Bab 31

15 5 2
                                    

Mun tiba di rumah sehabis adzan sholat ashar berkumandang. Seharusnya ia sudah tiba jam 12 siang tadi. Namun kondisi jalanan yang macet, ia harus mengorbankan waktu beberapa jam nya untuk tetap tinggal di bus.

Setelah turun dari bus di perempatan jalan, ia segera berjalan menyeberangi rel kereta menuju selatan. Kemudian memesan mobil elf.

Entah apa yang sedang dirasakannya sekarang, tiba-tiba saja mata Mun berkaca-kaca.

Ditatap nya ke sekeliling, jalan yang  dilaluinya saat pertama kali menunggu bus berangkat, beberapa ojek yang sedang bosan mangkal, juga deretan toko makanan burung, tempat penitipan motor, apotek dan tukang bakso yang selalu ramai itu membuatnya teringat saat pertama kali berangkat merantau.

Tidak perlu menunggu waktu lama, mobil elf jurusan arah rumahnya pun datang dan ia langsung naik dengan beberapa tas yang digendongnya sejak berangkat dari Cirebon.

Lima menit kemudian Mun turun dan harus berjalan kaki ratusan meter untuk sampai di rumahnya. Karena jarak antara rumahnya dengan jalan raya terbilang jauh. Ia harus melewati deretan rumah, sekolah, toko-toko, pekarangan yang lebat, juga dua sungai yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil.

Andai saja salah satu keluarga/temannya bisa menjemputnya. Ia pasti takkan kelelahan seperti ini.

Baju-baju dan beberapa makanan yang tersimpan dalam dua tasnya itu cukup membuatnya keletihan berjalan hingga keringatnya bercucuran.

Akhirnya, setelah berjalan lima belas menit, Mun pun tiba di rumah.

Sebenarnya ia sedikit malu, pertama kali merasakan pengalaman pulang kerja dari tanah rantau, membuat pipinya memerah sebelum bertemu dengan keluarganya.

Perasaan yang cukup aneh, bagi remaja perempuan yang seharusnya masih mengenyam pendidikan itu.

Sesampainya di rumah, tak bisa dipungkiri, Mun langsung dipeluk oleh Mamaknya. Pelukan yang juga terasa aneh mengingat dari dulu Mamaknya suka marah-marah.

Nur kecil sudah lumayan besar, dan sudah bisa berdiri juga mengoceh satu dua kata yang masih tidak dimengerti. Adik bungsunya yang terakhir kali ditinggal saat masih sangat bayi itu membuat Mun langsung meraih dan menggendongnya.

Bibirnya tak berhenti mengecup seluruh wajah Nur kecil. Nur yang agak asing melihat seseorang yang mulai jarang dilihatnya itu lantas menangis sambil meraih tubuh ibunya. Mun pun mengembalikan Nur ke dekapan Mamaknya itu.

Di sisi lain, bapaknya, Sabar sudah mempersiapkan tangannya untuk disalim oleh anak sulungnya itu.

Sebuah tatapan lekat menghujam Nur. Seperti biasa, Sabar tak banyak bicara. Hanya menyodorkan tangannya kepada Mun lalu mengelus kepalanya bersamaan ketika punggung tangannya dikecup hangat oleh anak pertamanya itu.

Sedangkan di sudut sana, dibalik korden pintu ruang tengah, Pur yang sedari tadi memperhatikan mereka meluapkan rasa rindunya satu sama lain, ketika Mun mau minta salam kepada adiknya, Pur justru langsung menangis dan pergi dari sana.

Ia tidak peduli kakaknya bawa apa seperti seorang adik kebanyakan yang langsung bertanya kakak bawa oleh-oleh apa. Tidak. Tidak dengan Pur.

Ia menangis seketika dan lari ke belakang menjauh dari sana.

Sabar maklum, paham betul apa yang dirasakan oleh anak tengahnya itu. Sedang Aminah yang sedang menggendong Nur kecil itu hanya melirik heran.

Mun sebenarnya tidak terlalu paham. Namun ketika melirik ke arah bapaknya, ia langsung bisa mengerti.

Ia pun menghampiri Pur ke belakang. Melongok ke kamar, apakah ia bersembunyi di dalam. Tapi tak ada. Kemudian langkahnya terus berjalan ke belakang, di dapur juga tak ada.

Pergi ke mana dia?

