Rie masih duduk di kursi yang sama sampai melewati adzan ashar. Waktu seolah berhenti saat ia mengobrol dengan buliknya. Sampai-sampai dia tak menyadari kalau sebentar lagi maghrib tiba.
Tidak biasanya Rie betah duduk seperti ini. Tingkahnya yang tidak mau diam di tempat dan lebih suka main di luar, membuat ibunya keheranan.
"Kamu kok tumben dari pagi sampe mau sore betah banget ngobrolnya Rie," ucap ibunya saat keluar dari dapur.
Wajahnya begitu terlihat keletihan. Keringat membasahi pelipisnya.
Masak-masak sedari pagi hampir di handle Ningsih semua, Siti tak banyak membantu, malah lebih banyak mengobrol dengan keponakannya itu. Padahal tadinya ia juga mau membantu masak, tetapi Rie memaksa. Jadi ya sudah lah, akhirnya Siti pun menuruti keponakannya itu. Toh dia kan jarang main ke rumahnya. Paling hanya waktu-waktu tertentu saja seperti sekarang.
"Pada ngobrol apa sih? Mamah kok nggak diajak," lirik Ningsih ke arah Siti dan anak sematawayangnya.
"Hehe, Kepo sih mamah," sahut Rie tak mau membeberkan apa saja yang sudah dibicarakan dengan buliknya.
"Udah sana masuk lagi, Rie lagi serius ini."
"Emang Mamah nggak boleh ikutan ngobrol?"
"Nggak."
"Serius?"
"Iya," jawab Rie dengan mantab.
"Ya udah mamah mau pulang nyusul papa kamu ke Solo aja lah."
"Yeee ya udah sana."
"Yakin nih?"
"Iya."
Begitulah anak dan ibu terus mengoceh di depan Siti. Melihat mereka berdua bertengkar seperti pinang dibelah dua saja. Rie sangat mirip dengan ibunya. Dari mulai caranya bicara, sampai cara mereka mengibaskan kerudungnya. Semuanya benar-benar sangat mirip. Hanya matanya saja yang persis seperti ayahnya.
"Ya udah lah. Mamah mau mandi dulu."
"Masakan semua udah jadi Sih?"
"Udah donk. Ningsih."
Setelah Ibu Rie kembali pergi ke belakang, kepalanya terus melirik ke bilik di mana ibunya melangkah pergi. Ditengoknya terus menerus, memastikan apakah ibunya sudah benar-benar pergi.
Rie kembali ke posisi semula, dengan bahu yang kokoh dan punggung yang tegap. Sorot matanya pun masih tajam. Wajahnya tetap bersinar walau ada sedikit minyak yang menyelubunginya. Namun itu tak menghilangkan kecantikan di wajahnya. Tahi lalat yang bertengger di pipi kanannya turut membuatnya semakin manis.
Telinganya bahkan lebih semangat ingin mendengar kisah selanjutnya. Bahkan sudah menaruh ancang-ancang barangkali cerita berikutnya tak kalah membuatnya tercengang. Sungguh, bagi Rie mengobrol dan mendengarkan buliknya cerita sekarang ini jauh lebih seru ketimbang nonton film drakor maupun film-film action yang ratusan kali sudah dilahapnya.
Sebelum Rie sempurna mengatakan ingin mendengar cerita selanjutnya, Siti sudah lebih paham. Duduk bersamanya yang baru terhitung kurang dari 6 jam sudah membuatnya sedikit paham akan gerak-gerik keponakannya itu.
"Kamu mau denger cerita lagi?" tanya Siti saat Rie membuka mulutnya.
Rie kembali menutup mulutnya yang terlanjur terbuka. Bahkan ia belum sempat bicara. Sudah disosor saja sama buliknya.
Rie hanya menyeringai tak berdosa.
"Masih kurang?"
Rie mengangguk cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...