Beberapa waktu setelah kejadian Sabar pinsan untuk kedua kalinya, belakangan ini Sabar sudah jarang pinsan-pinsan nan lagi. Usianya memang sudah melewati kepala empat namun itu bukan alasan untuk menjadikannya lemah.
Di beberapa momen Sabar kerap kali menahan sakitnya. Ia tak mau semua orang khawatir melihatnya. Apalagi jika nantinya ia pinsan lagi, bisa-bisa harus keluar biaya tidak sedikit untuk pengobatannya. Sabar tidak ingin hal itu terjadi. Karena kebutuhan hidup yang lain lebih banyak dan lebih penting ketimbang dirinya.
Suatu pagi, di musim kemarau, Anak keduanya, Pur. Sekolahnya tiba untuk pengambilan rapot. Saat itu sudah memasuki bulan Juni. Pur yang duduk di kelas 4, akan memasuki babak barunya di kelas 5.
Pur meminta Sabar atau Ibunya supaya salah satu dari mereka mewakili untuk mengambil rapot miliknya. Namun mereka tak ada yang bisa.
"Mamak ada kulian besok," Jawab Aminah sambil melipat baju di ruang depan.
Aminah harus berangkat kerja di sawah orang, dan tidak bisa digantikan begitu saja karena uang sudah diterimanya, bahkan sudah dipakainya untuk keperluan rumah padahal pekerjaannya belum dilakukan. Pun, sawahnya juga terbilang jauh dari desanya. Pagi-pagi sekali harus naik mobil bak.
"Kalo bapak gimana?" Mata Pur beralih ke Bapaknya yang sedang menyeruput teh dihadapannya itu.
"Bapak juga sama Pur. Pekerjaan di ladang banyak sekali."
Sabar sebenarnya tidak enak karena menolak permintaan anaknya. Namun begitulah kehidupan di desa. Raport yang ditujukan agar orang tua / wali murid yang menerimanya, justru kadang-kadang siswa sendiri lah yang mengambilnya.
Mereka bukan tidak peduli pada pendidikan anaknya. Namun karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggal sedikitpun, demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Maka Pur yang akhirnya mengambil raport sendiri di sekolah.
********
Keesokan harinya ketika Pur sudah tiba di sekolah. Seperti biasa, dia lah satu-satunya anak murid di tengah-tengah para wali murid yang satu persatu berdatangan. Bahkan, Pur datang dengan membawa adiknya juga. Yah, Pur menggendong Nur di punggungnya. Sesekali dia terlihat kesusahan ketika hendak duduk di bangku dan melepas ikatan kain yang melilit bahu sampai pinggangnya. Pur sampai dibantu oleh seorang ibu untuk menaruh adik bungsunya yang cepat sekali tumbuh besar itu.
"Ibu mu ke mana nok?" tanya seorang ibu yang duduk di sampingnya.
"Kerja bu."
"Bapakmu sih?"
"Sama," jawab Pur sambil tangannya terus menjaga Nur yang tak mau berhenti bergerak.
Beberapa menit sambil menghibur adiknya supaya tidak rewel, Pur sesekali menanggapi obrolan wali murid di sampingnya. Kemudian setelah obrolan itu berhenti begitu saja, bayangan Pur mengawang seketika.
Apakah dulu kakaknya, Mun juga seperti itu? Dulu Mun pernah bercerita saat mengambil raport sendiri sambil membawanya ke sekolah. Mungkin Mun juga mengalami hal serupa yang dirasakan Pur saat ini juga.
Tapi Pur beruntung, Nur tidak serewel dirinya jika dilihat dari cerita kakak sulungnya yang sampai mati-matian membujuk Pur agar tidak minta beli jajan banyak-banyak.
"Pak, mohon maaf," ucap seorang ibu di sebelah Pur kepada wali kelas yang baru saja tiba di ruangan.
"Iya bu. Ada yang bisa dibantu?"
"Niki anak ini biar dipanggil pertama saja Pak. Kasihan nggak ada orang tuanya, bawa adiknya juga, masih kecil lagi."
Pur menatap seorang ibu di sampingnya, ia tak menyangka ada yang begitu peduli dengannya. Sepertinya ibu ini benar-benar peka karena sedari tadi melihat Pur yang kesusahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menahan Untuk Bertahan
Ficção Geral[Sekeping suka duka yang terinspirasi dari kisah nyata] Kisah ini diangkat dari konflik sehari-hari yang mungkin sering kali luput bahkan diabaikan di sekitar kita. Tentang kehidupan keluarga di pelosok desa yang jauh dari kata sempurna. Tentang rum...