Setelah mencari di semua sudut ruangan, Mun menangkap tubuh Pur yang sedang berjongkok di halaman belakang. Halaman yang hanya sepetak dengan di depannya dipenuhi pohon pisang berbaris-baris milik tetangga itu, menjadi tempat pelarian Pur.

Mun ikut berjongkok di samping adiknya tanpa melepas jaket yang dikenakannya itu.

Dirangkul nya bahu Pur dengan lembut, ditatap nya bocah kecil yang cepat sekali tumbuh dewasa itu. Dilihatnya baik-baik adik kesayangannya.

Tangan Pur yang sibuk mencoret-coret tanah menggunakan ujung ranting kering pohon kersen itu seketika diambilnya. Dan dibuangnya jauh-jauh.

"Maafin Yayu ya Nok," ucap Mun dengan lirih dan penuh penyesalan.

Mun menyadari kesalahannya. Kepergiannya yang pertama ini membuat adiknya tersiksa. Mun tidak tahu kalau tindakannya ini merugikan salah satu pihak. Ia hanya berniat ingin membantu keluarga. Dan ia rasa itulah kewajibannya sebagai anak pertama.

"Pur maafin Yayu nggak?" tanya Mun kemudian. Karena Pur masih menunduk dan tak mau menjawab pertanyaannya.

Beberapa menit ditunggu, Pur masih belum juga mau bicara.

Mun kira, ia sedang mengganggu adiknya. Mungkin akan lebih baik jika dirinya pergi saja dari sana untuk sementara waktu.

"Ya uwis. Nek Kamu masih marah sama Yayu," jawabnya sambil berdiri dan hendak pergi dari sana.

Namun ketika ia mau melangkah pergi, tiba-tiba tangan Mun diraih oleh Pur.

Mun melirik ke arahnya. Mereka sekarang sedang saling menatap.

Dilihatnya baik-baik, mata Pur sangat basah. Mun tak sempat mengusap air mata adiknya itu karena Pur langsung memeluknya dengan erat.

Dirasakannya dekapan itu, hangat namun terasa sedikit sakit di dada.

Pelukan Pur seakan mengatakan segala perasaannya. Hanya beberapa detik dari dekapan itu, Mata Mun pun ikut menitik dan melintasi pipinya yang sedikit putih itu.

"Jangan berangkat kerja lagi Yu," ucap Pur sambil merengek tanpa melepas pelukannya.

Mun belum menjawab. Hanya mengelus kepala adiknya.

Rambut Pur sedikit bau. Entah sudah berapa hari ia tak keramas. Rambutnya sedikit memerah, tidak sehitam yang dilihatnya terakhir kali dulu. Mungkin karena ia terlalu sering main di panasan, duga Mun.

Kemudian dekapan mereka pun lepas dengan sendirinya.

Mun mengusap air mata di pipi Pur. Menggenggam bahunya. Dan menatapnya dengan mantab.

"Ke depan dulu yuk. Lihat Yayu bawa apa buat kamu," ajak Mun sambil meraih tangannya dan menuntunnya ke depan. Kembali bergabung dengan Mamak, Bapak dan Nur.

Sejak berbulan-bulan kemarin, Mun hanya melihat kesedihan Pur dari caranya membangkang sesuai dengan cerita Mamaknya di telfon. Tapi sekarang, ia melihat kesedihan itu langsung dari matanya. Pur meluapkan semua emosinya lewat pelukan tadi.

Ini memang berat, ketika seseorang dihadapkan pada satu hal diluar kesiapannya, maka tidak jarang hal tersebut membuatnya lemah.

Ketidaksiapan tidak selalu membuat seseorang menjadi kuat. Bagi beberapa orang, ketidaksiapan adalah virus yang membuatnya menjadi lemah.

Dan ini terjadi pada Pur.

Jika dulu Mun semakin digembleng oleh ketidaksiapan, justru ketidaksiapan yang dialami Pur bagai siksaan.

Kehadirannya di rumah beberapa hari ke depan harus membuat Pur mengerti. Mun harus mencari akal supaya Pur paham dan mau menerima segalanya.

Karena hidup tidak selalu terjadi sesuai dengan apa yang kita inginkan. Hidup adalah pengorbanan. Ketika kita hidup, ketika itu juga banyak keinginan yang harus kita korbankan.

Ini yang harus Mun tekankan pada Pur.

Entah dengan cara apa supaya Pur bisa memahami makna kehidupan yang satu ini.

Mun sudah berpikir ekstra keras, sejak ia menginjakkan kaki di rumah beberapa menit lalu.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang