Bab 33

3 1 0
                                    

Selepas sholat berjamaah, Rie dan buliknya pulang bersama berjalan beriringan. Sementara di rumah sudah ramai orang-orang duduk di rumah Siti.

Dari yang tua hingga remaja, laki-laki dan perempuan, turut menyatu dalam ruangan yang meski sempit namun menghangatkan itu.

Para bapak duduk bersila dengan baju koko sederhana dibalut kopiyah hitam di atasnya. Sedangkan di barisan ibu-ibu dan remaja terbalut kain mukenah putih-putih.

Suara riuh obrolan mereka seketika padam kala Siti dan Rie tiba. Semuanya menatap mereka dan ketika Siti mulai duduk, salah satu bapak-bapak dengan mengenakan sorban motif warna hijau hitam di sana pun mulai bicara.

"Apa bisa dimulai acaranya Bu Siti?"

"Monggo Pak Ustadz."

Sementara ibu Rie pun juga sudah duduk persis di sebelah kiri Rie mengenakan pakaian yang serba pantas. Sekarang, dia sudah diapit oleh dua pasang kakak adik yang luar biasa.

"Assalamu'alaikum warohmatulohi wabarokatuh," sapa Pak Ustadz kepada seluruh jamaah yang hadir.

Dijawab dengan riuh rentak, "Wa'alaikum salam warohmatulohi wabarokaatuh."

Tak lupa Pak Ustadz membaca muqodimah sebagaimana para pendakwah lain pada umumnya.

"Alhamdulillah, saya ucapkan terimakasih banyak kepada bapak ibu yang sudah hadir di sini dalam rangka memperingati 40 hari meninggalnya ayahanda ibu Siti Munawaroh yang juga sekaligus tokoh penting di desa kita."

"Sebagaimana dalam meninggalnya, kita semua tahu bapak Sabar semasa hidupnya adalah orang yang memiliki budi pekerti baik. Beliau juga orang yang sangat penting di desa ini karena jasa-jasa nya yang tidak sedikit."

Sabar semasa hidupnya adalah orang yang suka membantu. Ia tanpa pamrih dan pandang buluh kepada siapapun. Meski dalam kondisi lapang maupun susah, ia tidak pernah lupa memikirkan kepentingan orang lain.

Selain sosok yang bijak dan tenang di keluarga nya, ia juga sempat mengajar ngaji para anak-anak di desa itu yang sekarang sudah menginjak remaja. Sehingga banyak anak-anak yang keluar dari jeratan buta huruf arab sehingga rata-rata bisa mengaji semua.

"Kita semua tentu sangat kehilangan melepas bapak sabar. Namun, kematian adalah keniscayaan bagi setiap makhluk. Pada gilirannya, kita semua juga akan menyusul satu persatu."

"Saya ingin agar kita tidak melupakan kebaikannya dan menirukan sifat baik yang pernah dicontohkan beliau selama hidup."

Di sisi timur, Rie menyimak dengan kyushuk. Jiwanya tergetar mendengar cerita dari pak ustadz. Betapa luhurnya budi pekerti kakeknya itu sehingga semua orang selalu mengenangnya. Ia semakin berdejak kagum mendengar cerita tentang kakeknya. Setelah mendengar banyak dari buliknya, sekarang pun ia mendengar kisah sang kakek dari orang lain.

Sungguh, baru pertama kali ini dia melihat ada orang se berpengaruh itu. Rie pikir, setelah orang tiada, ia akan begitu saja dilupakan bahkan sesaat setelah dikebumikan. Malah sesampainya rumah sudah langsung berebut warisan. Atau bahkan langsung pergi ke tempat masing-masing tanpa memikirkan apapun. Tapi kakeknya sangat luar biasa dan berbeda.

Ia telah meninggalkan sesuatu yang tidak pernah bisa dilupakan oleh banyak orang sehingga mereka pun merasa kehilangan, masih merasa kehilangan di hari ke 40 meninggalnya.

Rie menatap satu persatu orang yang hadir di sana. Tak ada satupun orang yang wajahnya tidak masam. Semua tertunduk lesu, bahkan para remaja pun takdim menyimak pa ustadz karena masing-masing dari mereka juga memiliki kenangan bersama kakek Sabar.

Tanpa terasa, gerimis pun menitik dari matanya. Jatuh tanpa aba-aba mengenai pipi cabinya. Seketika ia langsung mengusapnya. Mencegah ada orang yang melihatnya menangis.
Tapi, semakin ditahan, air mata itu semakin ingin keluar.

Air mata memang tidak suka ditahan, semakin ditahan akan semakin keluar dan yah, tiba-tiba saja matanya perih, setitik air menghalangi pandangannya.

Rie langsung mengusap air matanya, namun semakin diusap, arusnya semakin menderas.

Sekarang Rie sempurna menangis dalam diam menahan isak. Ia tidak menyangka memiliki kakek seperti itu. Ia sangat bersyukur dan tidak menyangka ternyata kakeknya seluar biasa itu.

Sebelum ini, dalam benaknya jika melihat orang yang sudah tua, paling tinggal sebentar lagi ajak nya tiba. Tapi sekarang, pemahaman konyol itu seketika sirna.

Yang ada dipikirannya adalah setiap orangtua, setiap kakek nenek yang diberi umur panjang, mereka pasti pernah menjalani banyak cerita semasa hidupnya. Mereka punya kenangan yang berbeda dibandingkan dengan orang yang jatah umurnya sedikit.

Rie terus menitikkan air mata dan terus menyekanya.

"Maka dari itu, mari kita sama-sama membacakan yasin untuk beliau dan dilanjutkan dengan bacaan tahlil."

Lantunan ayat suci Al-Quran itu pun berkumandang di malam itu. Malam yang cukup memberi kesedihan pada Mun dan Pur. Seluruh kenangan seakan tumpah di malam itu. Seakan ayah mereka pun turut hadir dan memberi senyum kepada mereka. Juga mendiang ibu nya yang sudah pergi lebih dulu dari ayahnya.

Mun menitikkan air mata, juga Pur. Rasa sesak di dada semakin membuncah. Hati keduanya masih terisis mengenang detik-detik ketika Sabar tiada.

Ia hendak sholat jumat di masjid, namun entah kenapa tiba-tiba saja sabar tersungkur di jalan dan memegang dadanya dengan sangat erat. Warga sekitar yang menyaksikannya pun langsung membawanya pulang ke rumah. Sementara di rumah hanya ada Mun. Pur sudah lama meninggalkan desanya karena suaminya berada di Solo. Sedangkan Mun, ia memilih hidup sendiri setelah bercerai dan tidak dikaruniai anak dari mantan suaminya selama sepuluh tahun terakhir.

Ia lebih memilih menemani ayahnya dan tidak ingin meninggalkan keluarga di rumah sedikitpun.

Melihat Mun yang begitu rapuh, Pur langsung menyentuh tangannya. Ia tahu persis, dibanding dirinya, Mun adalah orang yang paling banyak memproduksi kenangan bersama bapaknya. Pur sangat paham akan hal itu.

Pur melihat seakan-akan Mun adalah salinan lengkap mendiang ayahnya. Semua yang ada dalam diri Mun adalah apa yang ada dalam diri ayahnya. Sikap penyayang, sabar, tenang, rela berkorban itu adalah sikap yang diwariskan ayahnya kepada Mun. Pur bahkan belum tentu bisa seperti kakaknya, gumamnya dalam hati.

"Mba," ucap Pur sambil menggenggam tangan kakaknya.

Mun hanya melirik dengan mata yang penuh basah.

"Kita doain bapak dulu yuk," serunya dengan dijawab dengan anggukan.

Menahan Untuk BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang