Bab 3

41 5 0
                                    

Banyak anak banyak rejeki.

Begitu kata orang-orang jaman dulu mempercayainya. Menilai bahwa semakin banyak melahirkan anak, maka semakin banyak pula rejeki yang datang. Entah datangnya dari mana itu urusan belakangan. Namun bukan hanya banyak anak banyak rejeki. Banyak anak artinya juga semakin banyak kebutuhan, semakin banyak anak, semakin banyak yang harus dipenuhi. Dan pada intinya semakin banyak anak, semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan.  Terutama yang dialami oleh Sabar dan Aminah.

"Pak, gimana ini Pak? Nyai Kati suruh ibu beli jamu 12 werna (macem), mana nanti buat selametan mangku tidak ada biaya untuk masak-masak dan suguhannya lagi," bisik Aminah pada suaminya yang sedang duduk di samping si bayi.

"Iya Bu. Ini bapak juga lagi usaha,"

"Usaha apa?"

"Kan bapak tiap hari berangkat ke sawah."

"Lah. Ngapain ke sawah-sawah kalau tiap panen gagal terus Pak. Percuma saja, mending itu kebonan kita jual saja ke pengusaha-pengusaha biar dijadikan pabrik saja desa ini."

"Hus. Jangan bilang begitu. Sawah itu ladang kehidupan kita. Sumber kita mencari nafkah."

"Nafkah apa? Kita makan aja susah terus kayak gini."

Sabar mulai lelah menjawab ocehan istrinya terus. Akan lebih baik jika dia pergi menjauh dari sana dan melakukan kegiatan lainnya.

Di sudut ruang belakang, Mun sedari tadi mengintip. Mendengarkan kedua orangtuanya saling berbisik.

Hatinya tergetar, keinginan itu seketika berdesir seakan menyentuhnya dengan lembut.

Mun terus mematung di sana, hingga teriakan adiknya membuyarkan lamunannya.

"Yu, kiye genine mati," teriak Pur dari dapur.

Diliriknya ke bawah pawon (tungku) itu. Dan yah, apinya memang mati.

Memasak menggunakan pawon memang tidak bisa ditinggal-tinggal. Selain harus menyodok-nyodokkan kayu bakar ke dalam tungku, Mun harus sedia meniup tungku kalau-kalau apinya padam. Maka tak jarang, ketika giliran dia memasak, setelahnya wajahnya akan cemong-cemong dan keringetan.

Mun sebenarnya memang sudah dari kecil sering membantu ibunya memasak di dapur. Namun setelah adik keduanya lahir, hampir tiap hari dia yang memasak.

"Kebetulan kamu di sini. Tuh cuciin piring," perintah Mun kepada adiknya yang baru nongol setelah lewat setengah hari.

"Dih. Aku pan dolan," tolaknya sambil berlari menuju kamar tengah yang ada ibu dan adik bayinya.

"Heh. Heh. Mau ke mana kamu?"

Pertanyaan Aminah membuat langkah Pur terhenti.

"Mau main Mak. Hehe," jawabnya sambil menyeringai.

"Bantu Yayu mu dulu sana," suruh Aminah pada anaknya yang bandel itu.

"Gak mau!"

"Pur!"

Wajah Pur mulai mengerut.

"Kamu kalau nggak mau nurut sama Mamak. Pergi saja sana jangan pulang sekalian!" Aminah mulai naik pitam.

Entah mengapa, sejak melahirkan ia jadi lebih sering marah-marah. Apalagi kalau melihat bayi mungil di sampingnya itu. Hawanya benar-benar panas. Semua orang mendadak dibentak-bentaknya tanpa alasan.

Mun yang niatnya mau mengejar Pur itu seketika memelankan langkahnya dan menarik lengan Pur perlahan.

"Udah Mak. Jangan marah-marah terus. Nanti dedeknya bangun," ucap Mun menenangkan suasana.

Mun melayangkan kedipan mata pada adiknya itu, dengan maksud mengatakan,

"Udah, biarkan saja mamak marah-marah begitu. Jangan diambil hati."

Pur masih memasang wajah tak karuannya. Seluruh sudut di wajahnya terlipat, pipinya mengerut, dahinya mengisut, kedua alisnya sempurna menyatu.

Mun yang tahu gelagat adiknya kalau lagi marah dan jengkel lantas menepuk-nepuk bahu Pur dengan telapak tangannya yang kokoh.

"Mamak udah nggak sayang sama Aku lagi ya Yu?"

"Dih. Jangan bilang kayak gitu Pur."

"Tadi sih bilangnya kayak gitu."

"Mbuh lah. Aku benci karo Mamak!" gerutunya tanpa mempedulikan suaranya terdengar sampai depan atau tidak.

"Makanya kamu itu kalo disuruh Yayu yang nurut. Jangan bantah. Kalau mau main silakan saja main. Yayu tidak melarang. Tapi jangan seharian full kamu menghilang. Kasihan Mamak. Kalau lagi sehat saja selalu ada buat kita. Jadi kalau Mamak sedang tidak sehat, kita gantian Pur ngerjain pekerjaan Mamak."

Sepertinya telinga Pur bebal dinasehati oleh Mun.

"Kalau Mamak liat Yayu terus yang bantu-bantu pekerjaan rumah, Mamak itu tidak senang. Maunya kamu juga bantuin Yayu atau bantu Mamak jagain dedek. Inget kamu udah jadi kakak sekarang. Mainnya jangan sampe lupa rumah."

Pur masih tidak mau menyahuti omongan kakaknya. Tangannya mulai mencelupkan diri ke kubangan air berisi piring-piring dan gelas kotor. Diasahnya dengan cepat, sambil membenturkan piring satu dengan piring lainnya hingga terdengar bunyi bising.

"Pur, ati-ati nyucinya. Nanti pecah itu."

Pur malah semakin keras membunyikannya, apalagi saat menaruhnya di ember yang masih bersih. Membuat piring itu semakin nyaring gemerincingnya.

"Pur!"

"Udah sana minggir-minggir!" ucapnya sambil menarik tubuh adiknya yang sedang berjongkok itu.

"Kamu itu susah banget sih dibilangin! Udah sana mau main ke mana aja sana pergi!"

"Nggak bisa diandelin kamu yah!"

Sekarang Mun pun ikut-ikutan marah seperti ibunya.

Pur membanting satu gelas yang sedang dicucinya, namun tidak sampai pecah. Dirinya lantas berdiri dan pergi dari sana dengan tangan yang masih terbungkus busa.

Mun hanya tertegun melihat adiknya yang tidak nurut itu. Dadanya kembang kempis setelah memarahi Pur. Tangannya mengelus dada pelan-pelan.

Dalam benaknya ia berpikir, ia tahu dan merasakan persis posisi adiknya saat ini. Dia masih ingin bermain dengan teman-temannya. Dulu pun Mun begitu, ia sedang asyik-asyiknya menikmati masa-masa bermain dengan teman-temannya. Dari pagi hingga sore kuat tidak pulang, pulang ke rumah kalau mau makan siang saja. Lalu habis makan pergi lagi, pulang baru mau menjelang maghrib.

Memang kehidupan anak di desa sangat sibuk, ada begitu banyak mainan yang bisa di mainkan. Tidak hanya mainan, kadang mereka pergi ke kali untuk mencari ikan atau udang. Berburu capung di pinggir rawa-rawa. Bermain kejar-kejaran dan layangan di lapangan desa. Pun kadang-kadang mereka juga mencari bekas wadah sampo, bungkus rokok dan lainnya untuk dijadikan mainan slemperan. Mereka akan mencarinya di seluruh desa. Bahkan sampai ke jalan raya besar yang terhitung sangat jauh dari rumah.

Kemudian, jika mereka merasa bosan, Mun dan teman-temannya akan bersama-sama semacam melakukan touring ke mana-mana mencari gonggo (laba-laba) di pohon-pohon yang tinggi dan rindang. Dan masih banyak lagi jenis kegiatan lainnya yang berbau main dan mainan.

Jadi bermain sudah seperti profesi bagi anak-anak di desa.

Mun memaklumi tingkah adiknya itu. Tetapi cepat atau lambat dia harus mengerti. Dia harus sadar bahwa mempunyai adik tidak bisa dianggap sepele. Memiliki adik, artinya sudah ada tanggung jawab baru. Kalau tidak, dia akan terus dimarahi Mamak. Tentu Mun tidak ingin itu terjadi, cukup dia saja yang merasakannya.

"Mun," terdengar teriak Mamaknya memanggil.

"Iya Mak."

Langkahnya bergegas menghampiri ibunya.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang