. Apa itu karena dia belum makan? Tidak juga. Sabar bukan orang yang lemah. Bahkan dia pernah kuat tidak makan sampai 3 hari lamanya.
Aminah sekarang tidak lagi melirik sesekali, namun terus memandangi suaminya yang sedang membacakan tahlil sambil terpejam. Aminah baru sadar, lama kelamaan muka Sabar pucat.
Ya Tuhan!
Tidak lama saat Aminah menerka-nerka ada apa dengan suaminya, Sabar tiba-tiba saja terjatuh. Tubuhnya terhuyung tak bertenaga tumbang ke arah kanan, ke arah anaknya Pur.
Pur yang sedari tadi khusyuk mengikuti bapaknya berdoa sambil terpejam, tubuhnya terkejut seketika karena kepala bapaknya berada di pahanya.
"Ya Allah Bapak," teriak Pur sambil menyentuh kepala Sabar.
"Innalillahi Ya Allah, bapak," dengan cekatan Aminah meraih tubuh Sabar yang membuat Pur tak bisa bergerak sedikitpun.
"Pur, tolong kamu pegang sebelah sini Pur. Biar Mamak yang angkat," perintahnya sambil meraih tubuh Sabar.
Pur mengikuti instruksi Mamaknya dan beberapa menit kemudian Sabar bisa dibaringkan di karpet yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.
"Tolong ini semua di bawa ke belakang Pur."
"Iya Mak," jawab Pur sambil memindahkan satu persatu wadah yang berisi makanan, dan beberapa piring berisi buah dan kacang rebus.
Setelah diberi minyak dan dipancing balsem di hidungnya, Sabar tak kunjung sadar. Aminah begitu panik, Nur kecil disampingnya pun hanya terdiam melihat ketidaktahuan yang sedang ibunya lakukan.
"Nur sama yayu dulu yah, jangan rewel oke."
"Ma ma ma ma," jawab Nur kecil sambil meraih wajah Aminah.
"Pur, tolong pegangin Nur dulu Pur."
Pur yang belum selesai membereskan satu kerjaan, sudah disuruh menjaga adik bungsunya.
Pur pun meraih Nur dan menggendong di lengannya.
Sambil terus memandangi bapaknya yang entah kenapa, dada Pur mendadak sesak. Ia tidak bisa menangis, tetapi melihat sesuatu terjadi pada Bapaknya, ia begitu benci.
"Mak, bapak kenapa Mak?"
"Mamak juga nggak tahu Pur," Aminah sampai mengompres dahi suaminya karena saat di cek sangat panas.
"Terus kita harus gimana Mak?"
"Mamak juga bingung. Mana di luar ujan deres lagi. Ya Allah pak, bangun Pak," air mata Aminah hampir tumpah karena bingung harus melakukan apa.
"Pur manggil Nyai Dami saja apa Mak?"
Nyai Dami adalah tukang urut yang multi talent di desa. Selain ahli mengurut, dia juga bisa menyembuhkan segala penyakit seperti demam, panas dingin, kejang dan lainnya dengan air yang didoakan nya. semua warga di desa mengenalnya. Dan tidak jarang orang-orang mendadak mencarinya terutama di kala genting seperti ini.
"Tapi di luar ujan deres Pur. Banyak petir pula."
"Nggak apa-apa Mak."
"Kamu yakin?"
"Iya."
Pur pun akhirnya pergi sambil menerabas derasnya hujan di malam hari. Karena dia tak punya payung, jadi terpaksa harus hujan-hujanan malam-malam. Kilat yang menyambar sesekali membantunya melihat jalan. Pur sama sekali tidak takut dengan hujan dan petir, dia sudah terbiasa main dengan keduanya. Padahal mamak dan bapaknya sudah mengingatkan agar jangan hujan-hujanan di saat banyak petir. Tapi dia bandel dan sangat keras kepala. Bedanya adalah saat ini jalanan gelap, tak ada siapapun, tetapi Pur tak takut. Ia malah berlari begitu kencang, padahal jalanan mulai licin. Sesekali kakinya terpeleset, sampai bajunya kotor semua terutama di bagian pantat. Bokongnya sedikit nyeri ketika mendarat di tanah, tetapi dia tetap bangun dan kembali berlari.
Rumah Nyai Dami lumayan jauh dari tempatnya, tetapi Pur tidak peduli. Ia harus sesegera mungkin membawa Nyai Dami ke rumahnya. Jika tidak, maka tidak tahu apa yang akan terjadi pada bapaknya.
Sepuluh menit setelah Pur berlari-lari kecil, akhirnya ia sampai di gubuk Nyai Dami. Hujan tak berhenti turun sehingga cipratan air yang memasuki pintu rumah Bi Dami tak digubrisnya karena toh Pur sudah basah kuyup.
Diketuknya berkali-kali. Tangan Pur sampai memerah karena walau Pur sudah teriak berkali-kali, suaranya tidak cukup untuk melawan derasnya hujan.
"Ya Allah. Ke mana si Nyai Dami."
Pur hampir putus asa. Sepertinya memang Nyai Dami tak ada di rumahnya.
Sekarang apa yang harus dilakukannya? Dia tidak tahu harus ke mana lagi mencari bantuan. Tidak ada dokter di desanya.
Pur sangat bingung, sampai air mata yang sebelumnya tak pernah keluar. Kini jatuh bersaing dengan air hujan yang membasahi wajahnya.
Kepada siapa dia akan mencari bantuan? Tak ada siapapun yang lewat di saat hujan deras begini. Jalanan begitu gelap.
Air di matanya semakin jatuh menderas. Pandangannya entah tertuju ke mana, dilihatnya ke sekeliling.
Gelap.
Mencekam.
Hanya terlihat ribuan rintik hujan yang entah mau berhenti sampai kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
Ficção Geral[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...