Bab 25

10 3 0
                                    

Sebentar lagi senja pamit dan mengantarkan malam sebagai jamuan. Burung-burung pun satu persatu pulang ke rumahnya untuk merebahkan sayap yang terus mengepak seharian. Sedang orang-orang di rumah segera bersiap untuk pergi sholat berjamaah ke Langgar. Termasuk ibu Rie yang sudah rapi memakai mukenah.

Rie dan Bulik Siti pun demikian. Sudah siap-siap untuk berangkat ke Langgar. Kebiasaan di desa, terutama keluarga Siti, sebelum menjelang adzan maghrib mereka selalu sudah siap untuk sholat berjamaah di Langgar. Ini adalah kebiasaan turun temurun yang diajarkan Abahnya sejak dulu.

Kata Abah, orang yang menunggu datangnya waktu sholat, duduk dan berdzikir, maka malaikat-malaikat di Langit pun tersenyum padanya dan mendoakannya.

Abah selalu mengatakan itu tiap kali anak-anaknya lupa pentingnya sholat jamaah. Abah selalu percaya kalau malaikat-malaikat di atas langit mengirim senyum terbaiknya kepada orang-orang yang berdzikir sambil menunggu waktu sholat tiba. Padahal ia tak pernah lihat bagaimana malaikat tersenyum dan tak pernah mendengar juga kapan malaikat mendoakannya. Tapi begitulah keyakinan, selalu tak bisa dijelaskan.

Cerita ini selalu Siti dengar sejak kecil. Hingga ia dan adiknya pun terbiasa sudah siap sebelum adzan terutama waktu subuh dan menjelang maghrib.

Sebelumnya, ibu Rie memang melakukan kebiasaan ini di rumah. Tapi Rie tak pernah mengikutinya. Rie pun jarang sholat berjamaah.

"Mamah pake mukenah siapa?" tanya Rie setelah mengambil wudhu.

Embun di wajahnya menetes perlahan-lahan.

"Punya simbah lah."

"Buat Rie mana? Rie kan juga mau ikut jamaah."

"Eleh, tumben sekali kamu mau jamaah. Biasanya juga diajak Mamah nggak mau."

"Hm. Sekarang kan beda Mah. Sini mukenahnya buat Aku aja. Aku mau ikut Bulik jamaah di musholla," pinta Rie sedikit memaksa.

Wanita muda yang tak kalah cantik dari Rie itu terus menggoda anaknya dan ikut-ikutan tak mau mengalah.

"Kasihkan saja lah Sih. Nggak ada lagi mukenahnya soalnya," sahut Siti menegur adiknya yang sedari tadi menggoda puterinya terus.

Ningsih pun menyerahkan mukenah yang sudah dipakai nya itu kepada Rie dengan wajah penuh lipatan.

Jika dilihat dari luar ia memang sedikit kesal, tapi dalam hatinya bersorak. Melihat anaknya itu mau sholat jamaah. Pasalnya, kalau di rumah Rie jarang sekali mau diajak sembahyang jamaah. Susah sekali.

Dan lihatlah! Karena buliknya tanpa disuruh pun Rie ingin berangkat sendiri.

Maka Ningsih pun mengalah dan sholat setelah mereka pulang dari Langgar.

********

Dalam kesejukan angin maghrib, embun-embun mulai menutup mata. Mega merah dari ufuk barat membuka tirainya lebar-lebar seakan ada yang sedang bersiap-siap tampil dari sana. Burung-burung membisu mendengar adzan mengalun di toa-toa musholla.

Rie yang berjalan bersisian dengan buliknya itu merasa begitu bahagia. Entah apa yang ada dari Bulik Siti sampai Rie begitu terikat padanya hanya dengan waktu yang singkat. Seakan-akan alam menyuruhnya untuk selalu dekat dengannya. Padahal dengan ibunya pun tidak sampai begitu.

Sejenak Rie merasa desir angin bukan lagi seperti angin. Ia merasakan sesuatu yang berbeda. Belaian yang tak terlihat dan hanya bisa dirasakan saja ini memeluknya begitu erat. Kehangatan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata mendekapnya begitu lembut.

Ia tak pernah menyangka begini rasanya melangkahkan kaki ke musholla. Bersiap mengambil wudhu sebelum adzan, dan menunggu datangnya panggilan itu tiba.

Apa yang dilakukannya selama ini? Seketika pikirannya lari ke dalam diri. Dan pertanyaan-pertanyaan itu pun mengelilingi kepalanya.

Kapan terakhir kali Aku sholat berjamaah?

Itu pertanyaan pertama yang berhasil membuatnya melamun beberapa saat. Jika diingat-ingat, ia tak ingat kapan persisnya. Sepertinya waktu sholat id tahun lalu. Itu waktu yang lama sekali bagi Rie setelah ia menyadari betapa nikmatnya menghadiri sholat jamaah.

Satu pertanyaan itu membuatnya lari semakin dalam ke dalam dirinya sendiri. Jangankan menunggu waktu sholat, setelah azan sudah berkumandang lama pun ia tak beranjak untuk mendekatkan hatinya kepada sang Pencipta. Kadang-kadang sholat maghrib di beberapa menit menjelang sholat isya. Maka tak jarang ketika Rie baru mengucap salam di rokaat terakhir sholat maghrib, tiba-tiba disambung dengan lantunan adzan sholat isya. Sungguh, entah mengapa Rie malu pada dirinya sendiri saat teringat masa itu walau tanpa ada seorangpun yang tahu.

Rie baru sadar ternyata senikmat ini sholat berjamaah, tapi mengapa dia sampai lalai selama ini? Rie memang selalu sholat lima waktu. Tapi ke lima-limanya itu dilakukan di ujung waktu. Pantas saja setiap dia sudah melaksanakan sholat, hatinya tidak tenang. Bahkan lebih risau gara-gara menunda-nunda yang mengakibatkan dirinya kejar-kejaran dengan waktu.

Apa ini karena perubahan zaman yang memang membuat manusianya seperti itu? Jelas bukan hanya Rie yang melakukan ini. Mungkin di luar sana pun banyak yang melakukan hal yang sama. Tidak menunggu waktu sholat, bahkan sering melupakannya.

Dilihatnya sepasang kaki yang perlahan membawanya ke tempat suci itu, kaki yang selalu berat menuju tempat ibadah, kaki yang selalu enggan kalau waktu adzan berkumandang langsung mendatanginya, kaki yang suka menunda-nunda untuk kebaikannya. Kini dengan sendirinya berjalan menuju ke sana.

Ini mungkin terkesan berlebihan atau bahkan lebay. Tapi beginilah kenyataannya. Rie yang dari segala segi apapun berbeda jauh pengalaman dengan buliknya, kali ini ia dibuat takjub untuk ke sekian kalinya.

Tidak peduli orang-orang menganggapnya lebay, bagi Rie. Ini adalah suatu keajaiban. Keajaiban yang muncul tiba-tiba tanpa dinyana merengkuh dirinya dengan mesra.

Bukan hanya pikiran dan hatinya saja yang merasakan ada hal berbeda. Tapi raganya pun ikut merasakannya.

Pikirannya membawa pertanyaan-pertanyaan sederhana ke dalam hatinya yang membuat Rie merasakan debaran berbeda. Dan kakinya pun melangkah dengan ringannya. Lalu satu lagi, hidungnya tiba-tiba saja perih. Padahal tak ada bawang merah atau bon cabe di sekitarnya. Sebaliknya, udara yang dihirup begitu sejuk. Kemudian setitik air terselip di sudut matanya hingga membuat pandangannya rabun.

Maka tanpa basa-basi tangannya pun dengan reflek mengucek matanya untuk mencegah air mata jatuh ke pipi mulusnya.

Bulik Siti yang setia berada di sampingnya itu menangkap basah Rie.

"Kamu kenapa Rie?" tanyanya sambil menundukkan badan.

Langkah keduanya pun seketika terhenti beberapa saat. Membiarkan para jamaah berjalan mendahului mereka.

"Nggak apa-apa Bulik. Ini kelilipan tok. Kayak ada serangga yang masuk ke mata tadi," jawabnya dengan terus mengucek-ucek mata yang tak gatal.

"Mana coba liat? Biar Bulik tiupin."

"Eh. Nggak usah, nggak usah Bulik. Udah nggak sakit kok," jawab Rie sambil mencegah tangan Siti yang hampir menyentuhnya.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang