Beberapa hari setelah berdiskusi dengan bapak dan mamaknya, akhirnya Mun diijinkan pergi merantau untuk bekerja. Namun, niat yang kokoh itu belum lengkap karena Mun bingung mau kerja di mana.
Orang-orang di desa seringnya mengikuti kerabat/tetangga yang sebelumnya sedang bekerja di rantauan. Jadi jika sudah sampai di sana, ia tak perlu susah-susah untuk mencari pekerjaan lagi. Pendeknya, sampai di tempat, sudah bisa langsung bekerja.
Mun bingung, ia masih belum juga menemukan siapa orang yang tepat hingga tanpa terasa satu bulan telah berlalu.
Kadang-kadang Aminah bertanya pada tetangga, apa keluarganya ada yang sedang bekerja di rantauan. Jika boleh, anaknya ingin ikut. Namun sampai sekarang masih juga belum ada rejeki.
"Mun," panggil Aminah sambil berdiri dan menggendong bayi mungilnya.
Aminah sudah bisa beraktivitas seperti biasa, wajahnya tidak lagi dipolesi beras kencur, maupun pantatnya yang dibalut tali berlapis-lapis.
"Iya Mak," jawab Mun sambil menghampiri mamaknya.
"Keliatannya sabun cuci piring udah abis. Sana beli Mun."
"Iya Mak."
Di ambilnya uang dari mamaknya, dan Mun pun melangkah pergi.
Mun sampai di warung Bi Yati tepat ketika Bi Yati baru saja pulang dari pasar. Ia terlihat sedang mengeluarkan barang-barang belanjaannya dari dalam karung. Dari mulai sayur mayur, tempe mentah, tahu, jajanan basah, jajanan kering, dan lain sebagainya.
"Tumben udan mau siang baru buka bi? Biasanya pagi-pagi udah rapi," tanya Mun pada Bi Yati.
Mun memang seperti itu, walau dia masih kecil. Tapi sudah bisa mengobrol dengan ibu-ibu. Ada saja topik yang bisa di mulai untuk mengobrol.
"Iya Mun. Tadi habis mampir-mampir dulu."
Mun ikut membantu menata belanjaaan di meja warung. Sambil sesekali menyimak ocehan Bi Yati dengan pelanggan ibu-ibu lainnya yang sedang berebut memilih kangkung mana yang terlihat segar.
"Heh Bi, sudah tahu berita anak sulungnya Pak Yadi belum?" tanya Yu Sari membuka gerbang penggosipan.
"Yang kerja jadi pembantu rumah tangga di Jakarta itu?" jawab Bi Yati sambil tangannya terus cekatan menata barang jualannya ke meja bambu berukuran besar itu.
"Iya. Kasihan banget yah. Masih muda, tapi ehh pas giliran dapet kerjaan majikannya nggak enak."
"Iya. Denger-denger sampe di siksa loh yu," sambung Bi Yati.
"Iya? Wah kalo itu saya nggak tahu bi."
"Iya. Katanya kalau tiap telponan sama Pak Yadi di sananya nangis terus. Minta pulang, nggak betah."
"Lah terus Pak Yadinya gimana?" Yu Sari makin penasaran.
"Ya Pak Yadinya nggak bolehin pulang. Orang lagi kerja. Namanya nyari uang pasti ada aja susahnya."
"Kasihan banget yah," ucap Yu Sari sambil memisahkan belanjaannya untuk dihitung.
Mun tak bisa memungkiri, walaupun keinginannya tak mau mendengar ibu-ibu sedang menggosip, telinganya terbuka setiap saat. Otomatis Mun ikut mendengar walaupun tidak ikut menanggapi.
Dari cerita yang habis didengarnya, Mun semakin gelisah. Rasa takut yang sebelumnya hanya sebutir debu, sekarang berubah menjadi sebongkah batu. Batu yang berukuran raksasa. Seperti batu-batu yang terlempar saat gunung meletus.
Hati yang sebelumnya mulai yakin, kepercayaannya sedikit tergoyah. Dalam benaknya bermunculan praduga-praduga yang tak masuk akal. Begitu banyak pertanyaan yang bermunculan seperti,
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
General Fiction[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...